Lalu apa akibat bagi keluarga Nabi Nuh disebabkan oleh kedurhakaan istrinya atau ibu dari anak-anaknya? Mengutip Qashashul Anbiya Ibnu Katsir, di antara lima putra Nabi Nuh, tiga di antaranya mengikuti keimanan ayahnya dan dua mengikuti kesesatan ibunya. Tiga putra Nabi Nuh yang mengikuti ayahnya adalah Ham, Sam, dan Yafits. Sedangkan yang terpengaruh oleh ibunya yang sesat adalah Yam (disebut Kan'an oleh Ahli Kitab) dan Abir.
Mari kita renungkan pelajaran penting dari kisah keluarga Nabi Nuh ini. Seorang Nabi dan Rasul sekalipun tidak dapat menyelamatkan semua anaknya untuk beriman sebagaimana dirinya. Penyebab utamanya adalah sosok istri yang tidak salehah yang tentu saja memberikan pengaruh buruk pada sebagian anak-anaknya. Pelajaran berikutnya, begitu mahalnya hidayah atau petunjuk sehingga istri Nabi sekalipun tidak dijamin memiliki iman, akhlak atau karakter yang baik.
Kisah Masyithah dan KeluarganyaÂ
Kisah yang berkebalikan dengan istri Nabi Nuh berasal dari negeri piramida, Mesir. Jika istri Nabi Nuh durhaka padahal ia serumah dengan seorang Nabi atau berada di bawah pengawasan hamba pilihan-Nya, justru Masyithah dapat menjaga imannya meski serumah dengan hamba yang paling dilaknat oleh Allah. Keimanan dan akhlak terpuji Masyithah kemudian menghujam juga ke lubuk hati anak-anaknya meski mereka harus meregang nyawa di tangan para algojo Firaun? Berikut kami kisahkan berdasarkan riwayat dari Nabi saw yang dituliskan dalam kitab Qishash Rawaha al-Nabi karya Dr. Utsman Qadri Mukanisi.
Awal mula kisah ini abadi adalah saat Nabi saw sedang isra' (perjalanan) ke Baitul Maqdis lalu beliau mencium bau yang sangat harum. Ia pun berbalik ke Jibril dan menanyakan sumber bau harum itu. Jibril menjelaskan bahwa bau harum itu berasal dari Masyithah dan anak-anaknya. Selanjutnya Jibril mengisahkannya kepada Nabi saw.
Dikisahkan bahwa Masyithah berprofesi sebagai tukang sisir putri dan istri Firaun. Meski hidup dalam kemewahan bersama keluarga Firaun, ia dan suaminya tetap berusaha menjaga keimanan dalam hatinya. Lalu suatu ketika, cobaan keteguhan iman itu datang. Suatu ketika sisirnya terjatuh saat sedang menyisir rambut seorang putri Firaun. Ia lalu memungut sisir itu dengan mengucapkan, "Bismillah". Putri Firaun lalu bertanya apakah yang dimaksudkan oleh Masyithah adalah ayahnya sebagai Tuhan yang Agung? Masyithah menjawab bahwa ia maksudkan adalah Allah, Tuhannya, Tuhan Putri Firaun dan Tuhan ayahnya.
Mendengar ucapan pengasuhnya, putri Firaun marah tetapi dengan tenang tetapi tegas Masyithah berkata, "Sesungguhnya ayahmu adalah manusia, seperti aku dan kamu, Anakku. Ayahmu tiada daya upaya dan kekuatan. Firaun hanyalah seorang lelaki seperti lelaki lain yang makan dan minum, tidur dan terjaga, sakit dan sehat. Ayahmu hanyalah makhluk, Anakku. Jangan terperdaya penampilan luar yang penuh dusta dan menipu."
Putri Firaun tetap keras kepala dan mengatakan akan melaporkan Masyithah pada ayahnya. Masyitah tak gentar dan menegaskan kembali di hadapan Firaun ketika ia dipanggil menghadap. Ia menegaskan bahwa Firauan hanyalah makhluk dari Allah, Tuhan Pencipta langit. Firaun yang curiga suami Masyithah juga beriman sepertinya minta suaminya dihadirkan. Ternyata betul, suami Masyithah juga beriman sebagaimana istrinya. Akhirnya, Firaun memutuskan untuk menghukum satu keluarga itu dengan memanggang mereka dalam tungku yang berbentuk patung sapi betina yang telah dipanaskan.
Pertama-tama yang dilemparkan ke dalam tungku panas adalah suaminya, lalu satu persatu anak-anaknya hingga menyisakan anaknya yang paling kecil. Melihat ibunya tampak resah, si kecil berkata, "Wahai ibu, masuklah, sesungguhnya azab di dunia lebih ringan daripada azab di akhirat." Maka Masyithah pun masuk ke tungku panas. Jibril menutup kisahnya dengan mengatakan bahwa satu keluarga ini mendapat surga di sisi Allah.
Semoga dua kisah yang penulis ceritakan ini sekaligus menjadi renungan di hari ibu, betapa sosok ibu sangat berpengaruh dalam menanamkan kesalehan kepada anak-anaknya. Kedua kisah ini sekaligus menguatkan pesan Nabi saw bahwa ibu adalah madrasah yang pertama bagi anak. Para ibu harus sadar bahwa segala ucapan dan tindakannya tidak luput dari pantauan anak-anaknya, dan secara langsung itu akan menjadi contoh bagi anak. Ada istilah "Bahasa Ibu" tetapi tidak ada "Bahasa Ayah". Ini mengandung arti bahwa dalam berbahasa sekalipun, anak lebih banyak belajar pada ibunya daripada pada ayahnya.