Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Misi Awal Mencegah Kecurangan: Begini Sejarah dan Akurasi Quick Count

16 Februari 2024   12:32 Diperbarui: 16 Februari 2024   12:34 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak masyarakat yang perhatiannya lebih terfokus pada hasil quick count daripada real count KPU. Penghitungan cepat atau disebut juga parallel vote tabulation (PVT) ini memang sudah menjadi fenomena pasca Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Legislatif (Pileg) bahkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Ada pasangan yang bahkan terburu-buru mendeklarasikan kemenangan hanya berdasarkan quick count tanpa harus menunggu real count KPU.

Mengapa tidak menunggu real count KPU? Alasannya tentu saja karena penghitungan manual ini seringkali membutuhkan waktu yang lama, berbeda dengan quick count yang hasilnya dapat diketahui dengan cepat. Pada Pemilu 2019 misalnya, hasil penghitungan cepat sudah dipublikasikan dua jam setelah pencoblosan dan hasilnya diketahui 1-2 hari kemudian, sedangkan penghitungan KPU baru diketahui sebulan setelah pencoblosan.

Lalu bagaimana sejarah kemunculan quick count ini? Kapan dan di mana pertama kali dipergunakan? Apakah memang akurasinya dapat dipertanggungjawabkan? Lalu bagaimana perbandingannya dengan real count KPU termasuk pada Pilpres 2019? Kami mencoba mengulasnya berdasarkan berbagai sumber.

Awal Mula Quick Count untuk Mencegah Kecurangan Pemilu

Metode quick count (hitung cepat) pertama kali dikenal seiring dengan pemilihan langsung baik level presiden dan wakil presiden ataupun pemilihan kepala daerah. Quick count menjadi cara mudah tetapi dianggap efektif oleh pihak-pihak berkepentingan untuk mengawal perolehan suara di pemilihan langsung. Tujuannya menghindarkan mereka dari kecurangan saat penghitungan suara. Jadi tujuannya menjaga suara pemilih dan agar proses penghitungan berjalan jujur dan adil.

Quick Count Pertama Kali Populer di Negara yang Baru Membangun Demokrasi

Berdasarkan penelusuran penulis, quick count menjadi metode yang pertama kali muncul di negara-negara yang baru membangun demokrasi pada era tahun 1980-an seperti di Eropa Timur dan Afrika. Itulah sebabnya di Indonesia, quick count pertama kali dipergunakan pada Pemilu 1997 (Pemilu terakhir masa Orde Baru) dan Pemilu 1999 (Pemilu pertama Orde Reformasi). Hitung cepat kala itu diinisiasi oleh Lembaga Pelatihan, Penelitian, Penerangan, Ekonomi dan Sosial (LP3ES), sayangnya belum dipublikasikan secara luas sebagaimana quick count saat ini. Metodenya pun belum berkembang seperti dewasa ini.

Bagaimana Proses Quick Count Mencegah Kecurangan?

Mengapa quick count efektif mencegah kecurangan? Karena basis datanya langsung dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan hasilnya dipublikasikan ke publik. Akibatnya ini akan menjadi pembanding penting, saat nanti suara itu dibawa ke Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat kecamatan dan direkap di KPUD di tingkat kabupaten.

Muncul pertanyaan: jika dikatakan bahwa basis data quick count bersumber dari TPS, lalu mengapa masih terdapat perbedaan angka dengan real count KPU meskipun tidak signifikan? Hal ini disebabkan karena penyelenggara quick count tidak mengambil data dari semua TPS, tetapi hanya sampel dari ribuan TPS yang dipilih secara acak. Ada juga yang mengatakan bahwa pemilihan sampel menggunakan kriteria tertentu misalnya tingkat keragaman (variability) dan tingkat kepercayaan (confidence interval).

Itulah sebabnya kita tidak bisa berasumsi bahwa hasil quick count hanya berdasarkan opini bukan data, sebab pengambilan data mereka berdasarkan formulir yang biasanya diisi oleh relawan yang tersebar ke ribuan TPS yang menjadi sampel. Formulir dari ribuan TPS itu akan dikirim ke pusat data penyelenggara quick count  (data center). Jadi quick count tidak sama dengan jajak pendapat terhadap pemilih yang dikenal dengan istilah exit poll.

