Bani Israil adalah salah satu suku bangsa yang banyak diabadikan kisahnya dalam Al-Quran. Adapun di antara ulama yang menuliskan silsilah dan kisah mereka berdasarkan Al-Quran dan Hadits di antaranya adalah ulama tafsir dan ahli sejarah, Ibnu Katsir dalam kitabnya berjudul "Qashasul Anbiya". Maka silsilah dan lintasan sejarah Bani Israil dalam tulisan kali ini menggunakan rujukan utama kitab yang menuliskan sejarah 34 Nabi dan Rasul ini.Â
Silsilah Bani Israil
Dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim alaihissalam (as) memiliki dua putra yang juga menjadi Nabi. Pertama, Ismail yang sejak bayi sudah dibawa oleh ibunya ke Makkah dan menjadi peletak dasar kota Makkah. Â Ibrahim as kemudian masih sering menjenguk putranya ini bahkan keduanya membangun kembali Kakbah. Adapun putra Ibrahim as yang kedua bernama Ishaq. Dialah yang kelak menurunkan Bani Israil. Saat usia Ishak menginjak 40 tahun, Allah mengkaruniakan dua anak kembar. Anaknya yang pertama bernama Aish, yang oleh orang Arab disebut nenek moyang bangsa Romawi, dan yang kedua bernama Ya'kub. Disebut Ya'kub (yang kalau diterjemahkan berarti belakangan), karena ia lahir setelah saudaranya. Dia inilah Israil, asal-usul nasab Bani Israil.
Nabi Ya'kub menikahi dua putri pamannya bernama Laya dan Rahil. Saat itu menikahi dua wanita bersaudara lazim berlaku dalam agama mereka, namun kemudian aturan ini dihapus oleh syariat Taurat. Nabi Ya'kub menikahi Rahil berselang tujuh tahun setelah menikahi Yala. Itupun dengan syarat, Nabi Ya'kub harus menggembala kambing milik pamannya selama tujuh tahun.
Anak-anak dari Laya adalah Robil, Syam'un, Lawi, Yahudza, Isakhir, dan Zabalun. Anak-anak dari Rahil adalah Yusuf dan Bunyamin. Empat putra Nabi Ya'kub yang lain masing-masing dua dari budak Laya, dan dua dari budak Rahil. Dengan demikian Nabi Ya'kub memiliki 12 anak lelaki yang semuanya menjadi nenek moyang Bani Israil. Salah satu dari putra Nabi Ya'kub kelak juga menjadi Nabi dan mendapat amanah sebagai bendahara di Mesir. Putra yang dimaksud tidak lain adalah Yusuf as.
Bani Israil Memasuki Negeri Mesir
Setelah mendapatkan kemuliaan di Negeri Mesir, Yusuf dipertemukan kembali dengan saudara-saudara dan ayah ibunya. Setelah sekian lama mereka berkumpul dan tinggal di Mesir, Nabi Ya'kub meninggal dunia. Â Yusuf memerintahkan para tabib untuk memberikan wewangian di sekujur tubuh ayahnya, lalu jenazah ayahnya disemayamkan selama 40 hari dengan wewangian itu. Setelah itu Yusuf meminta izin kepada Raja Mesir untuk pergi mengubur jenazah ayahnya di dekat makam keluarganya, raja mengizinkan. Sejumlah pembesar dan orang-orang Mesir yang dituakan juga ikut mengantar. Setelah tiba di Hebron, mereka mengubur jenazah Nabi Ya'kub di sebuah gua yang dibeli Nabi Ibrahim dahulu dari Afran bin Shakr Al-Haitsi. Mereka mengadakan takziyah untuk Nabi Ya'kub selama tujuh hari.
Ahli kitab juga menyebutkan, setelah itu mereka pulang ke Mesir. Saudara-saudara Nabi Yusuf menyampaikan ucapan bela sungkawa kepadanya atas kepergian ayah mereka, dan berbelas kasih padanya. Nabi Yusuf memuliakan merela, memberi tempat yang baik, dan menempatkan mereka di negeri Mesir.
Setelah itu kematian datang menjelang Nabi Yusuf. Ia berwasiat agar jenazahnya mereka bawa saat pergi meninggalkan Mesir, untuk selanjutnya dimakamkan bersama para leluhurnya. Mereka kemudian membalsem jenazahnya lalu mereka letakkan di dalam peti. Jenazah Nabi Yusuf tetap berada di Mesir hingga dibawa oleh Nabi Musa saat pergi meninggalkan Mesir, kemudian dimakamkan di dekat makam para leluhurnya. Mereka, ahli kitab menyebutkan, Nabi Yusuf meninggal dunia dalam usia 120 tahun.
Penderitaan Bani Israil di Bawah Kekuasaan Firaun
Bani Israil menetap di Mesir selama 426 tahun, terhitung saat mereka masuk ke negeri ini bersama ayah mereka, Israil (Ya'kub), hingga keluar bersama Musa as. Ia sendiri merupakan keturunan dari Lawi bin Ya'kub bin Ishak bin Ibrahim. Dengan demikian, Nabi Musa juga merupakan salah satu Nabi keturunan Bani Israil. Dikisahkan bahwa Bani Israil mengalami perlakuan semena-mena atau tertindas oleh Firaun yang mendeklarasikan dirinya sebagai Tuhan. Maka Musa as dikirim mendakwahi Firaun ditemani oleh saudaranya, Harun as.
Muncul pertanyaan, jika Musa selamat dari kekejaman Fir'aun karena diadopsi oleh Asia, istri Fir'aun, kemudian kembali ke pangkuan ibunya, bagaimana halnya dengan Harun? Dijelaskan oleh Ibnu Katsir bahwa sejumlah mufassir menyebutkan, kaum Qibhti mengeluh minimnya populasi Bani Israil kepada Fir'aun karena bayi lelaki dari kalangan mereka dibunuh. Fir'aun juga khawatir kalangan tua kerepotan karena anak-anak dibunuh, sehingga terpaksa harus melakukan pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan Bani Israil. Akhirnya, Fir'aun memerintahkan untuk membunuh anak-anak lelaki secara bergantian setiap dua tahun sekali. Para mufassir menyebutkan, Harun lahir pada tahun ketika hukuman mati bagi bayi lelaki tidak berlaku, sementara Musa lahir pada tahun di mana bayi lelaki harus dibunuh.
Dikisahkan kemudian bahwa Musa as ditemani Harun as menemui Fir'aun dan menyampaikan dakwah serta meminta Firaun agar melepaskan tawanan-tawanan Bani Israil dari kekuasaan, penindasan dan perlakuan semena-mena, biarkan mereka beribadah kepada Rabb seperti yang mereka inginkan, fokus mengesakan-Nya, berdoa dan memohon sepenuh hati kepada-Nya.
Fir'aun bersikap tinggi hati, sombong dan berlaku semena-mena, menatap Nabi Musa dengan pandangan menghina seraya mengatakan, "Bukankah kami telah mengasuhmu dalam lingkungan (keluarga) kami, waktu engkau masih kanak-kanak dan engkau tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu," yaitu bukankah kau yang telah kami asuh di kediaman kami? Bukankah kami telah berbuat baik kepadamu, memberikan segala kenikmatan kepadamu beberapa lama?
Fir'aun tidak hanya menyebut jasanya pernah memelihara Musa, tetapi juga mengungkap kesalahannya yakni membunuh seorang Qibthi lalu menyebut Nabi Musa sebagai orang yang tidak pandai berterima kasih. Musa as menjawab bahwa kebaikan Firaun telah sebanding dengan perlakuannya terhadap Bani Israil secara keseluruhan; karena telah mempekerjakan dan memperbudak mereka. Selanjutnya dikisahkan duel antara Musa as melawan tukang-tukang sihir Firaun yang dimenangkan oleh Musa as. Setelah kejadian ini Musa as kembali ke kaumnya, tetapi mereka segera menyadari bahwa mara bahaya sedang mengancam mereka.
Bani Israil Meninggalkan Mesir
Para mufassir dan kalangan ahli kitab menuturkan, "Bani Israil meminta izin kepada Firaun untuk ikut pergi merayakan hari raya mereka. Firaun dengan sinis mempersilakan mereka ikut pergi. Tapi sebenarnya Bani Israil bersiap-siap untuk pergi meninggalkan Mesir. Cara ini dilakukan Bani Israil untuk mengelabui Firaun dan pasukannnya, agar mereka bisa melepaskan diri dan pergi meninggalkan Firaun."
Allah kemudian memerintahkan Bani Israil---menurut penuturan ahli kitab---untuk meminjam perhiasan dari kaum Qibthi, orang-orang Qibthi meminjamkan banyak sekali perhiasan pada mereka. Bani Israil kemudian keluar pada malam hari, mereka pergi dengan mengendap-endap menuju Syam. Saat Firaun mengetahui Bani Israil melarikan diri, ia sangat marah sekali, ia langsung memobilisasi pasukan dan memerintahkan untuk mengejar dan menumpas mereka semua.
