Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Renungan Akhir Ramadan: Antara Kefakiran, Kerja dan Kepasrahan

6 April 2024   09:49 Diperbarui: 6 April 2024   09:57 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kerja keras (Sumber: Pribadi)

Di bagian akhir Ramadan ini ada satu syariat agama yang mengingatkan kita pada tema tentang kefakiran, yaitu zakat fitrah sebab salah satu asnaf yang paling berhak menerima zakat jenis ini adalah fakir miskin. Meski ada sebagian orang yang berpikir bahwa zakat fitrah dapat disalurkan untuk keperluan lain seperti pembangunan masjid dan sebagainya, tetapi fakir miskin lebih menjadi  prioritas. Terutama agar mereka tidak keluar meminta-minta saat hari raya Idul Fitri. Ini bukan hanya untuk menjaga kemuliaan agama Islam tetapi juga kemuliaan pribadi mereka yang meminta-minta sekaligus menjaga kemuliaan hari raya Idul Fitri itu sendiri. Lalu bagaimana sesungguhnya Islam memandang kefakiran? Bagaimana pula agama yang mulia ini menjelaskan tentang kerja keras dan kepasrahan? Kita akan mengulasnya berdasarkan penjelasan Dr. Ahmad Asy-Syarabaasyi dalam Yas'alunaka fi ad Diini wa Al Hayaah (Dialog Islam) Jilid I. 

Islam dan kefakiran

Mungkin kita sudah akrab dengan hadis Nabi SAW yang menyebutkan: "Hampir-hampir kekafiran menjadikan kufur." Imam Ali mengatakan, "Seandainya kefakiran berupa manusia, tentu saya bunuh." Dalil ini menegaskan bahwa kefakiran adalah sesuatu yang tercela bahkan Dr. Ahmad As-Syirbaasi menyebutnya sebagai sebuah aib. Itulah sebabnya Islam mengajarkan kita untuk memerangi kefakiran ini secara berjamaah. Bagaimana caranya? Yaitu dengan kekuatan ekonomi orang-orang kaya atau yang berlebih hartanya melalui zakat, di antaranya adalah zakat fitrah.

Jika kefakiran merupakan sesuatu hal yang lumrah atau sesuatu kepatutan yang tidak perlu dihindari tentu Rasulullah SAW tidak memohon pada Tuhan, "Ya Allah, saya berlindung pada-Mu dari kekufuran dan kefakiran, dan saya berlindung pada-Mu dari siksa kubur. Tidak ada Tuhan selain-Mu." Dalam salah satu wasiatnya terhadap salah seorang sahabatnya, beliau juga mengatakan masalah ini: "... engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik dari pada kau tinggalkan mereka dalam keadaan fakir yang akan meminta-minta manusia." Artinya, yang butuh dan meminta-minta mereka.

Dr. Ahmad As-Syirbasy juga menambahkan bahwa Islam diidentikkan sebagai agama yang mengajarkan hidup kaya, mulia, mudah, suci, dan penuh kehormatan. Ini di antara hiasan kehidupan yang harus dimiliki umat Islam. Karena itu, tidak heran jika di dalam Al-Quran banyak ayat yang mendorong untuk berjuang, berusaha, dan kerja keras dalam rangka mencari keutamaan Allah. Rasulullah bersabda, "Sebaik-baik kekayaan yang bagus untuk lelaki yang bagus pula." Sabdanya yang lain, "Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang takwa dan kaya yang takwa."

Dalam doa-doanya, di antaranya Rasulullah saw memanjatkan permohonan: "Ya Allah, sesungguhnya saya minta kepada-Mu kesucian diri dan kekayaan." Seandainya kekayaan itu merupakan perkara yang jelek atau sesuatu yang hina, tentu Nabi SAW tidak akan memohonkannya pada Allah. Bahkan, di dalam Al-Quran kami dapati sejumlah ayat yang menggambarkan pengentasan kemiskinan sebagai bentuk kenikmatan besar yang diberikan Allah kepada hamba-Nya, di antaranya kepada Rasulullah saw, nabi-Nya yang termulia:

"Bukankah Dia mendapatimu sebagai orang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai orang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai orang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan." (QS. Ad-Duha (93):6-8).

Bahkan mempertahankan harta benda dari kemungkinan buruk oleh Rasulullah dinilai sebagai perbuatan baik yang mempunyai nilai tersendiri, "Barangsiapa mati terbunuh di bawah pembelaan hartanya, ia syahid."

Dengan demikian, Islam tidak menghendaki kefakiran dan tidak melarang kekayaan dengan syarat diperoleh melalui cara yang halal atau diridhai oleh Allah Ta'ala. Selanjutnya juga dibelanjakan di jalan yang juga diridhai oleh Allah bukan di jalan yang dimurkai.

Antara Kerja dan Pasrah

Hal ini pun dijelaskan oleh dalam Yas'alunaka fi ad Diini wa Al Hayaah (Dialog Islam) Jilid I. Diceritakan seorang sahabat pada zaman Rasulullah SAW turun dari unta mendatangi majelis Nabi SAW dan membiarkan untanya lepas tanpa terikat. Dia memasuki ruangan sambil bergumam, "Saya pasrah pada Allah..." Mendengar gumaman itu, beliau SAW langsung menegurnya, "Ikatlah dulu untamu lalu berpasrahlah..." Artinya, Rasulullah SAW memerintahkan mengikat untanya supaya tidak lepas kemudian memasrahkan kepada Allah.

Hadis ini dijadikan para ulama sebagai dalil untuk membatasi maksud tawakal. Bukanlah tawakal yang dimaksudkan Islam jika seseorang meninggalkan sebab-sebab atau menyia-nyiakan kerja, hati-hati, pengambilan sarana yang bisa mengantarkan pada apa yang dicari atau yang disenangi. Bahkan, tawakal adalah bentuk curahan kerja, upaya, dan segenap kemampuan dalam bekerja, kemudian seiring dengan aktivitasnya dia meyakini dengan sepenuh keimanan dan sedalam kebenaran bahwa Allah senantiasa bersamanya. Dia selalu mengawasi dan menolongnya. Karena itu, Al-Quran menyatakan:

"Dan hanya kepada Allah hendaklah kamu bertawakkal jika kamu benar-benar orang yang beriman." (QS. Al-Maidah (5):23).

"Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezeki kepada kamu, maka mintalah rezeki itu di sisi Allah." (QS. Al-'Ankabut (29):17).

Rasulullah SAW juga bersabda: "Seandainya kalian mampu bersikap pasrah pada Allah dengan sebaik-baik pasrah, tentu dia akan memberi kalian rezeki sebagaimana memberi rezeki pada burung: pagi-pagi terang dalam keadaan perut kosong dan pulang di sore hari perut dalam keadaan kenyang."

Umar bin Khattab radhiyalaahu anhu (ra) suatu saat pernah berkata: "Janganlah kalian duduk-duduk tanpa berusaha mencari rezeki. Sungguh telah diketahui bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak."

Al-Quran yang mulia juga banyak mengingatkan manusia tentang nilai upaya dan kerja. Di antaranya:

"Dan katakanlah (Muhammad), 'Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat perkerjaanmu itu." (QS. At-Taubah (9):105).

"Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu)." (QS. An-Najm (53):39-41).

Dengan demikian, kita semakin memahami bahwa tawakal yang benar adalah setelah kita melakukan usaha atau ihtiar. Tidak benar, jika kita berpasrah kepada Allah dengan menghilangkan usaha. Ketika seorang murid saya bertanya di manakah posisi doa, apakah di awal usaha, atau di tengah atau di akhir? Maka saya menjawab bahwa di semua proses itu ada doa. Doa di awal bisa berisi permohonan agar kita diberi petunjuk usaha yang harus dikerjakan. Doa di tengah usaha berisi permohonan agar dimudahkan segala usaha dan diberikan hasil yang terbaik menurut Allah bukan menurut kita. Adapun doa di akhir usaha berisi penyerahan diri kepada Allah agar menerima segala ketetapan Allah terkait hasil usaha kita. Fase akhir inilah yang disebut tawakal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun