Tentang Salim Said, Dirinya dan Sastrawan Nasional Lainnya
Salim Said merupakan salah satu rekan seperjuangan Andi Makmur Makka mendirikan Orsenim saat mereka kelas III SMP. Tahun 1960, ia melanjutkan SMA di Solo. Pengalaman intelektual sebagai sastrawan remaja di Parepare membuatnya mudah melebur dengan penyair sekelas Mansur Samin dan Budiman S. Hartoyo. Sebelum pindah ke Jakarta, Salim Said sudah menghasilkan esei sastra spektakuler yang dimuat di Mimbar Indonesia dan Majalah Budaya Jaya. Keduanya adalah majalah bergengsi di Indonesia kala itu.
Sekitar 30 tahun kemudian, Salim Said menjadi budayawan nasional bahkan menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta dan memimpin aktivitas kesenian tingkat nasional. Meski berkecimpung di dunia sastra, dia berhasil menjadi Doktor dan Profesor di bidang Ilmu Politik. Kerinduan kedua teman seperjuangan sejak SMP ini terobati saat bertemu di Amerika Serikat. Ternyata mereka berdua melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi yang sama, yaitu Ohio University.
Selepas dari Amerika Serikat, mereka kembali ke Indonesia. Bedanya, Salim Said ke Solo dan Jakarta, sedangkan Andi Makmur Makka melanjutkan pendidikan di UGM Yogyakarta. Di kota ini ia kembali melanjutkan kebiasaan menulis puisi dan cerita pendek di Koran lokal. Cerpennya pun dimuat di Majalah Minggu Pagi, majalah yang juga menjadi tempat pertama Motinggo Busye, Nasyah Djamin, Kirdjomulyo dan A. Bastari Asnin melakukan debut mereka dalam dunia sastra.
Andi Makmur Makka juga berkisah pernah memenangkan lomba penulisan cerpen di majalah mahasiswa UGM, mengungguli Putu Widjaja, Kuntowidjojo dan Ashadi Siregar. Selain itu, ia bergaul dengan WS. Rendra, lalu bersama beberapa kawan penyair Yogyakarta, mereka menerbitkan kumpulan puisi "Manifes." Ia juga menerbitkan puisi berjudul "Ungu" berduet dengan Darmanto Jatman. Ia bergaul dan begadang dengan Umbu Landu Paranggi yang digelari "Presiden Penyair Malioboro", Jajak Md, Ikra Negara, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi WM. Begitupun dengan tokoh senior seperti Dick Hartoko, Bakdi Sumanto, Bastari Asnin, dan Rahmat Djoko Pradopo. Adapun sastrawan yang lebih muda saat itu seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Teguh Santoso, dan Arifin C. Noer, tokoh teater dan film Indonesia. Di Jakarta, ia mengenal seniman-seniman seperti Goenawan Muhammad, Wiratmo Sukito, Sutardji Coulzum Bachri, H.B. Jassin, Hamid Djabbar, Hamsad Rangkuti, Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.
Meniti Karir Jurnalistik hingga Mencapai Puncak
Awal mula karir jurnalistik Andi Makmur Makka mulai berkembang adalah saat menjadi Ketua Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI) Cabang Yogyakarta. Saat Kongres Luar Biasa yang dihadiri peserta dari seluruh Indonesia di Kaliurang, ia memimpin delegasi Yogyakarta dengan Djohan Efendi sebagai Sekretaris (Menteri Sekretaris Negara di era Gus Dur) dan Ichlasul Amal sebagai penasehat (kelak menjabat Rektor UGM dan Ketua Dewan Pers Indonesia). Adapun delegasi Makassar di antaranya ada Alwi Hamu (pendiri media Fajar), dan dari Surabaya ada Sinansari Ecip (kelak memimpin Republika).
Setelah pindah ke Jakarta, ia diminta menjadi redaksi harian mahasiswa "KAMI" yang dipimpin Anwar Nono Makarim. Di jajaran redaksi ada nama-nama seperti Goenawan Mohammad (kelak memimpin Tempo). Selanjutnya ia pindah ke Majalah "Mimbar" sebagai Redaktur Pelaksana (Redpel). Di sini ia bergabung dengan Marie Muhammad, Nurcholish Madjid, Fahmi Idris, dan Sugeng Sarjadi. Di jajaran siding redaksi ada Adi Sasono, Ajip Rosidi, dan SM. Ardan. Di Jakarta ini pulalah ia kembali bertemu teman lamanya yaitu Salim Said, Mochtar Pabottingi, Aspar Paturusi, dan August Parengkuan.
Ketajaman pena Andi Makmur Makka semakin terasah karena ia kemudian menjadi pegawai negeri sipil yang berkiprah dalam dunia penelitian. Ia menekuni profesinya ini selama 22 tahun hingga berakhir pada jenjang tertinggi. Meski demikian, ia tetap berkarir sebagai jurnalis hingga mencapai puncak karir yakni menjadi Pemimpin Redaksi Harian Islam "Republika" yang diterbitkan oleh ICMI Pusat. Tugas ini diembannya hingga melintasi tiga masa jabatan presiden, yakni Soeharto, B.J. Habibie dan Abdurrahman Wahid. Di Dewan Redaksi dan jajaran redaksi antara lain Amien Rais, Dawam Rahardjo, Sutjipto Wirosardjono, Adi Sasono, Sinansari Ecip dan Eep Syaifullah Fatah. Setelah itu, ia masuk lagi ke lembaga non profit yaitu Majalah Media Watch, Jurnal Ilmiah Demokrasi dan HAM, dan menjadi editor Jurnal Bahasa Inggris Postscript.
Goresan Akhir