Di antara penekanan Resolusi No. 242 Tahun 1967 adalah tidak dapat diterimanya perebutan wilayah melalui perang dan mengharuskan Israel keluar meninggalkan daerah pendudukannya di Palestina, namun Israel tidak mengindahkannya. Ironisnya, PBB tak mampu memberikan sanksi tegas terhadap Israel yang terang-terangan melanggar resolusi. Sebagaimana diketahui bahwa perang enam hari tahun 1967 antara Arab vs Israel berhasil dimenangkan oleh Israel. Akibatnya dalam waktu enam hari itu Israel merebut Tepi Barat dari Yordania, Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir, dan Dataran Tinggi Golan dari Suriah. Israel kemudian bersedia mengembalikan Semenanjung Sinai ke Mesir tetapi menahan Tepi Barat, Jalur Gaza dan Golan. Israel pun menguatkan posisinya dengan membentuk pendudukan militer di wilayah-wilayah Palestina itu.
Nasib hampir sama dialami oleh Resolusi No. 338 Tahun 1973 yang merupakan upaya PBB menengahi konflik akibat perang Mesir dan Suriah melawan Israel (Perang Yom Kippur). Kedua negara Arab itu menyerang Israel untuk mengembalikan Semenanjung Sinai ke Mesir dan Dataran Tinggi Golan ke Suriah. Awalnya kedua pihak bersedia melakukan gencatan senjata sebagaimana seruan dalam resolusi sesuai proposal bersama Amerika Serikat dan Uni Soviet. Tetapi, kemudian pertempuran berlanjut di beberapa wilayah. Akibatnya Presiden Mesir, Anwar el Sadat lantas meminta AS dan Uni Soviet mengirimkan pasukan guna menegakkan gencatan senjata. Uni Soviet setuju, tetapi AS menolak. Akhirnya, DK PBB memutuskan pembentukan pasukan penjaga perdamaian sekaligus menjadi Pasukan Darurat kedua (UNEF II).
Perjanjian Camp David 1978
Peran AS lainnya dalam menengahi konflik di Palestina adalah Perjanjian Camp David tahun 1978. Perjanjian yang ditandatangani pada 17 September 1978 di Gedung Putih AS ini lagi-lagi melibatkan Presiden Mesir, Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel, Manachem Begin.
Perjanjian rahasia yang diprakarsai oleh Presiden AS, Jimmy Carter ini mensyaratkan tiga komponen penting yaitu pengakuan Arab terhadap Israel, negara Arab tidak akan mengancam Israel dan tidak akan membagi-bagi Yerusalem serta penarikan pasukan Israel dari wilayah-wilayah pendudukan.
Perjanjian Oslo (Oslo Agreement) Tahun 1995
Perjanjian ini lahir akibat semakin memanasnya konflik Israel-Palestina pasca penetapan batas wilayah masing-masing melalui Resolusi PBB No. 181. Resolusi ini menetapkan bahwa Israel mendapatkan 56% wilayah, sedangkan Palestina mendapatkan 44%.
AS kembali hadir memediasi kedua pihak untuk bertemu dan berunding secara rahasia di Norwegia sebanyak dua kali (Oslo I dan II). Perjanjian Oslo ditandatangani di Washington DC pada 28 September 1995. Secara umum di antara kesepakatan Oslo adalah Israel tetap memegang kontrol atas wilayah pemukiman Yahudi dan instalasi militer. Adapun status kota Hebron menunggu negosiasi berikutnya. Selanjutnya, Tepi Barat akan dibagi menjadi tiga zona kontrol: Zona A seluas 3% di bawah kontrol Palestina, Zona B seluas 70% di bawah kontrol militer Israel, dan Zona C seluas 27% termasuk sebagian Gaza dikontrol bersama oleh otoritas Israel dan Palestina. Lebih lanjut Oslo juga mensyaratkan Palestina menggelar Pemilihan Umum (Pemilu).
Resolusi dan Peta Perdamaian Tahun 2002