Ulama tafsir menuturkan; saat Firaun bergerak bersama pasukannya untuk mengejar Bani Israil, ia berada di tengah-tengah pasukan besar, bahkan menurut salah satu sumber, kuda dalam pasukan ini berjumlah seratus ribu ekor kuda berwarna hitam legam, jumlah prajuritnya lebih dari 1.600.000 personil. Adapun jumlah Bani Israil menurut salah satu sumber adalah sekitar 600.000 prajurit, tidak termasuk anak-anak.
Setelah Musa bersama kaumnya melintas secara keseluruhan dan keluar dari lautan, saat itulah pasukan garis depan Firaun baru masuk. Saat itu, Musa bermaksud memukulkan tongkat ke lautan agar kondisi laut kembali seperti sedia kala, agar Firaun dan pasukannya tidak bisa mengejar. Tapi Allah Yang Mahakuasa dan Pemilik keluhuran memerintahkan agar lautan tetap dibiarkan seperti itu sebagaimana firman-Nya, "Dan biarkanlah laut itu terbelah," dan menenggelamkan Firaun serta bala tentaranya.
Bani Israil Terhalang Memasuki Baitul MaqdisÂ
Ahli Kitab menyebutkan, setelah menyeberangi lautan, Bani Israil pergi menuju negeri Syam, mereka singgah selama tiga hari tanpa menemukan air, hingga ada yang berbicara sinis terkait kondisi yang terjadi. Mereka kemudian menemukan air beracun dan asin, mereka tidak bisa meminum air itu. Allah kemudian memerintahkan Musa as untuk mengambil sebilah kayu lalu diletakkan di air tersebut, air berubah menjadi tawar dan enak diminum. Di tempat itulah Allah mengajarkan sejumlah kewajiban dan amalan-amalan sunah kepada Musa, juga memberikan sejumlah wasiat kepadanya.
Selanjutnya Bani Israil tiba pada sebuah kaum yang masih menyembah berhala. Kaum yang ditemui Bani Israil dalam perjalanannya ke Baitul Maqdis adalah kaum Haitsani, Fazzari, Kan'an, dan lainnya. Musa kemudian memerintahkan Bani Israil memasuki kota tempat kaum tersebut berada, memerangi mereka dan mengusir mereka dari Baitul Maqdis, karena Allah menakdirkan kota tersebut untuk mereka, juga menjanjikannya melalui lisan Ibrahim Al-Khalil dan Musa Al-Kalim. Namun, mereka enggan berjihad, akhirnya Allah menimpakan rasa takut yang menguasai diri mereka. Allah membuat mereka bingung, mereka berjalan lalu berhenti, pergi lalu kembali dalam rentang waktu selama 40 tahun lamanya. Setelah masa 40 tahun itu Nabi Musa kembali menerima wahyu dan ia langsung dapat melihat wajah Allah.Â
Saat Musa pergi untuk (bermunajat) pada Rabb-nya di atas gunung Thur, seseorang di antara Bani Israil yang bernama Harun As-Samiri mengambil perhiasan-perhiasan yang sebelumnya mereka pinjam (dari orang-orang Qibthi), lalu ia bentuk menjadi patung anak sapi, segenggam tanah diletakkan di dalamnya. Tanah tersebut diambil Samiri dari jejak kaki kuda malaikat Jibril saat ia melihatnya menenggelamkan Firaun. Saat tanah itu dimasukkan ke dalam patung anak sapi, patung mengeluarkan suara seperti lenguhan anak sapi sungguhan. Menurut salah satu pendapat, patung tersebut berubah memiliki tubuh, maksudnya memiliki daging, darah dan hidup, juga bisa melenguh. Pendapat lain menyebutkan, suara tersebut disebabkan karena adanya angin yang masuk melalui dubur lalu keluar melalui mulut, sehingga terdengar suara lenguhan sapi betina. Bani Israil kemudian menari-nari dan bergembira ria di sekitarnya.
Saat Musa kembali, ia melihat kaumnya menyembah patung anak sapi. Musa yang marah menyaksikan itu lalu melemparkan lauh-lauh Taurat. Ia kemudian menghampiri mereka, mencela dan menegur mereka dengan keras karena tindakan buruk yang mereka lakukan. Setelah kembali didakwahi oleh Musa para penyembah anak sapi itu kemudian bertobat.
