Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Zakat Fitrah: Makanan Pokok atau Uang? Diberikan Langsung atau Lewat Amil?

4 April 2024   10:04 Diperbarui: 4 April 2024   10:19 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Zakat Fitrah (Kompas.com)

Di antara amalan wajib yang harus ditunaikan dan tidak diragukan lagi diwajibkan bagi setiap jiwa adalah Zakat Fitrah. Terkait hal ini ada dua pertanyaan klasik yang sering terlontar setiap tahunnya. Pertama, apakah harus dikeluarkan dalam bentuk makanan pokok atau boleh berbentuk uang? Kedua, apakah boleh diberikan langsung atau sebaiknya melalui amil? Kita akan membahas kedua hal ini berdasarkan penjelasan beberapa ulama.

Makanan Pokok atau Uang?

Imam Syafi'i dalam kitab Al-Umm Jilid I berkata bahwa menurut sunah Rasulullah SAW, zakat fitrah adalah berupa makanan pokok atau makanan yang biasa dimakan oleh seseorang. Adapun ukuran yang harus dikeluarkan sebagai zakat adalah 1 sha', yaitu sha' yang biasa dipakai oleh Rasulullah SAW. Apabila makanan tersebut berupa biji-bijian, maka ia hanya wajib mengeluarkan biji-bijian tersebut. Jadi, ia tidak boleh mengeluarkan tepung dari biji-bijian tersebut dan tidak boleh mengeluarkan zakat berupa sawik, dan juga tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah dengan harganya (dengan uang). Sawik adalah biji gandum atau biji-bijian lain yang sudah digiling sehingga menjadi tepung dan kadang-kadang dicampur dengan susu, madu atau minyak samin).

Begitupula dalam kitab Yas'alunaka fi ad dini wa al hayah (Dialog Islam) yang ditulis oleh Dr. Ahmad as Syirbasi, dikemukakan pendapat Imam Syafi'i bahwa zakat fitrah harus berupa makanan daerah setempat. Sedangkan yang membolehkan membayar dengan uang tunai adalah ulama mazhab Hanafi, di antaranya Imam Abu Yusuf. Dia mengatakan, "Tepung lebih saya sukai daripada gandum dan dirham lebih saya sukai ketimbang tepung dan gandum, karena demikian itu lebih mendekatkan pada pemenuhan kebutuhan orang miskin saat hari raya dan pemenuhan ini dapat terwujud dengan nilai uang, bahkan hal ini lebih sempurna dan memenuhi sasaran."

Berbeda dengan Imam Abu Yusuf dari mazhab Hanafi, Syeikh Utsaimin sangat melarang mengeluarkan zakat fitrah dengan nilainya (uang), sebagaimana pendapatnya dalam Lesson on Fasting, Taraweeh and Zakaat (Pelajaran Mengenai Puasa, Tarawih dan Zakat). Ia menjelaskan bahwa zakat fitri terdiri dari satu sha' makanan, khususnya jenis bahan makanan yang diusahakan manusia dari hasil bumi. Abu Said al-Khudri meriwayatkan: "Di masa Nabi kami biasa mengeluarkan satu sha' makanan di hari Fitr. (Yakni hari Id). Dan makanan kami (saat itu) gandum, susu kering, kismis dan dan kurma."(HR Bukhari).

Maka menurutnya tidaklah terhitung sebagai zakat dalam bentuk uang, selimut, pakaian, makanan, daging, dan sebagainya, karena hal ini bertentangan dengan apa yang diperintahkan oleh Nabi. Dan Nabi berkata: "Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada dasarnya dari kami, maka dia tertolak,"yang berarti bahwa amalan itu kembali kepada dirinya. Berat satu sha' adalah dua kilo empat puluh gram dari gandum yang baik. Ini adalah ukuran berat nabawiyah 1 sha' yang Nabi tentukan untuk memberikan Zakat Fitr.

