Meski penguasa baru Babilonia, Cyrus mempersilahkan mereka kembali ke Israel, mereka lebih memilih menetap di Babilonia. Sebagian lagi bermigrasi ke Mesir, kemudian Eropa seperti Rusia dan Jerman. Mereka yang berdiam di Rusia lalu menyebar lagi ke seluruh Eropa, Amerika dan Australia.
Literasi Mengubah Nasib Bangsa Israel
Lalu apa yang mengubah nasib bangsa Israel atau Yahudi hingga menjadi seperti yang kita kenal sekarang? Semuanya berawal dari seorang pemikir dan politisi mereka yang bernama Theodor Herzl (1860-1904). Dialah yang dikenal sebagai Bapak Zionisme Modern. Zionisme sendiri adalah suatu gerakan pulangnya 'diaspora' (terbuangnya) kaum Yahudi yang tersebar di seluruh dunia untuk kembali bersatu sebagai sebuah bangsa dengan Palestina sebagai tanah air bangsa Yahudi, dengan Jerusalem sebagai ibukota negaranya.
Meski awalnya, Zionisme Internasional dicetuskan oleh Nathan Bernbaum di New York (1 Mei 1776), tetapi penyebaran gagasan ini melibatkan kekuatan literasi. Hal itu terlihat saat Yahuda al-Kalai (1798-1878) melemparkan gagasan pendirian sebuah negara Yahudi di Palestina yang didukung oleh Izvi Hirsch Kalischer (1795-1874) melalui bukunya. Buku yang ditulis dalam bahasa Ibrani dan berjudul Derishat Zion (1826) itu berisi studi tentang kemungkinan mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina.
Buku Derishat Zion kemudian disusul oleh tulisan Moses Hess dalam bahasa Jerman. Tulisan berjudul Roma und Jerusalem (1862) itu memuat pemikiran tentang solusi "masalah Yahudi" di Eropa dengan cara mendorong migrasi orang Yahudi ke Palestina.
Perlu waktu lebih dari tigapuluh tahun, Zionisme untuk memperlihatkan konsepnya yang jelas sebagai gerakan politik untuk mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina, yakni setelah terbitnya buku Der Judenstaat (1896). Buku ini ditulis oleh seorang tokoh Yahudi bernama Theodore Herzl (1860-1904). Ia adalah salah seorang tokoh besar Yahudi dan Bapak Pendiri Zionisme modern. Ia bisa disebut sebagai eksponen filsuf tentang eksistensi bangsa Yahudi yang memiliki pandangan paling jauh ke depan yang pernah dimiliki generasi Yahudi di sepanjang sejarah mereka. Ia tidak pernah ragu akan adanya "bangsa Yahudi". Ia menyatakan tentang eksistensi itu pada setiap kesempatan yang ada. Katanya, "Kami adalah suatu bangsa---Satu Bangsa."
Dalam bukunya, ia mengakui bahwa masalah Yahudi sesungguhnya lebih berbau sosial ketimbang keagamaan, meski ia tidak menafikan munculnya masalah kedua ini dalam beragam bentuknya. Ia juga menghubungkan tindakan Yahudi kepada dunia dengan berkata, "Bila kita tenggelam, kita akan menjadi suatu klas proletariat revolusioner, pemanggul idea dari suatu partai revolusioner; bila kita bangkit, dipastikan akan bangkit juga kekuasaan keuangan kita yang dahsyat."
Pendapat yang dianggap membangkitkan pandangan sejati yang telah lama terpendam dalam benak kaum Yahudi di atas menunjukkan bahwa Theodore Herzl memiliki tingkat literasi yang sangat tinggi. Hasilnya, karya Herzl telah menginspirasi bangsa Israel atau kaum Yahudi untuk tidak saja berdiaspora ke Palestina tetapi juga menguasai dunia dengan keuangan mereka. Sebab jika mereka kalah, maka mereka hanya akan menjadi klas proletariat revolusioner dan pemanggul idea dari suatu partai revoluioner. Sebaliknya, jika mereka menang maka mereka akan memiliki kekuasaan keuangan yang dahsyat.
Demikianlah pembuktian bahwa literasi membangkitkan persatuan bangsa Israel (Yahudi) untuk mengubah nasib mereka. Bangsa yang selama ratusan tahun mengalami perpecahan dan perebutan tahta hingga penguasaan oleh banyak bangsa, berbalik menjadi bangsa yang sangat kuat, baik secara politik, militer, dan ekonomi atau keuangan.