Hal ini pun dijelaskan oleh dalam Yas'alunaka fi ad Diini wa Al Hayaah (Dialog Islam) Jilid I. Diceritakan seorang sahabat pada zaman Rasulullah SAW turun dari unta mendatangi majelis Nabi SAW dan membiarkan untanya lepas tanpa terikat. Dia memasuki ruangan sambil bergumam, "Saya pasrah pada Allah..." Mendengar gumaman itu, beliau SAW langsung menegurnya, "Ikatlah dulu untamu lalu berpasrahlah..." Artinya, Rasulullah SAW memerintahkan mengikat untanya supaya tidak lepas kemudian memasrahkan kepada Allah.
Hadis ini dijadikan para ulama sebagai dalil untuk membatasi maksud tawakal. Bukanlah tawakal yang dimaksudkan Islam jika seseorang meninggalkan sebab-sebab atau menyia-nyiakan kerja, hati-hati, pengambilan sarana yang bisa mengantarkan pada apa yang dicari atau yang disenangi. Bahkan, tawakal adalah bentuk curahan kerja, upaya, dan segenap kemampuan dalam bekerja, kemudian seiring dengan aktivitasnya dia meyakini dengan sepenuh keimanan dan sedalam kebenaran bahwa Allah senantiasa bersamanya. Dia selalu mengawasi dan menolongnya. Karena itu, Al-Quran menyatakan:
"Dan hanya kepada Allah hendaklah kamu bertawakkal jika kamu benar-benar orang yang beriman." (QS. Al-Maidah (5):23).
"Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezeki kepada kamu, maka mintalah rezeki itu di sisi Allah." (QS. Al-'Ankabut (29):17).
Rasulullah SAW juga bersabda: "Seandainya kalian mampu bersikap pasrah pada Allah dengan sebaik-baik pasrah, tentu dia akan memberi kalian rezeki sebagaimana memberi rezeki pada burung: pagi-pagi terang dalam keadaan perut kosong dan pulang di sore hari perut dalam keadaan kenyang."
Umar bin Khattab radhiyalaahu anhu (ra) suatu saat pernah berkata: "Janganlah kalian duduk-duduk tanpa berusaha mencari rezeki. Sungguh telah diketahui bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak."
Al-Quran yang mulia juga banyak mengingatkan manusia tentang nilai upaya dan kerja. Di antaranya:
"Dan katakanlah (Muhammad), 'Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat perkerjaanmu itu." (QS. At-Taubah (9):105).
"Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu)." (QS. An-Najm (53):39-41).
Dengan demikian, kita semakin memahami bahwa tawakal yang benar adalah setelah kita melakukan usaha atau ihtiar. Tidak benar, jika kita berpasrah kepada Allah dengan menghilangkan usaha. Ketika seorang murid saya bertanya di manakah posisi doa, apakah di awal usaha, atau di tengah atau di akhir? Maka saya menjawab bahwa di semua proses itu ada doa. Doa di awal bisa berisi permohonan agar kita diberi petunjuk usaha yang harus dikerjakan. Doa di tengah usaha berisi permohonan agar dimudahkan segala usaha dan diberikan hasil yang terbaik menurut Allah bukan menurut kita. Adapun doa di akhir usaha berisi penyerahan diri kepada Allah agar menerima segala ketetapan Allah terkait hasil usaha kita. Fase akhir inilah yang disebut tawakal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H