Dengan demikian, ulama berbeda pendapat tentang bentuk Zakat Fitrah. Semua pendapat memiliki dalil atau argumen masing-masing. Tentu saja dikembalikan kepada kita untuk memilih satu di antara beberapa pendapat itu, apakah mengeluarkan dalam makanan pokok atau membayar sesuai nilainya. Jika Imam Syafi'i dan Syeikh Utsaimin tidak membolehkan membayar dengan nilainya, atau Imam Abu Yusuf membolehkan dengan uang, itu karena mereka memiliki maqam keilmuan yang memungkinkan mereka mengeluarkan fatwa atau berijtihad. Adapun kita hanya bisa memilih di antara pendapat atau fatwa ulama berdasarkan kedalaman ilmu kita terhadap dalil atau argumen yang mereka sampaikan.

Waktu Dikeluarkannya Zakat Fitrah

Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam Zadul Ma'ad menjelaskan bahwa penyerahan zakat fitrah sebelum pergi untuk salat 'Id. Di dalam As-Shahihain disebutkan dari Ibnu Umar, dia berkata: "Rasulullah SAW memerintahkan zakat fitrah dikeluarkan sebelum manusia pergi untuk salat."

Di dalam As-Sunan dijelaskan juga dari Ibnu Umar,  "Siapa yang mengeluarkan sebelum salat, maka itu adalah zakat yang bisa diterima, dan siapa yang mengeluarkannya setelah salat, maka itu adalah termasuk sedekah."

Berdasarkan dua hadis di atas, maka Ibnu Qayyim berpendapat bahwa zakat fitrah tidak boleh ditunda hingga setelah salat 'Id.

Meski dimungkinkan mengeluarkan Zakat Fitrah pada hari Idul Fitri sebelum khatib naik ke mimbar, tetapi sebaiknya kita hindari. Alangkah lebih bijak jika dikeluarkan sebelumnya untuk memberi kesempatan kepada amli untuk membagikan kepada yang berhak menerima sebelum hari Idul Fitri. Bukankah Zakat Fitrah ini memang diperuntukkan kepada mereka yang membutuhkan pada hari raya?

Zakat Fitrah Dibayar Langsung atau Diwakilkan ke Amil?

Ulama fiqih kontemporer, Dr. Yusuf al-Qaradhawy dalam Seri Penting Fiqih Zakat berpendapat bahwa dimasukkannya amil sebagai asnaf menunjukkan bahwa zakat dalam Islam bukanlah suatu tugas yang hanya diberikan kepada seseorang (individual), tapi merupakan tugas jamaah (bahkan menjadi tugas negara). Zakat punya anggaran khusus yang dikeluarkan daripadanya untuk gaji para pelaksananya.

Dalam Fiqih Imam Syafi'i Jilid I, Prof. Dr. Wahbah Zuhaili menjelaskan lebih lanjut bahwa amil ialah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk mengurus zakat. Mereka antara lain petugas penarik zakat, pencatat zakat (yang diberikan para pemilik harta), petugas yang mengumpulkan para pemilik harta, dan petugas yang membagikan zakat kepada orang yang berhak menerimanya.

Jika demikian, maka lebih utama membayar Zakat Fitrah melalui amil, sebab zakat ini merupakan ibadah yang sifatnya jamaah bukan pribadi (individual). Hikmahnya jika melalui amil, kita dapat menghindari adanya penerima yang menerima Zakat Fitrah secara berulang. Misalnya jika dia terkenal dengan kefakiran atau kemiskinannya maka bisa jadi banyak yang bersimpati sehingga banyak yang memberinya zakat. Sebaliknya, fakir atau miskin yang tidak banyak dikenal atau diketahui maka bisa jadi luput dari pemberian. Padahal biasanya, seorang fakir atau miskin yang tidak dikenal ini karena memang memelihara dirinya dari belas kasih orang lain apalagi meminta-minta.

Jadi bisa dikatakan, saat kita memilih memberi langsung kepada penerima zakat maka kita membuka celah akan adanya fakir atau miskin yang tidak menerima zakat dan membuka ruang adanya penerima yang menerima berkali-kali. Itulah sebabnya ada amil yang bukan hanya bertugas mengumpulkan zakat tetapi juga mendata orang-orang yang berhak menerima zakat tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun