Sosok pria yang puisi pertamanya langsung dimuat oleh surat kabar Marhaen ini menjadi penulis pertama dalam buku "Proses Kreatif Penulis Makassar" Jilid II. Puisi yang ditulis sejak SMP dan diberi judul "Tifa Elmaut" itu mengantarkannya terus menggoreskan pena menciptakan puisi. Hasilnya puisi kedua berjudul "Malam Berdarah" kembali dimuat di surat kabar yang sama. Dua puisi membuatnya terobsesi menjadi penulis. Untuk jadi wartawan, belum mungkin.
Dari Mana Mengenal Literasi?
Di buku "Proses Kreatif Penulis Makassar" penulis menemukan cerita bahwa perkenalan Andi Makmur Makka dengan literasi berawal pada 1950 saat kakak tertu dan kawan-kawannya yang baru bebas dari penguasa kolonial di Parepare mendirikan surat kabar stensilan ukuran folio bernama Darurat. Tujuannya sebagai penyadaran tentang kemerdekaan bangsa Indonesia. Kakaknya dan kawan-kawannya mengerjakan Darurat dalam rumah orang tua mereka. Selain itu, mereka juga mendirikan Perpustakaan Umum memanfaatkan sebuah bangunan di halaman rumah. Perpustakaan ini menyediakan berbagai jenis buku. Meski tidak bertahan lama, Surat Kabar dan Perpustakaan yang didirikan oleh kakaknya dan kawan-kawannya menginspirasinya untuk berbuat yang sama. Jadi obsesinya menjadi penulis dan wartawan karena melihat kegiatan kakaknya dan kawan-kawannya.
Menjadi Aktivis Seni Sejak SMP
Tidak banyak anak yang masih SMP sudah memilih jalan seni. Andi Makmur Makka sudah melakukannya. Sejak tahun terakhirnya di SMP, ia sudah mendirikan Organisasi Seniman Muda (Orsenim). Organisasi yang juga didirikan di kota Parepare ini didirikan bersama sejumlah rekannya seperti Salim Said, Darmin Syah, Anzas, A. Syafiuddin Makka, Sirajuddin Hamu, Arman Junus, dan kemudian hari bergabung Alwi Hamu.
Sepulang sekolah mereka akan saling memperlihatkan puisi yang dibuat, lalu dibaca bersama. Pertanyaanya kemudian bagaimana memperbanyaknya? Andi Makmur Makka teringat kakaknya saat mengelola surat kabar stensilan Darurat. Ia lalu menerbitkan buletin stensilan dengan nama organisasi seni mereka yaitu Orsenim. Selain puisi, buletin yang sheet dan kertasnya bersumber dari dana sendiri dan sumbangan ini juga memuat karya mereka berupa cerita pendek dan artikel. Orsenim kemudian merambah dunia teater. Naskah Andi Makmur Makka berjudul "Titik Tolak" dipentaskan anak kelas III pada malam perpisahan mereka di SMA. Waktu itu mereka semua masih memakai celana pendek.
Tahun 1960-an, cabang Orsenim sudah berdiri di Makassar dengan dewan pengurus, anak-anak muda yang umumnya juga masih bercelana pendek. Di antara mereka ada August Parengkuan, Anis Kaba, dan Arman Junus. Adapun di Gowa, pendirinya adalah Rahman dan Ramiz Parenrengi, A. Idris dan A. Herman Gassing, Saleh Mallombassi, dan A. Serang Pangerang.
"Virus" dari Buku Sastra dan Seniman Senior
Terlintas satu pertanyaan: virus apa yang menjangkiti anak-anak muda ini, hingga mereka punya minat yang sama dalam dunia tulis-menulis, kesusastraan dan teater? Menurut Andi Makmur Makka, mungkin karena mereka punya kegemaran membaca buku sastra. Karena buku sastra merupakan barang luks pada 1950-an, apalagi yang bermutu, maka mereka meminjam buku di Perpustakaan Pendidikan Masyarakat di kota Parepare. Di antara buku sastra yang berhasil mereka baca adalah buku-buku Gitanyali, kumpulan puisi Rabindranath Tagore, "Three Musketeer" yang diterjemahkan menjadi "Tiga Panglima Perang" karya Alexander Dumas. Selanjutnya, buku Mark Twain berjudul "Petualangan Hunckeleberry Fin."
Adapun buku-buku pengarang Indonesia yang mereka berhasil dapatkan adalah terbitan Balai Pustaka Si Djamal, Jalan Tidak Ada Ujung Mochtar Lubis, Sukreni Gadis Bali, I Swasta Setahun di Bendahulu A. A. Pandji Tisna. Selanjutnya ada Mutiara dari Nusa Laut, Citra dan Lakon Sedih dan Gembira Usmar Ismail, serta Tokoh Sastra Dunia karya Anas Maruf.
Selain buku sastra, kemungkinan virus lain juga berasal dari seniman senior-senior mereka di Makassar, terutama yang tak mungkin mereka lupakan adalah Rahman Arge. Pare-pare dengan Makassar saat itu memang memiliki jarak alamiah dan jarak intelektual. Jarak alamiah karena Makassar hanya tidak dapat dicapai dari daerah manapun di Sulawesi Selatan dalam waktu seketika disebabkan infrastruktur yang belum memadai, belum lagi masalah keamanan. Adapun jarak intelektual, karena mereka merasa sebagai "anak daerah" yang tinggal di feri-feri dari Makassar yang kota besar, pusat pemerintahan daerah dan menjadi jendela untuk melihat cakrawala lain, ke "pengembaraan" dunia intelektual.
Peran Seniman di Makassar
Andi Makmur Makka memberi porsi yang sangat banyak untuk peran seniman Makassar dalam memupuk jiwa seninya. Tidak tanggung-tanggung, ia menuliskannya hingga tiga halaman di buku "Proses Kreatif Penulis Makassar". Di kota Makassar bukan hanya ada Universitas Hasanuddin sebagai satu-satunya perguruan tinggi negeri di Sulawesi saat itu, di kota ini ia juga berkenalan dengan sastrawan nasional, penyair "Rindu Dendam" J. E. Tatengkeng. Juga Profesor ternama, Sutan Muh. Syah. Gelar Profesor saat itu masih sangat langka.
Ia juga menyebut deretan seniman seniornya dengan karya-karya mereka yang dimuat dalam media terkenal di kota Makassar seperti majalah "Sulawesi". Di antara mereka misalnya Arsal Alhabsy, Indra Chandra, Rahman Arge, Hisbuldin Patunru, Rosadi Sani, Ramto, Willy Rissakota. Selanjutnya deretan wartawan seperti M. Basir, L. E. Manuhua, Harun Rasyid Djibe. Di antara karya paling diingat oleh Andi Makmur Makka adalah kumpulan puisi "Jalanan Tiga Orang" karya tiga penyair senior: Arsal Alhabsy, Hisbuldin Patunru, dan Rosadi Sani. Karya lainnya berbentuk esai karya A. Baso Amier. Semua karya adalah karya istimewa, karena biasanya buku dan karya sastra hanya terbit di Jakarta pada waktu itu.
Ia juga menyinggung komunitas seniman yang disebutnya "rival positif" atau "lawan tanding" dalam produktivitas berkarya. Organisasi bernama Gesas (Gerakan Anak Sekarang) itu dimotori oleh seniman seperti Aspar Paturusi, Rusdi Abdullah, dan Osab Bika M. Karya-karya mereka bukan hanya dimuat dalam rubrik remaja, tetapi juga dicetak dalam bentuk selebaran. Meski demikian, jika mereka bertemu tetap tercipta keakraban.
Di kota Makassar pula, Andi Makmur Makka menemukan resensi pementasan drama "Nona Maryam" karya Kirjomulyo, dan "Yang Gelap di Luar" karya Rahman Arge yang dipentaskan di Gedung Kesenian Makassar. Selain itu ia juga berkenalan dengan deretan pelukis seperti Mustafa Djalle, Ali Walangadi, dan Jatimayu. Intinya, Makassar atau Kota Besar Makassar (KBM) telah menjadi kiblat yang mencerahkan bagi mereka, ketika akses mereka sebagai "anak daerah" sangat terbatas ke Jakarta dan Yogyakarta.
Meski demikian karya sastrawan nasional dapat ditemukan di Makassar, seperti Gema Tanah Air karya H.B. Jassin, Tifa Penyair dan Daerahnya, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay, Malam Lebaran, Bulan di Atas Kuburan karya Sitor Situmorang. Begitupula puisi-puisi pendek seperti puisi Haiku Jepang, sehingga Andi Makmur Makka dan teman-temannya serentak menulis pula puisi-puisi pendek. Setelah musim puisi pendek berlalu, mereka kembali ke karakter puisi semula.
Berguru dan Bergaul dengan Seniman Nasional
Andi Makmur Makka mengisahkan pertemuannya dengan seorang sastrawan jebolan ASRI Yogyakarta, M. N. Sam, pelukis dan pematung Edy Sunarso, dan Saptoto yang baru pulang dari Italia. Ia bertemu dengan ketiga seniman itu di Parepare. Seniman yang disebutkan terakhir lalu menerbitkan "Mingguan Minggu" dengan cerita bersambung diterjemahkan dari The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingwey. Karya ini diterjemahkan langsung oleh M.N. Sam menjadi Lelaki Tua dan Laut.
Hebatnya lagi, Mingguan Minggu rubrik sastra dan kebudayaan khusus untuk penulis Parepare dan sekitarnya dan satu halaman lagi untuk rubrik penulis Makassar dan sekitarnya. Andi Makmur Makka menjadi redaksi rubrik untuk Parepare, sedangkan rubrik Makassar diasuh August Parengkuan, salah seorang pendiri Orsenim di Makassar.
Tentang Salim Said, Dirinya dan Sastrawan Nasional Lainnya
Salim Said merupakan salah satu rekan seperjuangan Andi Makmur Makka mendirikan Orsenim saat mereka kelas III SMP. Tahun 1960, ia melanjutkan SMA di Solo. Pengalaman intelektual sebagai sastrawan remaja di Parepare membuatnya mudah melebur dengan penyair sekelas Mansur Samin dan Budiman S. Hartoyo. Sebelum pindah ke Jakarta, Salim Said sudah menghasilkan esei sastra spektakuler yang dimuat di Mimbar Indonesia dan Majalah Budaya Jaya. Keduanya adalah majalah bergengsi di Indonesia kala itu.
Sekitar 30 tahun kemudian, Salim Said menjadi budayawan nasional bahkan menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta dan memimpin aktivitas kesenian tingkat nasional. Meski berkecimpung di dunia sastra, dia berhasil menjadi Doktor dan Profesor di bidang Ilmu Politik. Kerinduan kedua teman seperjuangan sejak SMP ini terobati saat bertemu di Amerika Serikat. Ternyata mereka berdua melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi yang sama, yaitu Ohio University.
Selepas dari Amerika Serikat, mereka kembali ke Indonesia. Bedanya, Salim Said ke Solo dan Jakarta, sedangkan Andi Makmur Makka melanjutkan pendidikan di UGM Yogyakarta. Di kota ini ia kembali melanjutkan kebiasaan menulis puisi dan cerita pendek di Koran lokal. Cerpennya pun dimuat di Majalah Minggu Pagi, majalah yang juga menjadi tempat pertama Motinggo Busye, Nasyah Djamin, Kirdjomulyo dan A. Bastari Asnin melakukan debut mereka dalam dunia sastra.
Andi Makmur Makka juga berkisah pernah memenangkan lomba penulisan cerpen di majalah mahasiswa UGM, mengungguli Putu Widjaja, Kuntowidjojo dan Ashadi Siregar. Selain itu, ia bergaul dengan WS. Rendra, lalu bersama beberapa kawan penyair Yogyakarta, mereka menerbitkan kumpulan puisi "Manifes." Ia juga menerbitkan puisi berjudul "Ungu" berduet dengan Darmanto Jatman. Ia bergaul dan begadang dengan Umbu Landu Paranggi yang digelari "Presiden Penyair Malioboro", Jajak Md, Ikra Negara, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi WM. Begitupun dengan tokoh senior seperti Dick Hartoko, Bakdi Sumanto, Bastari Asnin, dan Rahmat Djoko Pradopo. Adapun sastrawan yang lebih muda saat itu seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Teguh Santoso, dan Arifin C. Noer, tokoh teater dan film Indonesia. Di Jakarta, ia mengenal seniman-seniman seperti Goenawan Muhammad, Wiratmo Sukito, Sutardji Coulzum Bachri, H.B. Jassin, Hamid Djabbar, Hamsad Rangkuti, Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.
Meniti Karir Jurnalistik hingga Mencapai Puncak
Awal mula karir jurnalistik Andi Makmur Makka mulai berkembang adalah saat menjadi Ketua Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI) Cabang Yogyakarta. Saat Kongres Luar Biasa yang dihadiri peserta dari seluruh Indonesia di Kaliurang, ia memimpin delegasi Yogyakarta dengan Djohan Efendi sebagai Sekretaris (Menteri Sekretaris Negara di era Gus Dur) dan Ichlasul Amal sebagai penasehat (kelak menjabat Rektor UGM dan Ketua Dewan Pers Indonesia). Adapun delegasi Makassar di antaranya ada Alwi Hamu (pendiri media Fajar), dan dari Surabaya ada Sinansari Ecip (kelak memimpin Republika).
Setelah pindah ke Jakarta, ia diminta menjadi redaksi harian mahasiswa "KAMI" yang dipimpin Anwar Nono Makarim. Di jajaran redaksi ada nama-nama seperti Goenawan Mohammad (kelak memimpin Tempo). Selanjutnya ia pindah ke Majalah "Mimbar" sebagai Redaktur Pelaksana (Redpel). Di sini ia bergabung dengan Marie Muhammad, Nurcholish Madjid, Fahmi Idris, dan Sugeng Sarjadi. Di jajaran siding redaksi ada Adi Sasono, Ajip Rosidi, dan SM. Ardan. Di Jakarta ini pulalah ia kembali bertemu teman lamanya yaitu Salim Said, Mochtar Pabottingi, Aspar Paturusi, dan August Parengkuan.
Ketajaman pena Andi Makmur Makka semakin terasah karena ia kemudian menjadi pegawai negeri sipil yang berkiprah dalam dunia penelitian. Ia menekuni profesinya ini selama 22 tahun hingga berakhir pada jenjang tertinggi. Meski demikian, ia tetap berkarir sebagai jurnalis hingga mencapai puncak karir yakni menjadi Pemimpin Redaksi Harian Islam "Republika" yang diterbitkan oleh ICMI Pusat. Tugas ini diembannya hingga melintasi tiga masa jabatan presiden, yakni Soeharto, B.J. Habibie dan Abdurrahman Wahid. Di Dewan Redaksi dan jajaran redaksi antara lain Amien Rais, Dawam Rahardjo, Sutjipto Wirosardjono, Adi Sasono, Sinansari Ecip dan Eep Syaifullah Fatah. Setelah itu, ia masuk lagi ke lembaga non profit yaitu Majalah Media Watch, Jurnal Ilmiah Demokrasi dan HAM, dan menjadi editor Jurnal Bahasa Inggris Postscript.
Goresan Akhir
Mengakhiri tulisan tentang sosok inspiratif sastrawan dan jurnalis Andi Makmur Makka maka penulis mengutip beberapa pesan yang ditulisnya dalam buku "Proses Kreatif Penulis Makassar". Menurutnya, obsesi dan kecintaanya dalam dunia sastra dan tulis-menulis datang dari hati sanubari, adapun keterampilan akan datang sendiri karena ditempa oleh situasi. Tidak perlu kursus dan istilah briefing menjadi sastrawan. Hanya saja, dunia sastra tidak bisa dijadikan mata pencarian utama dalam kehidupan. Ia menyinggung bahwa memang ada beberapa sastrawan yang sukses meniti karir secara finansial, tetapi menurutnya itu juga sifatnya musiman.
Jika dikalkulasi sepanjang karir kepenulisannya, Andi Makmur Makka telah menghasilkan beberapa novel dan puisi. Ada kurang lebih 70 buku yang terdiri dari biografi, kumpulan artikel, kolom, politik, dan sejarah. Tahun 2022, ia masih menerbitkan dua kumpulan puisinya. Di tahun yang sama, ia masih menulis dua cerita pendek yang dimuat di Harian Republika yang pernah dipimpinnya sebagai Pemimpin Redaksi. Menurutnya itu sangat sedikit dan tidak berarti, meski demikian hal itu menunjukkan bahwa ia masih eksis. Dengan hasil ini pula, ia juga masih merasa "marginal" di belantara penyair dan sastrawan Indonesia, tetapi ia mengaku tidak mempersoalkannya.
Di umurnya yang seperti sekarang, Andi Makmur Makka masih menulis puisi sebab menurutnya puisi membuat dunia ini tetap indah dan berseri-seri. Kadang-kadang jika ia berdiri di depan cermin dan melihat wajahnya, ia bertanya pada dirinya sendiri: Kamu mau jadi apa lagi? Meski ia tak tahu jawabannya, tetapi kini, ia hanya ingin melanjutkan rancangan beberapa novelnya yang belum selesai.
Akhirnya, harapannya kini hanya ingin duduk tenang menulis dan menulis. Meski demikian, ia selalu mendapat godaan pikiran, ingin berbuat sesuatu yang berarti dalam hidupnya dan mungkin juga untuk orang lain. Ia tahu, titip perjalanan hidupnya masih selalu penuh dengan "kebetulan". Segalanya tidak pasti, kecuali satu, "kebetulan" juga ia tidak mengetahuinya yakni titik akhir perjalanan manusia. Untuk yang satu ini, ia serahkan kepada Yang Maha Kuasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H