Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kesalehan Anak Sangat Bergantung pada Ibunya: Kisah Anak Nabi Nuh dan Masyithah

23 Desember 2023   07:24 Diperbarui: 23 Desember 2023   08:06 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kisah Masyithah (sumber: Harian Riau.com)

Ada anggapan bahwa dalam suatu keluarga, sosok ayah yang pertama harus baik atau saleh. Anggapan ini tidak salah, sebab laki-laki yang saleh akan mampu menjalankan tugasnya memimpin pendidikan istri dan anak-anaknya. Tetapi hal ini bukan berarti, seorang ibu atau istri sepenuhnya menyerahkan pendidikan anak-anaknya kepada suaminya. Lalu bagaimana ia bisa mendidik anak-anaknya, jika dia juga belum bisa memberikan keteladanan tentang kebaikan dan kesalehan.

Mari renungkan kembali sebuah pesan Nabi saw bahwa ibu adalah madrasah atau sekolah pertama bagi anak-anaknya. Inilah pesan yang diwakili oleh syair yang ditulis dalam Nisaa' Haular Rasul (Mahmud Mahdi dkk) berikut ini:

Seorang ibu adalah madrasah bagi putranya, 

mempersiapkannya adalah mempersiapkan bangsa yang mulia

Seorang ibu adalah taman

Jika kau rawat dia, niscaya tumbuh subur menghijau

Seorang ibu adalah guru dari guru yang pertama

Gerak-geriknya mempengaruhi seluruh ufuk

Kisah Anak-Anak Nabi Nuh dan Ibu Mereka 

Kisah istri Nabi Nuh di antaranya disebutkan dalam Q.S. At-Tahrim:10. Allah menjelaskan bahwa ia dan istri Luth berada dalam pengawasan dua hamba-Nya yang saleh, tetapi kedua istri Nabi itu berkhianat pada suaminya. Suami mereka pun tidak dapat menolong mereka dari siksaan neraka.

Lalu apa akibat bagi keluarga Nabi Nuh disebabkan oleh kedurhakaan istrinya atau ibu dari anak-anaknya? Mengutip Qashashul Anbiya Ibnu Katsir, di antara lima putra Nabi Nuh, tiga di antaranya mengikuti keimanan ayahnya dan dua mengikuti kesesatan ibunya. Tiga putra Nabi Nuh yang mengikuti ayahnya adalah Ham, Sam, dan Yafits. Sedangkan yang terpengaruh oleh ibunya yang sesat adalah Yam (disebut Kan'an oleh Ahli Kitab) dan Abir.

Ilustrasi istri dan anak Nabi Nuh yang tidak ikut berlayar (sumber: Kata Kini.com)
Ilustrasi istri dan anak Nabi Nuh yang tidak ikut berlayar (sumber: Kata Kini.com)

Mari kita renungkan pelajaran penting dari kisah keluarga Nabi Nuh ini. Seorang Nabi dan Rasul sekalipun tidak dapat menyelamatkan semua anaknya untuk beriman sebagaimana dirinya. Penyebab utamanya adalah sosok istri yang tidak salehah yang tentu saja memberikan pengaruh buruk pada sebagian anak-anaknya. Pelajaran berikutnya, begitu mahalnya hidayah atau petunjuk sehingga istri Nabi sekalipun tidak dijamin memiliki iman, akhlak atau karakter yang baik.

Kisah Masyithah dan Keluarganya 

Kisah yang berkebalikan dengan istri Nabi Nuh berasal dari negeri piramida, Mesir. Jika istri Nabi Nuh durhaka padahal ia serumah dengan seorang Nabi atau berada di bawah pengawasan hamba pilihan-Nya, justru Masyithah dapat menjaga imannya meski serumah dengan hamba yang paling dilaknat oleh Allah. Keimanan dan akhlak terpuji Masyithah kemudian menghujam juga ke lubuk hati anak-anaknya meski mereka harus meregang nyawa di tangan para algojo Firaun? Berikut kami kisahkan berdasarkan riwayat dari Nabi saw yang dituliskan dalam kitab Qishash Rawaha al-Nabi karya Dr. Utsman Qadri Mukanisi.

Awal mula kisah ini abadi adalah saat Nabi saw sedang isra' (perjalanan) ke Baitul Maqdis lalu beliau mencium bau yang sangat harum. Ia pun berbalik ke Jibril dan menanyakan sumber bau harum itu. Jibril menjelaskan bahwa bau harum itu berasal dari Masyithah dan anak-anaknya. Selanjutnya Jibril mengisahkannya kepada Nabi saw.

Dikisahkan bahwa Masyithah berprofesi sebagai tukang sisir putri dan istri Firaun. Meski hidup dalam kemewahan bersama keluarga Firaun, ia dan suaminya tetap berusaha menjaga keimanan dalam hatinya. Lalu suatu ketika, cobaan keteguhan iman itu datang. Suatu ketika sisirnya terjatuh saat sedang menyisir rambut seorang putri Firaun. Ia lalu memungut sisir itu dengan mengucapkan, "Bismillah". Putri Firaun lalu bertanya apakah yang dimaksudkan oleh Masyithah adalah ayahnya sebagai Tuhan yang Agung? Masyithah menjawab bahwa ia maksudkan adalah Allah, Tuhannya, Tuhan Putri Firaun dan Tuhan ayahnya.

Mendengar ucapan pengasuhnya, putri Firaun marah tetapi dengan tenang tetapi tegas Masyithah berkata, "Sesungguhnya ayahmu adalah manusia, seperti aku dan kamu, Anakku. Ayahmu tiada daya upaya dan kekuatan. Firaun hanyalah seorang lelaki seperti lelaki lain yang makan dan minum, tidur dan terjaga, sakit dan sehat. Ayahmu hanyalah makhluk, Anakku. Jangan terperdaya penampilan luar yang penuh dusta dan menipu."

Putri Firaun tetap keras kepala dan mengatakan akan melaporkan Masyithah pada ayahnya. Masyitah tak gentar dan menegaskan kembali di hadapan Firaun ketika ia dipanggil menghadap. Ia menegaskan bahwa Firauan hanyalah makhluk dari Allah, Tuhan Pencipta langit. Firaun yang curiga suami Masyithah juga beriman sepertinya minta suaminya dihadirkan. Ternyata betul, suami Masyithah juga beriman sebagaimana istrinya. Akhirnya, Firaun memutuskan untuk menghukum satu keluarga itu dengan memanggang mereka dalam tungku yang berbentuk patung sapi betina yang telah dipanaskan.

Pertama-tama yang dilemparkan ke dalam tungku panas adalah suaminya, lalu satu persatu anak-anaknya hingga menyisakan anaknya yang paling kecil. Melihat ibunya tampak resah, si kecil berkata, "Wahai ibu, masuklah, sesungguhnya azab di dunia lebih ringan daripada azab di akhirat." Maka Masyithah pun masuk ke tungku panas. Jibril menutup kisahnya dengan mengatakan bahwa satu keluarga ini mendapat surga di sisi Allah.

Semoga dua kisah yang penulis ceritakan ini sekaligus menjadi renungan di hari ibu, betapa sosok ibu sangat berpengaruh dalam menanamkan kesalehan kepada anak-anaknya. Kedua kisah ini sekaligus menguatkan pesan Nabi saw bahwa ibu adalah madrasah yang pertama bagi anak. Para ibu harus sadar bahwa segala ucapan dan tindakannya tidak luput dari pantauan anak-anaknya, dan secara langsung itu akan menjadi contoh bagi anak. Ada istilah "Bahasa Ibu" tetapi tidak ada "Bahasa Ayah". Ini mengandung arti bahwa dalam berbahasa sekalipun, anak lebih banyak belajar pada ibunya daripada pada ayahnya.

Seorang anak lebih dulu pandai menyebut kata "Mama" atau "Ibu" dibanding kata "Papa" atau "Ayah". Lalu apa tugas ayah atau suami? Tentu saja memimpin pendidikan keluarganya karena ayah atau suami memang telah diamanahi sebagai pemimpin dalam rumah tangganya. Maka barulah menjadi satu paket lengkap jika suaminya saleh dan istrinya salehah sebagaimana keluarga Masyithah. Tentu kita tidak berharap keluarga kita seperti Nabi Nuh disebabkan kedurhakaan istrinya. Semoga ulasan kami bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun