Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tiga Saelan Bersaudara: Inspirasi Kepahlawanan Lintas Zaman

10 November 2023   13:23 Diperbarui: 10 November 2023   13:35 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gugurnya sang kakak tak menciutkan nyalinya untuk terus berjuang membentengi NKRI hingga Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia pada akhir 27 Desember 1949.

Bertubuh tegap dan tinggi ditambah pengalaman bertahun-tahun sebagai laskar pemuda pejuang dengan pengalaman kepemimpinan di masa-masa sulit, membuatnya mudah beradaptasi saat terpilih menjadi personil Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Bintangnya perlahan bersinar pasca sebuah percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno tahun 1957. Peristiwa ini menjadi sebab khusus terbentuknya Cakrabirawa berselang lima tahun kemudian (1962). Letnan Maulwi Saelan yang saat itu masih bertugas di Makassar dalam kesatuan Corps Polisi Militer (CPM) lantas dipanggil ke Jakarta untuk menjabat Kepala Staf dan Wakil Komandan Cakrabirawa.

Sebelum bertugas sebagai Wakil Komandan Cakrabirawa, tiga tahun sebelumnya ia ditugasbelajarkan di Physics Security and The Provost Marshal's General's School di Fort Gordon di Amerika Serikat (1959-1960). Sepulang dari Amerika, ia masih harus mengikuti pendidikan di Batujajar oleh Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) sehingga ia mencapai pangkat Mayor.

Ia tetap menjabat posisi Wakil Komandan Cakrabirawa hingga saat Bung Karno mengalami masa-masa krisis pasca antara 1965-1966. Sayangnya kedekatannya dengan Bung Karno menyebabkan ia ikut ditangkap oleh Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Saat ditangkap dan dijebloskan dalam Rumah Tahanan Militer (RTM), usia pemuda kelahiran 1926 ini tergolong masih muda yakni 40 tahun. 

Setelah dipindah ke rumah tahanan (rutan) Salemba, kondisi kesehatannya memburuk akibat kondisi ruang tahanan yang tidak layak. Penjagaan yang superketat membuatnya tak dapat keluar hingga buang air pun dilakukannya di dalam penjara. Setelah ditahan selama empat tahun delapan bulan tanpa proses pengadilan barulah ia dibebaskan. Menyusul pembebasan dirinya, namanya pun dibersihkan dengan keterangan tidak terlibat Gerakan 30 September/PKI.

Setelah pensiun, Maulwi masih setia menjadi sosok pembela Sukarno dari tuduhan-tuduhan palsu. Sehingga dengan demikian, Maulwi sebagai pelaku dan saksi sejarah di sekitar kehidupan Sukarno berperan meluruskan sejarah. Perlu diketahui bahwa sejarawan nasional Asvi Warman Adam telah menulis buku berjudul "Maulwi Saelan, Penjaga Terakhir Soekarno" yang diterbitkan oleh Kompas (2014).

Sampul buku Maulwi Saelan Penjaga Terakhir Soekarno (sumber: opac.perpusnas)
Sampul buku Maulwi Saelan Penjaga Terakhir Soekarno (sumber: opac.perpusnas)

Selain berprofesi seorang prajurit, Maulwi adalah seorang olahragawan handal di cabang sepak bola setelah bakatnya diasah oleh Andi Mattalatta. Posturnya yang tinggi menjadikannya seorang kiper handal hingga dipercaya menjadi benteng terakhir Timnas sepak bola Indonesia atau PSSI. Ia bahkan sempat melegenda saat memperkuat Timnas Indonesia di Olimpiade Melbourne (1956) saat usianya 30 tahun. Saat Maulwi bersama legenda sepakbola Indonesia lainnya seperti Ramang yang juga berasal dari Makassar. 

Mereka melegenda karena meski baru pertama kali tampil di Olimpiade, mereka berhasil menahan imbang tim kuat Uni Soviet tanpa gol. Hal ini tidak terlepas dari peran penting Maulwi sebagai penjaga gawang. 

Dua tahun sebelumnya, Maulwi berperan penting saat Timnas Indonesia masuk empat besar Asian Games (1954) dan meraih medali perunggu empat tahun kemudian (1958). Semua ini tentu prestasi luar biasa sebuah tim dari negara yang belum genap 10 tahun membina sepak bolanya pasca pengakuan kedaulatan tahun 1949.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun