Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kembali menuai sorotan pasca kegagalan "polisi dunia" ini menghentikan agresi Israel di Gaza, Palestina yang sudah berlangsung lebih dari dua bulan. Kegagalan PBB menghentikan tragedi kemanusiaan di Palestina disebabkan rancangan resolusi Dewan Keamanan (DK) yang menyerukan gencatan senjata diveto oleh Amerika Serikat.
Rancangan resolusi yang digagas oleh Uni Emirat Arab (UEA) tersebut menyerukan semua pihak yang terlibat konflik di Gaza mematuhi hukum internasional, khususnya perlindungan warga sipil, menuntut gencatan senjata kemanusiaan segera dan meminta Sekretaris Jenderal PBB Antonio Gutteres untuk melaporkan pada Dewan Keamanan mengenai pelaksanaan gencatan senjata.
Rancangan resolusi ini didukung oleh hampir 100 negara anggota PBB dan 13 anggota DK PBB. Inggris memilih abstain, tetapi AS menggunakan hak veto-nya sehingga resolusi ini gagal menekan pihak yang berkonflik untuk melakukan gencatan senjata. Dengan demikian tragedi kemanusiaan akibat perang berkepanjangan hampir bisa dipastikan akan terus berlanjut.
Israel Meningkatkan Serangan di Tengah Seruan Gencatan Senjata
Kegagalan DK-PBB meloloskan resolusi gencatan senjata mendorong Majelis Umum melakukan voting untuk mengeluarkan resolusi sejenis. Majelis Umum telah melakukan dua kali voting untuk menyerukan gencatan senjata di Gaza, tetapi telah dua kali pula hasil voting tak mampu menghentikan perang. Sebelumnya pada voting 27 Oktober 2023, 120 negara mendukung gencatan senjata, 14 menolak termasuk Amerika Serikat, dan 45 abstain. Meski didukung mayoritas negara anggota dan hanya 14 yang menolak, perang tetap berlanjut. Nasib yang sama terjadi lagi dengan voting Majelis Umum baru-baru ini (12 Desember 2023). Meski didukung oleh 153 negara dan hanya 10 yang menolak termasuk Amerika Serikat, perang pun masih berlanjut.
Israel tentu mengucapkan terima kasih kepada AS atas dukungan negara ini dengan memveto resolusi DK PBB dan menolak resolusi Majelis Umum. Meski demikian, mereka masih memberi peluang gencatan senjata dengan dua syarat yaitu Hamas mengembalikan seluruh sandera dan kehancuran Hamas. Tampaknya Israel sedang mengejar target kedua yaitu kehancuran Hamas. Buktinya, sudah sepekan resolusi Majelis Umum PBB disahkan, namun tak ada isyarat bahwa Israel akan menghentikan serangan, bahkan serangan di Gaza semakin meningkat. Mereka bukan hanya membanjiri terowongan Hamas dengan menggunakan pompa-pompa raksasa tetapi juga dengan serangan udara atau pemboman. Pertempuran sengit di Gaza juga diakui oleh pihak tentara IDF, bahkan dalam sehari terakhir ini mereka mampu menyerang 200 lokasi.
Di antara serangan brutal yang menewaskan banyak warga sipil adalah serangan ke kamp pengungsi Jabalia pada Minggu malam waktu setempat. Sekitar 90 orang tewas akibat peluru kendali (rudal) yang menghantam blok perumahan warga. Selain kamp pengungsi, tentara Israel juga menyerang rumah sakit Al-Shifa pada Senin dan menewaskan 26 orang. Pihak WHO pada 17 Desember 2023 menyebut unit gawat darurat di rumah sakit Al-Shifa sebagai "tempat pertumpahan darah" akibat serangan brutal Israel ini.
Selain rumah sakit Al-Shifa, rudal Israel juga menghantam rumah sakit anak Nasser di Khan Younis dan menewaskan gadis berusia 13 tahun dan melukai tiga lainnya. Total korban jiwa di Gaza sejak Operasi Pedang Besi Israel dimulai sejak awal Oktober 2023 sudah hampir mencapai 20.000 jiwa. Serangan Israel ke rumah sakit Al-Shifa dan Nasser ini membuat pihak Kementerian Kesehatan Gaza menyebut bahwa Israel bermaksud menghancurkan sistem kesehatan di Gaza. Apalagi Israel juga pada Sabtu, 17 Desember 2023 telah menghancurkan fasilitas rumah sakit Kamal Adwan di Gaza Utara menggunakan buldozer.
Mengubah "Operasi Pedang Besi": Ingin Dikenang atau Malu Kalah?
Fakta terbaru bahwa perang belum menunjukkan tanda segera berakhir adalah rapat kabinet perang Israel yang turut dihadiri oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Di awal pertemuan, Netanyahu membacakan surat dari keluarga tentara Israel yang tewas lalu Netanyahu berjanji akan melanjutkan perang hingga akhir. Ia juga sangat yakin dapat menghabisi Hamas dan membebaskan semua sandera. Juga memastikan bahwa Gaza tidak akan menjadi pusat teror. Adapun kesepakatan yang dihasilkan dalam rapat yang digelar pada Senin, 18 Desember 2023 itu adalah perubahan nama "Operasi Pedang Besi" atau Operation Swords of Iron menjadi perang. Operasi Pedang Besi sendiri telah berlangsung selama dua bulan dan merupakan balasan terhadap Operasi Badai Al-Aqsha Hamas pada 7 Oktober 2023.
Adapun beberapa nama alternatif untuk menggantikan Operasi Pedang Besi adalah Perang Gaza, Perang Simchat Torah, dan Perang Genesis. Apapun nama yang dipergunakan nantinya, Netanyahu berkeinginan perang tersebut akan dikenang oleh dunia internasional. Tujuannya agar perang tersebut dikenang sebagai perang yang signifikan bukan sekadar sebuah operasi.
Mengubah nama operasi menjadi perang sudah pernah terjadi sebelumnya, seperti Perang Lebanon Kedua (2006) yang awalnya bernama Operasi Remisi Saja lalu Operasi Perubahan Arah. Meski demikian, perubahan kali ini menimbulkan pertanyaan, apakah karena Netanyahu ingin dikenang namanya sebagai pencetus perang atau karena Netanyahu malu karena kekalahan terus-menerus dalam Operasi Pedang Besi?
Kedua alasan ini tentu masing-masing punya argumen. Pertama, seperti yang telah disinggung bahwa perubahan operasi menjadi perang sudah pernah terjadi sebelumnya. Kedua, perubahan ini terjadi menyusul kekalahan yang diderita Israel sehingga nama Operasi Pedang Besi harus diganti karena identik dengan kekalahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H