Akurasi Quick Count di Pemilu 2004 dan Pilkada DKI Jakarta 2007

Bagaimana pembuktian akurasi quick count dalam sejarah Pemilu? Tahun 2004, LP3ES yang saat itu bekerja sama dengan lembaga hitung cepat dari AS, National Democratic Institute for International Affairs (NDI) berhasil memprediksi komposisi pemenang Pemilu lengkap dengan urutan kemenangan mereka (1-24) dengan selisih rata-rata hanya 0,18%. Begitupun Pilpres 2004, hasil quick count LP3ES-NDI memprediksi perolehan suara SBY-JK (33%), Mega-Hasyim (26%), Wiranto-Salahuddin (23%), Amien-Siswono (14%), dan Hamzah-Agum (3%). Adapun margin of error-nya adalah 1,1%. Di level yang lebih rendah, lembaga quick count Litbang Kompas berhasil memprediksi hasil Pilkada DKI Jakarta tahun 2007 secara akurat dengan margin of error hanya 0,45 dengan tingkat kepercayaan mencapai 99%.

Lembaga Quick Count Pernah Salah Prediksi

Mungkin ada pertanyaan, apakah lembaga quick count tidak pernah salah? Mengutip tulisan Handrini Ardiyanti dalam laman resmi DPR-RI (28/01/2013) ternyata lembaga survei Indo Barometer pernah keliru memprediksi hasil Pilkada Sulawesi Selatan di tingkat Kabupaten Maros. Hasil quick count Indo Barometer saat itu menunjukkan perolehan suara pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu'mang atau Sayang (50,28%), Ilham Arif Sirajuddin-Aziz Kahar Muzakkar atau IA (45,3%) dan Rudiyanto Asapa-Andi Nawir atau Garuda-Na (4,41%). Ternyata setelah real count KPUD Maros, hasilnya adalah IA (52,99%) sedangkan Sayang (43,17%). Selisihnya masing-masing mencapai 7%.

Masih menurut Peneliti bidang Komunikasi pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR-RI, kesalahan hitung pada quick count bukan hanya terjadi pada Pilkada Sulsel di Maros, tetapi terdapat sejumlah kasus kekurangakuratan hasil penghitungan cepat ini, misalnya di Pilkada Jawa Timur oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI).

Akurasi Quick Count di Pilpres 2019

Tentu menarik mencari tahu bagaimana akurasi quick count di Pilpres 2019, sebab ini akan menentukan kepercayaan kita terhadap hasil quick count di Pemilu 2024 ini. Ketika itu Litbang Kompas menemukan hasil hitung cepat bahwa pasangan Jokowi-Ma'ruf meraih 54,45% sedangkan Prabowo-Sandi 45,55%, CSIS Indonesia dan Cyrus Network: Jokowi-Ma'ruf meraih 55,62% dan Prabowo-Sandi 44,38%, LSI Denny JA: Jokowi-Ma'ruf 55,71% dan Prabowo-Sandi 44,29%, Charta Politika: Jokowi-Ma'ruf 54,3% dan Prabowo-Sandi 45,7%. Ternyata hasil real count KPU saat itu menunjukkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin memang unggul (55,50%) atas Prabowo-Sandi (44,50%).

Berdasarkan pengalaman quick count pada Pilpres sebelumnya ini, kita dapat menyimpulkan untuk sementara bahwa hasil hitung cepat beberapa lembaga survei seperti yang telah dipublikasikan dapat dipercaya. Meskipun peluang untuk adanya selisih penghitungan real count KPU tetap terbuka, tetapi perbedaannya tidak signifikan kecuali lembaga hitung cepat melakukan kesalahan sebagaimana Pilkada Sulsel di tingkat Kabupaten Maros. Meskipun demikian, tentu sebagai warga negara yang baik kita mesti menunggu hasil rekapitulasi oleh lembaga berwenang yaitu KPU.

Lalu bagaimana dengan tim masing-masing pasangan calon (paslon) tentu hak mereka untuk menentukan sikap masing-masing, apalagi jika itu bentuk euforia menikmati hasil perjuangan panjang selama tidak berlebihan. Sementara itu untuk pihak yang dinyatakan kalah dalam quick count juga tentu punya hak untuk mengumpulkan bukti-bukti kecurangan jika memang itu ada, untuk kemudian dilaporkan ke Bawaslu atau Mahkamah Konstitusi sebagaimana sudah disampaikan oleh Presiden Jokowi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun