Misi diplomasi pertama Indonesia tentu diarahkan ke negeri Kincir Angin Belanda untuk berunding dengan Sekutu dan Belanda. Misi ini dikirim berselang tujuh bulan setelah kedatangan Sekutu dan Belanda di Surabaya, tepatnya pada April 1946. Empat bulan berikutnya (Agustus 1946), Indonesia mengirimkan diplomasi beras ke India yang sedang dilanda bencana kelaparan. India membalasnya dengan mengirimkan obat-obatan, pakaian dan mesin atau kendaraan yang memang sangat kita butuhkan. Diplomasi beras ini sekaligus upaya menembus blokade ekonomi yang dilakukan oleh Belanda.
Di antara kisah kepahlawanan yang dapat disebut di sini adalah armada yang dipimpin oleh Mayor John Lie, seorang perwira muda Angkatan Laut keturunan Tionghoa. Misi yang dipimpinnya untuk menembus blokade ekonomi Belanda adalah menyelundupkan senjata, bahan pangan dan lainnya. Adapun daerah operasinya meliputi Singapura, Penang (Malaysia), Bangkok (Thailand), Rangoon (Vietnam), Manila (Filipina) hingga New Delhi (India). Tidak kurang dari 15 aksi penyelundupan berhasil dilakukannya. Itulah sebabnya ia mendapat julukan "Hantu Selat Malaka." dan kapal cepat yang menjadi andalannya "The Outlaw" disebut oleh media barat sebagai "The Black Speedboat."
Selain diplomasi beras dan misi John Lie yang luput dari radar Belanda, para diplomat di luar negeri juga berhasil merintis kantor urusan Indonesia di beberapa negara Asia yaitu Singapura, Thailand dan India. Kantor yang disebut Indonesia Office dan mulai berdiri pada 1947 ini sekaligus menjadi perwakilan resmi Republik Indonesia di negara-negara itu sebelum dikenalnya Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Tahun yang sama dengan berdirinya Indonesia Office berhasil dirintis radio Voice of Free Indonesia. Siaran radio dari Yogyakarta ini bisa dikatakan bentuk misi diplomasi memanfaatkan sarana informasi dan komunikasi keluar negeri tanpa harus menginjakkan kaki di negara yang dituju.
Diplomasi dan Dukungan Dunia Arab-Timur Tengah
Diplomasi di luar negeri untuk mendapatkan dukungan atas kemerdekaan juga melibatkan mahasiswa Indonesia di luar negeri, terutama yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar. Di antara tokoh mahasiswa yang gencar melobi Mesir dan Liga Arab yang baru terbentuk (Maret 1945) adalah M. Zein Hassan. Mereka mengusulkan perlunya negara-negara Arab mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hasil lobi mereka di antaranya terlihat ketika mahasiswa Indonesia diberi kesempatan menulis tentang kemerdekaan Indonesia di koran-koran terbitan Ikhwan al-Muslimun pimpinan Hassan Al-Banna.
Mesir memang menjadi anggota Liga Arab yang paling memperlihatkan dukungannya. Selain mengakui secara resmi kemerdekaan Indonesia pada 22 Maret 1946, Mesir juga membentuk Komite Pembela Kemerdekaan Indonesia. Selain itu juga bersedia menanggung biaya hidup rakyat Indonesia yang tinggal di sana. Meski demikian kunjungan diplomatik Mesir ke Indonesia baru dilakukan pada Maret 1947, saat Komjend Abdul Mounem berkunjung. Kunjungan ini ditindaklanjuti dengan penandatanganan Perjanjian Persahabatan, Politik dan Perdagangan Indonesia-Mesir di Kairo (10 Juni 1947). Delegasi RI saat itu dipimpin oleh Menteri Luar Negeri, H. Agus Salim.
Terkait dukungan Mesir atas kemerdekaan Indonesia terselip satu kisah unik dari sosok A.R. Baswedan. Sebagai diplomat berdarah Arab dia ikut ditunjuk sebagai anggota delegasi diplomatik guna mencari dukungan dari negara-negara Arab termasuk Mesir dan Liga Arab.Â
Saat pengakuan kemerdekaan dari Mesir telah didapatkan, dia yang saat itu menjabat Menteri Muda Penerangan berperan membawa dokumen Perjanjian Persahabatan, Politik dan Perdagangan Indonesia-Mesir tersebut ke Indonesia. Ia berhasil mengelabui tentara-tentara Belanda yang menjaga bandara dan pelabuhan dengan menyelipkan dokumen itu di kaus kakinya. Hasilnya dokumen pengakuan secara de facto dan de jure itu dapat sampai ke tangan pemerintah Republik Indonesia.
Sementara A.R. Baswedan kembali ke Indonesia, H. Agus Salim melanjutkan misi diplomasinya ke Syiria (sekarang Suriah), Transyordanian, Irak, dan Lebanon. Sementara misi ke Arab Saudi dan Yaman dipimpin oleh HM. Rasjidi. Maka Selain Mesir, di antara negara-negara Arab dan Timur Tengah yang menyatakan dukungannya terhadap kemerdekaan Indonesia adalah Syiria. Negara ini bukan hanya menyatakan dukungan pada 2 Juli 1947, tetapi Syiria juga melalui Liga Arab ikut mendesak PBB membicarakan masalah Indonesia.Â
Syiria sekaligus bertindak sebagai Ketua Sidang PBB yang membicarakan agenda perlu tidaknya masalah Indonesia dibahas di PBB. Hasilnya sidang menyetujui bahwa masalah Indonesia perlu dibahas di PBB. Menyusul Syiria adalah Irak (16 Juli 1947), Lebanon (29 Juli 1947), Afghanistan (23 September 1947), Arab Saudi (24 Nopember 1947), dan Yaman (3 Mei 1948). Di antara bentuk dukungan lain dari negara-negara Arab adalah surat kabar Arab dan kantor berita The Arabian Press Board (APB) yang ikut menjadi corong informasi pergerakan dan perjuangan kemerdekaan di Indonesia.