Menjelang peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-95 yang tahun ini bertepatan dengan hari Sabtu, 28 Oktober 2023, saya mencoba menemukan referensi untuk ide tulisan. Pilihan saya jatuh pada buku berjudul Api Sejarah yang ditulis oleh sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara (peraih ASEAN Best Executive Award 2003). Api Sejarah sendiri juga kemudian meraih penghargaan IBF Award pada 2010.
Di antara hal yang beliau ulik dalam karya literasinya adalah bagaimana praktik imperialisme dan kolonialisme Belanda di Indonesia mengalami perubahan pada awal abad ke-20. Di antara analisa menariknya bahwa sebab utama perubahan sikap Belanda berhubungan dengan temuan para pakar Belanda yang pernah mengkaji agama dan budaya masyarakat di Indonesia. Di antara mereka adalah Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje, Prof. C. van Vollenhove, dan Prof. Dr. H.A.R. Gibb.
Apa kesimpulan dari hasil analisa para pakar tersebut? Melalui hasil literasi para pakar yang didanai oleh pemerintah kolonial Belanda itu, maka pola pikir pribumi Indonesia akan diubah menjadi berbalik berbudaya seperti Barat dan agama pun diperangkan. Di antara target mereka adalah timbulnya perpecahan antaragama di Nusantara Indonesia, sehingga dalam jangka waktu panjang ini akan menjadi "bom waktu" yang menumbuhkan perpecahan antar penganut agama, seperti yang terjadi di Eropa dan India.
Dengan demikian, literasi yang dimotori oleh pemerintah kolonial dan para pakar menjadi rujukan utama yang sangat menentukan arah penjajahan Belanda di Indonesia.
Politik Etis sebagai Pengaruh Literasi
Umum diketahui---sejak kita belajar Sejarah di bangku sekolah---bahwa pelaksanaan Politik Etis didorong oleh kritikan dari beberapa pakar di negeri Belanda sendiri, terutama oleh Van Deventer yang dikenal dengan Trias Van Deventer. Hal ini juga dikemukakan oleh Ahmad Mansyur Suryanegara bahwa perubahan politik penjajahan Belanda juga karena mereka disadarkan dengan adanya kritik yang dilemparkan oleh Mr. Conrad Th. Van Deventer dalam majalah De Gids (1899 M) yang berjudul De Eereschuld-A-Debt of Honor (Utang Kehormatan).
Berdasarkan kritikan Van Deventer dan secara umum dari kalangan liberal di negeri Belanda, maka pemerintah Hindia Belanda merencanakan memberlakukan Etische Politik (Politik Etis, 1901) dengan triloginya: Educatie (Edukasi), Irigatie (Irigasi), dan Emigratie (Emigrasi). Inilah di antara poin penting bagaimana literasi dapat mengubah sejarah bangsa Indonesia setelah pemerintah Belanda mengubah politik penjajahannya karena menerima masukan dari Van Denventer yang ditulisnya dalam majalah De Gids sebagaimana disebutkan di atas.
Meskipun dalam pelaksanaannya, Politik Etis tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk mempertahankan penjajahan Belanda dan bertujuan memecah belah persatuan---sebagaimana menurut Ahmad Mansyur Suryanegara---tetapi kita harus mengakui bahwa Politik Etis telah menjadi jalan utama lahirnya kaum terpelajar yang kelak menjadi perintis Pergerakan Nasional.
Literasi Menguatkan Identitas Nasional "Indonesia"
Hal yang paling menonjol dari isi ikrar Sumpah Pemuda adalah peneguhan identitas nasional "Indonesia" melalui "Tanah Air Indonesia", "Bangsa Indonesia" dan "Bahasa Indonesia." Meski demikian, jika mundur ke masa hampir seabad sebelumnya, maka penemuan nama "Indonesia" dan kemudian menjadi populer sangat ditentukan oleh literasi.
Nama "Indonesia" pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli etnologi berkebangsaan Inggris bernama George Samuel Windsor Earl. Ia menulis artikel dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan. Dalam artikelnya di Volume IV tahun 1850 (hlm. 66-74), Earl di antaranya menegaskan bahwa sudah saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India. Earl lalu mengajukan dua pilihan nama yaitu Indunesia atau Malayunesia (nesia berasal dari kata nesos dalam bahasa Yunani yang berarti pulau).
Meski memperkenalkan nama Indonesia, Earl sendiri lebih memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, apalagi bahasa Melayu juga dipakai di seluruh kepulauan ini. Adapun Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa).
Logan juga menulis artikel di Volume yang sama (hlm. 252-347) dan juga memulai tulisannya dengan pernyataan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu panjang dan membingungkan. Bedanya dengan Earl yang cenderung memilih nama "Malayunesia", Logan lebih memilih nama "Indonesia" setelah mengubah huruf "u" pada "Indunesia" dengan huruf "o".
Sejak memperkenalkan nama "Indonesia", Logan secara konsisten menggunakan nama ini dalam artikel-artikel ilmiahnya. Pemakaian istilah "Indonesia" lalu menyebar di kalangan para ilmuwan, terutama bidang etnologi dan geografi. Di antara yang paling terkenal adalah Guru Besar Etnologi Universitas Berlin bernama Adolf Bastian. Ia menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel (1884). Buku sebanyak lima volume ini memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita antara rentang 1864-1880. Karya literasi Bastian inilah yang mempopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda. Dengan demikian, literasi bukan hanya berperan melahirkan nama "Indonesia" tetapi juga mempopulerkannya.
Adapun tokoh pergerakan nasional yang pertama kali menggunakan istilah "Indonesia" hubungannya dengan literasi adalah Suwardi Suryaningrat. Tokoh yang lebih populer dipanggil Ki Hajar Dewantara ini ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-Bureau. Selanjutnya, masih di negeri Belanda, ada Mohammad Hatta dan kawan-kawan. Mereka bukan hanya mengubah nama Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) pada 1922 tetapi juga mengubah majalah Hindia Poetra menjadi Indonesia Merdeka.
Nama "Indonesia" juga makin populer di tanah air sebelum ditetapkan menjadi identitas nasional melalui ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Berturut-turut: dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club dan Partai Komunis Hindia berganti menjadi Partai Komunis Indonesia (1924); Jong Islamieten Bond membentuk organisasi kepanduan National Indonesische Padvinderi (1925); Partai Nasional Indonesia dan pembentukan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (1927).
Dengan demikian, kebulatan tekad menetapkan "Indonesia" menjadi identitas nasional tidak mungkin terwujud jika nama "Indonesia" ini tidak diperkenalkan dan dipopulerkan melalui artikel-artikel ilmiah oleh para ilmuwan, terutama di bidang etnologi dan geografi sebagaimana disinggung sebelumnya. Ini juga menjadi poin penting bagaimana literasi dapat mengubah sejarah bangsa Indonesia yang sebelumnya menggunakan beberapa nama di antaranya Nusantara dan Hindia.
Perjuangan Organisasi Pergerakan Nasional Melalui Literasi
Kekuatan dan peranan literasi bukan hanya merubah politik penjajahan Belanda dan memperkuat identitas nasional "Indonesia" tetapi juga mempengaruhi alam pikiran bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan karena organisasi-organisasi pergerakan menjadikan media surat kabar sebagai sarana mempublikasikan pikiran-pikiran tokoh-tokoh pergerakan nasional. Di antara yang paling diingat dalam sejarah adalah tulisan tokoh Indische Partij, Suwardi Suryaningrat dalam De Expres berjudul "Als Ik Eens Netherlander Was" yang berarti "Seandainya Aku Seorang Belanda."
Pesan utama tulisan tokoh pergerakan nasional yang kelak lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara ini adalah, "Seandainya Aku Seorang Belanda, maka Aku tidak akan tega merayakan kemerdekaan negaraku di atas penderitaan rakyat yang terjajah dan menderita."
Tulisan Suwardi Suryaningrat di atas memang ditujukan sebagai protes terhadap rencana Belanda merayakan kemerdekaan mereka di tanah jajahan (Indonesia). Tulisan ini menjadi salah satu alasan Belanda bersikap keras terhadap organisasi pergerakan nasional. Indische Partij bukan hanya dibubarkan tetapi tokoh-tokohnya ikut ditangkap.
Suwardi Suryaningrat memang merupakan salah satu tokoh pergerakan nasional yang memilih terjun di dunia jurnalistik. Di antara media yang pernah mengasah literasinya adalah Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. De Expres sendiri merupakan media Indische Partij untuk menyebarkan gagasan mereka yaitu membangkitkan nasionalisme para pribumi dan menentang kebijakan pemerintah kolonial yang diskriminatif.
Semoga semangat literasi yang telah ditunjukkan oleh ilmuwan dan tokoh pergerakan nasional sebagaimana dalam artikel di atas dapat menular kepada generasi setelah mereka, sebab literasi akan menentukan sejarah sebuah bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H