Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Ramadan yang Nestapa di Palestina, Masih Tersisakah Doa untuk Mereka?

28 Maret 2024   12:11 Diperbarui: 28 Maret 2024   12:24 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana banyak kita duga bahwa warga Gaza tidak akan menikmati indahnya Ramadan seperti tahun-tahun sebelumnya. Sejak awal Ramadan saya telah bermaksud menulis betapa menderitanya mereka di bulan penuh berkah ini. Mereka tak lagi aman melangkahkan kakinya ke masjid untuk menikmati khusyunya salat malam, anak-anak tak lagi ceria menikmati kebersamaan bersama teman sebayanya sebagaimana dinikmati oleh anak-anak di Indonesia. Meski demikian, niat menulis tentang Ramadan di Gaza baru semakin kuat setelah melihat video Kompas.com (24/3/2024) berjudul sampul Nestapa Ramadan di Jalur Gaza.

Salat Tarawih di Reruntuhan Masjid

Berbeda dengan kita di Indonesia yang dapat menunaikan salat Tarawih di masjid yang utuh, bahkan terkadang cukup megah dengan suasana sejuk karena berpendingin udara. Warga Gaza hanya dapat menunaikan salat Tarawih di atas reruntuhan masjid yang porak-poranda akibat agresi Israel. Keadaan semakin memprihatinkan, sebab mereka salat dalam keadaan tanpa listrik dan lampu. Hal itu tampak misalnya di masjid Al-Farouk. 

Belum lagi kesedihan mereka yang mendapati Ramadan tanpa keluarga yang utuh karena menjadi korban agresi, bahkan mengutip data UNICEF telah ada 17.000 anak-anak yang menjadi yatim-piatu setelah kehilangan orang tua mereka. Selain kehilangan keluarga, warga Gaza juga kehilangan tempat tinggal mereka. Relawan MER-C di Gaza, Fikri Rofiul Haq yang diwawancarai di Kompas Petang (17/3/2024) mengungkap data bahwa sebanyak 70.000 rumah hancur secara total dan 290.000 rumah mengalami kerusakan. 

Hal ini menyebabkan mereka kini menempati kamp pengungsi terutama di Rafah, Gaza Selatan. Jumlahnya bahkan mencapai 1,4 juta jiwa. Adapun masjid yang telah mengalami kerusakan dan tidak layak pakai sebanyak 1.000 masjid dari total 1.200 masjid di Gaza. Hal ini menyebabkan mereka memilih menggunakan halaman-halaman masjid atau sekolah dalam keadaan minim penerangan dan pengeras suara.

Stok Makanan untuk Sahur dan Berbuka yang Terbatas

 Hal ini pun pasti sudah kita prediksi sebelum masuk Ramadan. Ini pun tidak luput dari pantauan Kompas.com, bagaimana stok makanan yang terbatas itu masih harus diperebutkan. Hal ini disebabkan pengiriman bantuan ke Gaza mengalami beberapa kendala terutama blokade yang dilakukan Israel di perbatasan Rafah, antara Mesir dan Palestina (Kompas Petang, 17/3/2024). Akibatnya pengiriman bantuan dilakukan baik dari udara maupun dari laut. Itulah sebabnya Sekjen PBB, Antonio Gutteres meminta penghapusan semua kendala pengiriman bantuan.

Sebagian besar stok makanan berbentuk kemasan kaleng dan tergolong mahal bagi rakyat Palestina.  Kesulitan mendapatkan bahan pokok, masih harus diperparah dengan sulitnya mendapatkan air bersih.

Bukan hanya warga, para staf medis juga merasakan pedihnya kehidupan di Ramadhan tahun ini. Terdapat 2.000 staf media di Gaza Utara yang diberitakan tidak mendapatkan jatah menu sahur dan berbuka di hari pertama Ramadhan. Meski demikian, mereka masih bekerja sepanjang waktu untuk bekerja dan merawat pasien. Juru bicara kesehatan Gaza menghimbau agar lembaga-lembaga berwenang segera memasok bantuan, sebab jika tidak kelaparan mengancam warga Gaza Utara dan staf medis bisa saja tewas karena kelaparan.

Relawan MER-C di Gaza, Fikri Rofiul Haq yang diwawancarai di Kompas Petang (17/3/2024) mengungkap bahwa telah terjadi kelaparan yang dahsyat di Jalur Gaza bahkan telah ada 27 orang yang meninggal akibat malnutrisi dan dehidrasi mengutip data dari Kementerian Kesehatan Palestina. 25 di antaranya adalah anak-anak yang dirawat di rumah sakit di Gaza Utara. 

Saat ditanya tentang bagaimana warga Gaza bertahan di tengah blokade, Fikri bercerita bahwa mereka memasak makanan kaleng atau kentang rebus untuk sahur dan berbuka puasa. Hal ini terus berulang karena mereka tidak memiliki ketersediaan bahan pangan, bahkan mengutip data Kementerian Kesehatan Palestina ada 2.00 tim medis yang bertugas di Gaza Utara yang melaksanakan puasa tanpa bersahur karena minimnya bahan pangan. Keadaan semakin memprihatinkan karena warga Gaza masih ketakutan di tengah gencatan senjata yang tidak jelas dan serangan yang masih terus dilakukan oleh Israel meskipun di bulan Ramadan.

