Terkepung dan Kehilangan Sahabat yang Meledakkan Diri
Hal ini menimpa Wolter pada pertempuran 16 Nopember 1945 menghadapi KNIL. Saat itu, Wolter dan Emmy Saelan terjebak di atas rumah. Wolter membawa kelewang (pedang). Sementara Emmy bersenjatakan oven-gung dan empat hauders (granat). Berhubung kekuatan tidak seimbang, maka mereka berdua memutuskan keluar dengan menyamar sebagai penduduk biasa.
Pertempuran heroik lainnya terjadi selama lima hari (3-7 Januari 1947) di pinggiran kota Makassar, saat para pejuang termasuk Wolter, Maramis dan Emmy berhadapan dengan 14 mobil pasukan KNIL bersenjata lengkap. Akibatnya terjadi pertempuran tidak seimbang.
Hanya berselang dua pekan dari pertempuran lima hari di pinggiran kota Makassar, para pemuda pejuang kembali berhadapan dengan serdadu Belanda. Pertempuran pada 22 Januari 1947 ini sekaligus menjadi pertempuran terakhir Wolter bersama Emmy.. Saat itu pukul 10.00 WITA pertempuran menghebat. Wolter memerintahkan Emmy yang bertugas sebagai Kepala Palang Merah untuk mengumpulkan pemuda yang luka-luka ke arah Kassi-Kassi, Tidung (sekarang jalan Emmy Saelan). Wolter juga menugaskan 10 pemuda bersenjata untuk mengawal Emmy. Naas karena mereka kemudian terkepung oleh pasukan KNIL/NICA yang dibantu oleh penghianat. Emmy yang terdesak lalu memutuskan meledakkan granat. Akibatnya, ia berhasil menewaskan delapan serdadu musuh, tetapi ia dan pemuda yang luka-luka juga ikut gugur.
Wolter Tertangkap karena Penghianatan
Wolter terus melakukan berbagai aksi yang merepotkan Belanda, baik tindakan sabotase maupun penyergapan, bahkan serangan gerilya masuk kota Makassar. Kita bisa menyaksikannya melalui film layar lebar yang didekasikan untuk perjuangan Wolter dan pemuda pejuang di Makassar berjudul "Tapak-Tapak Kaki Monginsidi". Di film yang diproduksi tahun 1982 ini sosok Wolter Robert Monginsidi diperankan oleh aktor senior yang banyak bermain di film-film bergenre perjuangan yaitu Roy Marten.
Aksi Wolter baru terhenti saat ia tertangkap pada 26 Oktober 1948. Ketika itu keberadaannya diketahui oleh pemuda-pemuda di gang 22 yang berhianat. Mereka melaporkan keberadaan Wolter sehingga ia terkepung dan ditangkap oleh serdadu KNIL. Sebenarnya ada sebuah granat di tangannya, tetapi tidak diledakkannya karena akan membahayakan keselamatan rakyat di gang itu. Akhirnya ia tertangkap tetapi masih dapat melangkah tegap sambil dikawal serdadu KNIL.
Pekikan "Merdeka" Sebelum Eksekusi dan Peti Jenazah Berselubung Merah Putih
Setelah empat bulan dalam penjara, Belanda menggelar pengadilan bagi Wolter yang tentu saja hasilnya sudah dapat ditebak. Pengadilan yang dilaksanakan pada 26 Maret 1949 memutuskan menjatuhkan hukuman mati bagi Wolter. Meski demikian, eksekusi mati baru dilaksanakan pada 5 September 1949. Kepada regu penembak ia masih sempat berjabat tangan sambil meminta, "Tembaklah setelah Saya berteriak merdeka." Ia juga meminta agar matanya tidak perlu ditutup. Wolter menghembuskan nafas terakhirnya sambil tetap menggenggam erat Injil di tangannya.
"Lebih tujuh peluru merenggut jiwanya, luka pada mulut mengerikan," demikian kata Dr. Towolio yang memeriksa jenazahnya. Sementara sahabat seperjuangan Wolter, Ali Walangadi menyebutkan sembilan peluru. Belanda sempat mengirim mobil jenazah tetapi ditolak oleh massa. Peti jenazah berselubung merah putih diusung sepanjang 7 km di kota Makassar. Sepanjang jalan hening, pintu jendela rumah tertutup, dan serdadu Belanda menghilang. Sepanjang jalan sesak oleh lautan manusia. Tempat akhir Robert Wolter Monginsidi dibaringkan adalah Taman Makam Pahlawan (TMP) Panaikang. Bagi yang ingin menziarahi makamnya sangat mudah menemukannya, karena makam Harimau Malalayang ini terletak di bagian depan tidak jauh dari gerbang makam.