Nabi Musa as Membangun "Qubbatuz Zaman"
Qubbatuz Zaman adalah kubah yang terbuat dari kayu cemara, kulit binatang-binatang ternak, dan bulu kambing. Musa diperintahkan oleh Allah untuk menghias kubah tersebut dengan kain sutra yang dicelup, emas dan perak, dengan tata cara rinci menurut ahli kitab. Kubah ini memiliki sepuluh tenda, panjang masing-masing tenda 28 hasta, lebarnya empat hasta, dengan empat pintu, tali-tali tenda terbuat dari kain sutra biasa dan sutra putih yang dicelup, di dalamnya ada beberapa rak dan lembaran-lembaran yang terbuat dari emas dan perak, setiap sisinya terdapat dua pintu, dan sejumlah pintu-pintu besar lainnya, tirai penutup terbuat dari sutra yang dicelup, dan hal-hal lain yang terlalu panjang untuk disebutkan.
Qubbatuz Zaman ini dibangun kala Bani Israil berada pada masa kebingungan, berkelana di muka bumi tanpa arah dan tujuan. Mereka shalat menghadap ke kubah yang merupakan kiblat sekaligus Ka'bah bagi mereka, dengan diimami Musa dan yang mempersembahkan kurban adalah saudaranya, Harun. Saat Harun meninggal dunia, kemudian disusul Musa, anak-anak Harun tetap menunaikan seruan ayah mereka untuk mempersembahkan kurban, yang hingga saat ini masih dijalankan.
Adapun mengenai wafatnya Musa as, dijelaskan bahwa ia wafat sebelum Bani Israil memasuki Baitul Maqdis yaitu saat Bani Israil masih berada dalam situasi membingungkan, berkelana ke sana ke mari tanpa tentu arah. Di antara buktinya adalah kata-kata Musa berikut saat memilih kematian, "Ya Rabb! Dekatkan aku ke Baitul Maqdis sejauh lemparan batu." Andai Musa sudah memasuki Baitul Maqdis, tentu tidak meminta seperti itu. Namun, kala Musa menghadapi situasi membingungkan bersama kaumnya dan kematiannya tiba, ia ingin berada di dekat Baitul Maqdis yang hendak ia tuju sebagai tempat hijrah dan yang ia perintahkan kepada kaumnya agar memasuki tempat tersebut. Namun, takdir menghalangi Musa untuk sampai ke Baitul Maqdis sejarak lemparan batu. Itulah mengapa pemimpin seluruh manusia sekaligus utusan Allah, Nabi saw berkata kepada seluruh penduduk perkampungan dan perkotaan, "Andai aku berada di sana, tentu aku perlihatkan makamnya kepada kalian, di dekat bukit merah."
Bani Israil Memasuki Baitul Maqdis Dipimpin Yusya' bin Nun
Setelah Musa dan Harun meninggal dunia, beban nubuwah dan urusan agama dijalankan oleh pelayan Musa, Yusya' bin Nun. Dialah yang membawa Bani Israil memasuki Baitul Maqdis. Saat itulah, ia mendirikan kubah ini di atas Shakhrah Baitul Maqdis dan mereka shalat menghadap kubah ini. Setelah kubah terlihat, mereka shalat menghadap tempat kubah berada, yaitu Shakhrah. Inilah kiblat para nabi setelahnya hingga masa Rasulullah saw yang shalat menghadap ke kubah ini sebelum berhijrah. Beliau memosisikan Ka'bah di depan beliau. Kemudian setelah berhijrah, beliau diperintahkan untuk shalat menghadap Baitul Maqdis. Beliau shalat menghadap Baitul Maqdis selama 16 bulan---pendapat lain menyebut 17 bulan. Setelah itu, kiblat dipindah ke Ka'bah---inilah kiblat Ibrahim---pada bulan Sya'ban tahun 2 Hijriyah.
Adapun Yusya' bin Nun sesungguhnya masih memiliki keterkaitan nasab dengan Musa sebagaimana silsilah yang dituliskan Ibnu Katsir yakni Yusya' bin An-nasa'i bin Ifraim bin Yusuf bin Ya'kub bin Ishak bin Ibrahim. Dengan demikian, silsilah Musa dan Yusya' bertemu di Nabi Ya'kub. Perbedaannya adalah Musa merupakan keturunan dari Lawi sedangkan Yusya' keturunan dari Nabi Yusuf.
Selain tugas memimpin Bani Israil memasuki Baitul Maqdis setelah wafatnya Harun dan Musa. Yusya' juga harus memimpin 12 kabilah yang telah dibentuk oleh Musa di akhir masa-masa hukuman 40 tahun Bani Israil. 12 kabilah ini berdasarkan 12 putra Nabi Ya'kub as. Itulah sebabnya nama-nama kabilah diambil berdasarkan nama-nama putra Nabi Ya'qub yakni Rubil, Syam'un, Yahudza, Esakhar, Yusuf, Maisya, Benjamin, Had, Asyir, Dan, dan Naftali. Secara keseluruhan pasukan ini berjumlah 545.150 personil. Wallahu a'lam.
Untuk kabilah kedua belas, yaitu Bani Lawi, tidak dicatat bersama kabilah yang lain. Sebab, Allah memerintahkan Musa untuk tidak menyertakan mereka dalam barisan prajurit, karena mereka sudah memiliki tugas tersendiri; memikul Qubbatusy Syahadah (Qubbatuz Zaman, Ka'bah mereka), memasang dan menjaganya, selanjutnya membawanya saat Bani Israil pindah. Mereka adalah cucu-cucu Musa dan Harun, mereka berjumlah 22.000 orang, mulai dari yang berusia satu bulan dan seterusnya. Bani Lawi sendiri terdiri dari dari beberapa kelompok, di setiap kelompoknya pasti ada beberapa orang yang bertugas menjaga Qubbatuz Zaman, merawat, mendirikan, dan memindahkan. Mereka semua berada di sekitar kubah ini, baik saat singgah ataupun dalam perjalanan. Adapun yang berada di barisan depan pasukan Bani Israil dalam perjalanan menuju Baitul Maqdis adalah Yusya' bin Nun.
Yusya' membawa Bani Israil mengarungi sungai Urdun dan menepi di Ariha. Ariha adalah kota dengan benteng paling kuat, bangunan-bangunan paling tinggi, dan penduduk paling banyak. Yusya' kemudian mengepung kota ini selama enam bulan.
Suatu hari, mereka mengepung dan menghantam kota ini dengan tanduk-tanduk binatang, mereka semua bertakbir serentak, hingga benteng-benteng kota ini rusak dan runtuh, mereka kemudian masuk dan mengambil rampasan-rampasan perang yang ada di dalamnya, mereka membunuh 12.000 lelaki dan wanita. Mereka memerangi banyak sekali raja. Menurut salah satu sumber, Yusya' berhasil mengalahkan 31 raja-raja Syam.
Ahli kitab menyebutkan, pengepungan Yusya' berakhir pada hari Jum'at selepas Ashar. Saat matahari terbenam atau hampir terbenam, kemudian hari Sabtu masuk, hari yang disyariatkan kepada mereka agar fokus beribadah, Yusya' berkata kepada matahari, 'Engkau diperintahkan, begitu juga aku. Ya Allah! Tahanlah matahari untukku.' Allah kemudian menahan pergerakan matahari hingga Yusya' leluasa menaklukkan Baitul Maqdis. Allah memerintahkan bulan berhenti berputar dan tidak terbit. Hal ini menunjukkan, bahwa malam tersebut adalah malam keempat belas bulan pertama.
Saat memasuki pintu gerbang Madinah, Yusya' memerintahkan Bani Israil untuk menunduk rukuk seraya merendahkan diri dan bersyukur kepada Allah 'Azza wa Jalla atas kemenangan besar yang diberikan, seperti yang Ia janjikan pada Yusya', dan saat masuk harus mengucapkan, "Hiththat," yaitu semoga dosa-dosa kami sebelumnya dihapus, kala kami mundur untuk berperang.
Bani Israil melanggar tutur kata dan perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan. Mereka memasuki pintu gerbang dengan mengesot sambil mengatakan,"Limpahkanlah kepada kami biji-biji gandum," riwayat lain menyebut, "Gandum di dalam jelai." Intinya, mereka mengubah apa yang diperintahkan dan memperolok-oloknya sebagaimana diabadikan dalam QS. Al-A'raf: 161-162. Mujahid, As-Suddi, dan Dhahhak menuturkan, "Pintu gerbang tersebut adalah pintu gerbang Hithtah Bait Eilia (Baitullah), Baitul Maqdis."
Akibat pelanggaran mereka ini, Allah menurunkan petaka dari langit, yaitu penyakit tha'un, seperti disebutkan dalam kitab Shahihain bahwa Rasulullah saw bersabda, "Sungguh, penyakit ini (tha'un) merupakan petaka, yang dengannya sebagian umat sebelum kalian disiksa. Setelah Bani Israil menguasai Baitul Maqdis, kawasan ini terus di bawah kendali mereka, di tengah-tengah mereka ada Nabi Yusya' yang memutuskan perkara di antara mereka dengan kitab Taurat, hingga ia wafat dalam usia 127 tahun. Setelah Musa meninggal dunia, Yusya' hidup selama 27 tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H