Di beberapa artikel berselang, kami pernah mengulas tentang pahlawan nasional Emmy Saelan. Di edisi kali ini kita akan kembali mengenang selintas perjuangannya untuk memaknai peringatan Hari Pahlawan. Bedanya, kita juga akan mengenang perjuangan dua saudaranya yaitu Maulwi Saelan dan Elly Saelan. Jangan sampai banyak di antara kita yang hanya mengenal Emmy Saelan, tetapi melupakan dua saudaranya ini.
Emmy Saelan: Srikandi Palang Merah yang Gugur Meledakkan Diri
Profil Emmy Saelan sudah pernah kami tulis dalam beberapa artikel sebelumnya. Meski demikian, agar pesan tulisan kali ini lebih lengkap mungkin ada baiknya kita kenang kembali. Emmy---demikian ia disapa---berlatar belakang sebagai perawat. Tetapi panggilan jiwa untuk berjuang menegakkan kemerdekaan lebih memenuhi relung hatinya. Maka ia pun masuk ke belantara markas pemuda pejuang. Pengalaman sebagai perawat menjadi alasan laskar mempercayainya sebagai Ketua Palang Merah.
Meski begitu, ia menjalankan beberapa peran termasuk misi spionase masuk kota Makassar sebelum laskar bergerak masuk kota. Bahkan tak jarang ia terlibat dalam pertempuran, meski menjadi satu-satunya wanita di medan tempur menghadapi Belanda dan kaki tangannya. Termasuk saat ia menderita sakit seperti saat 85 pemuda berjalan kaki dari Polongbangkeng Selatan, Takalar lalu menyeberangi sungai Jeneberang masuk kota Makassar. Tiba di dalam kota mereka langsung terlibat kontak senjata dengan serdadu Belanda.
Setelah melalui beberapa misi berbahaya dan pertempuran terbuka, ia tetap gugur sebagai seorang srikandi pejuang palang merah. Ia memutuskan meledakkan diri saat ia dan serombongan kecil pemuda yang luka-luka dan pengawal 10 orang terkepung dalam sebuah perjalanan. Granat tangan itu pun meledak di saat usia Emmy baru menginjak 23 tahun. Meski ia gugur bersama pemuda pejuang lainnya, ia berhasil menewaskan 8 serdadu Belanda.
Maulwi Saelan: Benteng Republik, Benteng Bung Karno dan Benteng PSSI
Tidak banyak pahlawan yang mendapat kehormatan menyandang beberapa predikat ini. Pahlawan yang beruntung itu adalah adik Emmy Saelan yang lebih dulu bergabung dalam kelaskaran di Sulawesi Selatan.Â
Maulwi Saelan tidak ada di sisi Emmy Saelan saat peristiwa mengenaskan gugurnya sang kakak. Ia yang sedang memimpin kesatuan pemuda di medan tempur lainnya hanya mengutus seorang anak buahnya untuk mengawasi kakaknya.Â
Hal ini ia lakukan karena ada firasat buruknya sesuatu akan terjadi. Firasat kuat sang adik yang hanya berselisih  dua tahun ini terbukti setelah anak buahnya yang bernama Abdul Rahim kembali dan melaporkan tentang bagaimana kakaknya gugur di hadapan musuh.
Gugurnya sang kakak tak menciutkan nyalinya untuk terus berjuang membentengi NKRI hingga Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia pada akhir 27 Desember 1949.
Bertubuh tegap dan tinggi ditambah pengalaman bertahun-tahun sebagai laskar pemuda pejuang dengan pengalaman kepemimpinan di masa-masa sulit, membuatnya mudah beradaptasi saat terpilih menjadi personil Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Bintangnya perlahan bersinar pasca sebuah percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno tahun 1957. Peristiwa ini menjadi sebab khusus terbentuknya Cakrabirawa berselang lima tahun kemudian (1962). Letnan Maulwi Saelan yang saat itu masih bertugas di Makassar dalam kesatuan Corps Polisi Militer (CPM) lantas dipanggil ke Jakarta untuk menjabat Kepala Staf dan Wakil Komandan Cakrabirawa.
Sebelum bertugas sebagai Wakil Komandan Cakrabirawa, tiga tahun sebelumnya ia ditugasbelajarkan di Physics Security and The Provost Marshal's General's School di Fort Gordon di Amerika Serikat (1959-1960). Sepulang dari Amerika, ia masih harus mengikuti pendidikan di Batujajar oleh Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) sehingga ia mencapai pangkat Mayor.
Ia tetap menjabat posisi Wakil Komandan Cakrabirawa hingga saat Bung Karno mengalami masa-masa krisis pasca antara 1965-1966. Sayangnya kedekatannya dengan Bung Karno menyebabkan ia ikut ditangkap oleh Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Saat ditangkap dan dijebloskan dalam Rumah Tahanan Militer (RTM), usia pemuda kelahiran 1926 ini tergolong masih muda yakni 40 tahun.Â
Setelah dipindah ke rumah tahanan (rutan) Salemba, kondisi kesehatannya memburuk akibat kondisi ruang tahanan yang tidak layak. Penjagaan yang superketat membuatnya tak dapat keluar hingga buang air pun dilakukannya di dalam penjara. Setelah ditahan selama empat tahun delapan bulan tanpa proses pengadilan barulah ia dibebaskan. Menyusul pembebasan dirinya, namanya pun dibersihkan dengan keterangan tidak terlibat Gerakan 30 September/PKI.
Setelah pensiun, Maulwi masih setia menjadi sosok pembela Sukarno dari tuduhan-tuduhan palsu. Sehingga dengan demikian, Maulwi sebagai pelaku dan saksi sejarah di sekitar kehidupan Sukarno berperan meluruskan sejarah. Perlu diketahui bahwa sejarawan nasional Asvi Warman Adam telah menulis buku berjudul "Maulwi Saelan, Penjaga Terakhir Soekarno" yang diterbitkan oleh Kompas (2014).
Selain berprofesi seorang prajurit, Maulwi adalah seorang olahragawan handal di cabang sepak bola setelah bakatnya diasah oleh Andi Mattalatta. Posturnya yang tinggi menjadikannya seorang kiper handal hingga dipercaya menjadi benteng terakhir Timnas sepak bola Indonesia atau PSSI. Ia bahkan sempat melegenda saat memperkuat Timnas Indonesia di Olimpiade Melbourne (1956) saat usianya 30 tahun. Saat Maulwi bersama legenda sepakbola Indonesia lainnya seperti Ramang yang juga berasal dari Makassar.Â
Mereka melegenda karena meski baru pertama kali tampil di Olimpiade, mereka berhasil menahan imbang tim kuat Uni Soviet tanpa gol. Hal ini tidak terlepas dari peran penting Maulwi sebagai penjaga gawang.Â
Dua tahun sebelumnya, Maulwi berperan penting saat Timnas Indonesia masuk empat besar Asian Games (1954) dan meraih medali perunggu empat tahun kemudian (1958). Semua ini tentu prestasi luar biasa sebuah tim dari negara yang belum genap 10 tahun membina sepak bolanya pasca pengakuan kedaulatan tahun 1949.
Di masa-masa akhir hidupnya, di saat ia terbaring sakit dengan alat perekam jantung, ia masih sempat menyaksikan pertandingan uji coba Indonesia vs Malaysia yang berakhir dengan kemenangan telak Indonesia (3) atas Malaysia (0).
Selain sepak bola, kecintaan kepada pendidikan dari sang ayah yang merupakan pendiri sekolah Taman Siswa di Makassar juga menitis ke Maulwi. Ia pun mendirikan yayasan yang bergerak di bidang pendidikan yang bernama Yayasan Al-Azhar Syifa Budi, Jakarta. Di masjid dalam kawasan sekolah ini pulalah ia dishalatkan setelah wafat untuk selanjutnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata (2016). Penjaga NKRI, Bung Karno dan PSSI ini wafat dalam usia 90 tahun.
Elly Saelan: Setia Mendampingi Sang Panglima di Masa Penuh Gejolak dan Masa Damai
Elly Saelan merupakan adik dari Emmy Saelan dan Maulwi Saelan. Di masa Indonesia telah aman dari gangguan dan pendudukan Belanda, Elly menempuh pendidikan di Yogyakarta. Ia mengikuti jejak sang kakak menjadi olahragawan handal. Di Yogyakarta inilah ia bertemu dan menikah dengan seorang prajurit pilihan, juga dari Tanah Sulawesi.Â
Seorang pemuda bangsawan tinggi dari Bumi Arung Palakka bernama Andi Muhammad Yusuf Amir. Pemuda ini adalah putra dari Andi Tappu Amir Arung Kajuara dan Petta Bunga. Kedua orang tuanya merupakan cicit Raja Bone XXIV La Mappatunru To Appasessu (1812-1823). Meski seorang bangsawan tinggi dari salah satu kerajaan terbesar di Nusantara, ia lebih suka dipanggil M. Yusuf. Elly Saelan dan M. Yusuf menjalin ikatan rumah tangga pada paruh pertama tahun 1954.
Elly Saelan hadir mendampingi suami di masa-masa penugasan dan konflik dengan tanggung jawab keamanan di Indonesia bagian Timur. Sebuah tugas yang tentu membutuhkan dukungan seorang istri di sampingnya.Â
Di antara konflik yang harus diselesaikan oleh sang suami di saat pernikahan mereka belum genap berusia lima tahun adalah pemberontakan Permesta, di mana ia pernah pura-pura bergabung untuk mengetahui gerakan mereka. Permesta baru mengetahuinya ketika M. Yusuf diangkat sebagai Panglima Kodam Sulawesi Selatan dan Tenggara pada Mei 1958 dan berbalik menumpas Permesta. Selanjutnya, pada Oktober 1959, M. Yusuf dimutasi untuk menjabat Panglima Kodam XIV/Hasanuddin.
Enam tahun pasca pengangkatannya sebagai Panglima Kodam XIV/Hasanuddin, Elly Saelan masih harus menyaksikan sang suami berhadap-hadapan dengan mantan komandannya sekaligus sahabat seperjuangan di Yogyakarta masa revolusi, yakni Kahar Muzakkar. Komandannya di Batalyon TRI Persiapan Sulawesi (TRIPS) ini memilih jalur berlawanan dengan pemerintah dengan melakukan pemberontakan.
Elly Saelan menyaksikan sang suami menghadapi dilema saat diminta menjadi negosiator dengan mantan komandannya untuk kembali ke pangkuan NKRI. Tetapi apa daya sang mantan komandan tegas menolak. Akibatnya sebuah operasi penumpasan digelar dan dipimpin langsung olehnya. Mantan komandannya di TRIPS ini dinyatakan tertembak pada 3 Pebruari 1965.
Hanya berselang tujuh bulan kemudian, Elly Saelan juga mendampingi suami saat ia menjadi salah satu perwira tinggi di barisan Jenderal Suharto untuk menangani pemberontakan G30S/PKI. Termasuk saat-saat krusial menjelang keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) di mana sang suami yang saat itu berpangkat Brigadir Jenderal menjadi salah satu perwira kunci dan saksi atas keluarnya mandat Presiden Sukarno kepada atasan suaminya, Letnan Jenderal Suharto.
Langit tak selamanya mendung. Ungkapan ini tepat untuk menggambarkan rumah tangga Elly Saelan dan M. Yusuf. Masa-masa penuh gejolak telah usai, mulai dari Permesta, Kahar Muzakkar, hingga G30S/PKI. Saatnya Elly Saelan menyaksikan sang suami dapat menikmati ketenangan dan kecemerlangan karirnya.Â
Sang suami berhasil mencapai puncak karir seorang prajurit dengan menjabat Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan pangkat Jenderal (1978). Di antara warisan sang panglima adalah keberhasilan program ABRI masuk desa yang hingga kini melekat di memori rakyat Indonesia.
Tetapi lagi-lagi sang suami diuji dengan sebuah fitnah yang tak jelas sumbernya. Popularitas sang suami dianggap dapat membahayakan posisi Presiden Suharto. Harga dirinya terusik, sehingga ia tak lagi pernah mau menghadiri siding kabinet hingga ia diberhentikan (1983).
Meski begitu, bintang sang suami belum juga pudar meski bintang itu tak lagi berupa tanda pangkat di bahu. Nama baik dan dedikasi sang suami yang tak perlu diragukan mengantarkannya mendapat amanah menjaga keuangan negara sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama satu dekade lamanya (1983-1993).
Jenderal M. Yusuf wafat tahun 2004 dalam usia 76 tahun didampingi oleh istri Elly Saelan. Bahkan sang istri meminta waktu khusus berdua dengan almarhum suaminya. Ia tak ingin diganggu saat membacakan Al-Quran di depan almarhum selama sekitar dua jam lamanya.
Elly Saelan menyusul suami tercinta berselang satu dekade kemudian yakni tahun 2014 dalam usia 85 tahun. Ia dishalati dalam masjid terbesar di Sulawesi Selatan yang namanya didedikasikan untuk suami tercinta Masjid Al-Markaz Al-Islami Jend M. Yusuf. Selanjutnya almarhumah dimakamkan di Pemakaman Umum Panaikang tepat di samping makam suaminya dan putra tunggalnya.
Elly Saelan menjadi inspirasi kepahlawanan dengan kesetiaannya mendampingi sang Panglima hampir lima dekade lamanya (50 tahun). Ia telah menjadi pahlawan keluarga, sebab tidak ada suami yang hebat atau sukses tanpa seorang istri di sampingnya. Pahlawan tidak hanya identik dengan patriot bangsa dan negara di masa-masa perjuangan.Â
Pahlawan bisa hadir di sepanjang lini masa dengan berbagai ragam perjuangannya. Sama halnya jika kita mengatakan bahwa Kartini bukan hanya milik abad ke-19 tetapi sepanjang abad bisa lahir Kartini-Kartini lainnya. Begitulah Elly Saelan menjadi pahlawan bagi keluarganya, pahlawan yang mengawal suaminya meniti karir pengabdian kepada bangsa dan negaranya.
Dengan demikian tiga Saelan bersaudara (Emmy Saelan, Maulwi Saelan dan Elly Saelan) menjadi satu potret keluarga yang utuh yang mempersembahkan jiwa dan raga mereka untuk bangsa dan negaranya. Tentu dengan demikian, NKRI harus bangga pernah memiliki ketiga putra dan putri terbaik bangsa ini melebihi kebanggaan orang tua mereka bertiga, Amin Saelan dan Soekamti (berdarah Jawa-Madura). Perlu diketahui bahwa ayah dari tiga Saelan bersaudara ini adalah pendiri sekolah Taman Siswa di Makassar, meski ia berprofesi sebagai Pamong Praja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H