Usaha Menghidupkan Ramadan di Kamp Pengungsian

Meski secara umum, warga Palestina di Gaza diselimuti kepiluan Ramadan, tetapi masih terdapat sekelompok kecil warga yang berusaha menghidupkan Ramadan. Tinggal berdesakan di kamp pengungsian yang sempit tidak menjadi alasan mereka menyerah terhadap kepedihan. Hal ini di antaranya terlihat di Kamp Mawasi, Khan Younis. 

Jurnalis Kompas.com mengisahkan bagaimana sejumlah warga berusaha menghidupkan semangat anak-anak di malam-malam Ramadan, misalnya dengan memasang lampu hias di sepanjang kamp pengungsian lalu mengajak anak-anak menonton atau menyanyikan lagu-lagu tradisional Ramadan. Anak-anak juga diajak mengenang Ramadan tahun sebelumnya di mana mereka masih bebas bermain dan bersuka cita.

Kekejaman Israel terhadap warga Gaza memang belum berhenti. Jurnalis Kompas.com (24/3/2024) bahkan melaporkan bahwa Israel tega menyerang sekumpulan warga yang sedang menunggu bantuan di bundaran Kuwait di Selatan kota Gaza. Diberitakan lebih dari 20 orang mengalami luka-luka dalam serangan tersebut. 

Pada Kamis, 29 Februari 2024, Israel juga pernah menyerang warga Gaza yang sedang menunggu bantuan. Total sudah lebih dari 31.270 warga yang tewas di Gaza akibat agresi Israel dan 2/3 dari korban tersebut merupakan anak-anak dan perempuan. Sementara sebagian besar dari 2,7 juta penduduk Gaza kini berada di kamp-kamp pengungsian hingga Ramadhan datang menemui mereka. Seharusnya potret Ramadan di Gaza ini mengundang keprihatinan dunia internasional.

Israel Mengeksekusi 140 Warga Palestina dan Kembali Menembaki Warga yang Antre Bantuan

Kekejaman Israel tidak berhenti meski warga Palestina tengah menjalani bulan Ramadan. Tribunnews (22/3/2024) memberitakan bahwa pada Kamis, 21 Maret 2024 mereka bahkan mengeksekusi 140 warga Palestina dengan cara yang sangat sadis yakni dengan cara meledakkan gedung di kompleks Al-Shifa. Sebagian besar yang tewas merupakan anak-anak. 

Serangan ini juga menghancurkan peralatan medis di Jalur Gaza. Aksi keji Israel berlanjut hingga malam hari dengan membakar rumah-rumah yang menampung warga sipil. Akibatnya banyak warga yang terjebak dan meninggal dunia. Selain itu, Israel juga melakukan pengeboman ke kamp pengungsi al-Nuseirat sebanyak empat kali dan menewaskan empat orang.

Kekejaman Israel yang dikecam banyak negara, termasuk Indonesia adalah saat mereka menyerang warga yang sedang antre menunggu bantuan. Diberitakan oleh CNBC Indonesia (25/3/2024), sedikitnya 19 orang tewas dan 23 lainnya terluka, saat Israel menyerang warga yang antre bantuan di dekat bundaran  Al-Kuwait, Jalur Gaza. Berselang tiga pekan sebelumnya, aksi keji Israel jauh lebih sadis lagi hingga diberitakan banyak media nasional di antaranya Kompas TV (3/3/2024). Ketika itu pasukan Zionis menyerang warga Gaza yang mengantre menunggu bantuan di Nabulsi, sebelah barat kota Gaza pada Kamis, 29 Februari 2024. Akibatnya sedikitnya 115 warga sipil tewas dan lebih 700 lainnya terluka.

Masih Tersisakah Doa untuk Palestina?

Jika dihubungkan dengan hikmah wajibnya berpuasa, maka sangat tepat jika nestapa atau derita saudara-saudara kita di Palestina, khususnya di Gaza menjadikan kita hamba yang mensyukuri nikmat yang Allah berikan kepada kita di Indonesia. Maka tidak sepantasnya, kita melupakan mereka dalam doa-doa malam kita. Percayalah, salah satu pertanyaan di alam kubur nanti adalah "siapakah saudaramu" maka kita tidak hanya dituntut mampu menjawab secara lisan kelak, tetapi terlebih dahulu harus diamalkan atau termanifestasikan di zaman sekarang. Apalagi saat ini mereka sedang sakit, bahkan merana di bawah penindasan Zionis Israel.

Kita bersyukur, Indonesia termasuk negara yang aktif menunjukkan simpati dan empati. Semoga secara individu kita termasuk dalam bagian simpati dan empati itu. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang lalai karena asyik menikmati jamuan berbuka puasa dan sahur, khusyuk dalam salat-salat malam tetapi melupakan sepenggal doa untuk mereka. 

Ada segelintir yang mengatakan kenapa harus membantu yang jauh sementara yang dekat juga ada yang mengalami kelaparan dan penderitaan. Tanyakan pada mereka apakah mereka yang jauh tidak membantu kita saat tertimpa bencana? Jadi bagaimana sikap yang terbaik, tentu mengutamakan yang dekat. Jika masih ada kelebihan harta kita sedekahkan kepada saudara jauh yang tertimpa musibah. Jika tak mampu menyumbangkan materi, bukankah doa juga bisa kita panjatkan. Jika doa saja tak mampu kita kirimkan maka betapa kikirnya kita yang mengaku seorang Muslim ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun