Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Riwayat Erdogan Melawan Sekulerisme di Turki

15 Juni 2023   13:47 Diperbarui: 15 Juni 2023   13:51 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Taksim tampak menonjol di belakang Patung Republik Mustafa Kemal Ataturk (tribunnews.vom)

Pemilu Turki memang telah usai hampir tiga pekan lalu. Pemilu putaran kedua yang digelar pada 28 Mei 2023 itu berhasil dimenangkan oleh Recep Tayyip Erdogan dengan perolehan suara 52,16% suara. Hasil ini sekaligus mengukuhkan puncak kepemimpinan Erdogan untuk ketiga kalinya di Republik yang didirikan oleh Mustafa Kemal Ataturk. 

Ini tentu hal yang luar biasa karena sosok Erdogan yang dinilai "agamis" akan banyak mendapat penentangan dari kaum "sekularis" yang lebih menjagokan saingannya Kemal Kilicdaroglu. Ditambah lagi kondisi krisis yang dialami Turki yang diprediksi akan membuat banyak pendukungnya menimbang-nimbang dukungannya.

Tidak mengherankan jika sebelum pemilihan digelar, perkiraan hasilnya lebih banyak mengunggulkan Kemal. Bahkan sejumlah lembaga survey meramalkan, Erdogan akan langsung kalah dalam putaran pertama. Namun ramalan ini dipastikan meleset, setelah di putaran pertama saja (15 Mei 2023), Erdogan telah meraup 49,50% suara. 

Nyaris mencapai ambang batas perolehan suara untuk menang satu kali putaran. Hal ini tentu menarik untuk didiskusikan. Soalnya kemenangan Erdogan yang dipersonifikasikan sebagai tokoh yang akan membangkitkan nilai-nilai Islam ini adalah ketiga kalinya di negara sekuler yang berbatasan langsung dengan negara Eropa. 

Lalu apa yang mengantar Erdogan kembali memenangi pemilu Turki meskipun kali ini dengan susah payah? Jawabannya tersimpul dalam satu kalimat, "Dia juga punya daya tarik bagi masyarakat umum. Anda tidak bisa menyangkalnya. Dia memancarkan kekuatan. Itu satu hal yang tidak dilakukan Kilicdaroglu." Demikian yang diakui oleh Prof. Soli Ozel, dosen Hubungan Internasional Universitas Kadir Has (Kompas.com).

Apa yang disimpulkan oleh Prof. Soli Ozel ini dibuktikan dengan jejak Erdogan di pemerintahan. Ia pernah menjabat Walikota Istanbul kemudian Perdana Menteri Turki selama 11 tahun (2003-2014). Kini ia menjadi satu-satunya presiden Turki yang terpilih secara demokratis selama tiga periode dalam rentang waktu sembilan tahun (2014-2023).

Catatan kali ini mencoba "menapaktilas" perlawanan Erdogan terhadap sekulerisme. Mengapa ini penting? Karena ini adalah sebuah keberanian luar biasa, mengingat beberapa pemimpin Turki yang pernah mencoba melawan sekulerisme, hidupnya berakhir dengan tragis. 

Itulah sebabnya, ada kaum oposisi yang memprediksi Erdogan hidupnya akan berakhir seperti Adnan Menderes yang hidupnya berakhir di tiang gantungan karena mencoba melawan sekulerisme dan "mengislamisasi" kembali Turki.

Mengumandangkan "Perang" dengan Sekulerisme

Dunia mengetahui bahwa Sekulerisme Turki lahir setelah kejatuhan Ottoman oleh Mustafa Kemal di era Sultan Hamid II. Beberapa kebijakan Mustafa Kemal misalnya penutupan madrasah, pelarangan jilbab dan pakaian keagamaan, dan adzan dirubah ke bahasa Turki. 

Meskipun menurut Mustafa Kemal, ini adalah kebijakan reformasi tetapi sebagian kalangan menilai ini justru upaya sistematisnya untuk mengembangkan sekulerisme menyusul kemenangan anehnya mengusir tentara Yunani dan Inggris dari Turki di Perang Dunia I.

Jika dinapaktilas jejak Erdogan di tanah kelahirannya---Istanbul---pria kelahiran 26 Pebruari 1954 ini mulai mengumandangkan perang dengan sekulerisme sejak ia menjabat Walikota Istanbul. 

Suatu ketika di tahun 1994, dari puncak sebuah gedung---politisi 45 tahun ketika itu---menunjuk ke alun-alun Taksim (jantung Istanbul sekaligus sekulerisme Turki). Meski suasana berkabut saat itu, Erdogan masih bisa berkata lantang bahwa ia akan membangun masjid di sana. 

Mengapa momen ini dapat disebut pernyataan "perang" sebab di kawasan itu sebelumnya telah dibangun simbol-simbol sekulerisme Mustafa Kemal seperti Monumen Republik dan Pusat Kebudayaan Ataturk. Terbukti kemudian, setelah masjid berdiri megah dan kokoh di pemerintahan keduanya, simbol-simbol sekuler seolah-olah "terkerdilkan".

Alasan berikutnya bahwa inilah momen pernyataan "perang" melawan sekulerisme, karena pembangunan masjid yang dimaksudkan oleh Erdogan sesungguhnya telah direncanakan oleh sejumlah tokoh Turki sejak 1950. Tetapi kuatnya penolakan dari kaum sekuler Turki maka hingga lebih dari setengah abad kemudian baru dapat direalisasikan. Ini sudah cukup menjadi bukti kuatnya sekulerisme mencengkeram Turki sejak ditancapkan oleh Mustafa Kemal. 

Bagaimana bisa di negara mayoritas Muslim, sebuah masjid sangat sulit didirikan sehingga perlu waktu selama 67 tahun kemudian baru masjid itu dibangun (2017-2021). Masjid yang oleh Erdogan disebutnya sebagai hadiah untuk perayaan 568 tahun penaklukan Konstantinopel (kini Istanbul) oleh Muhammad Al-Fatih (1453). Itulah sebabnya Masjid Taksim ini memadukan gaya Ottoman dan arsitektur modern.

Masjid Taksim tampak menonjol di belakang Patung Republik Mustafa Kemal Ataturk (tribunnews.vom)
Masjid Taksim tampak menonjol di belakang Patung Republik Mustafa Kemal Ataturk (tribunnews.vom)

Langkah Erdogan Melawan Sekulerisme

Dirangkum dari berbagai sumber, setelah mengumandangkan "perang" melawan sekulerisme, Erdogan menempuh sejumlah langkah berani, di antaranya adalah pembangunan ribuan masjid termasuk renovasi sejumlah masjid peninggalan era Ottoman. 

Masjid Hagia Sophia tidak luput dari perhatian Erdogan ketika di tahun 2020 ia mengembalikan fungsinya sebagai masjid. Sebelumnya pendiri Turki Sekuler, Mustafa Kemal menutup Hagia Sophia sejak 1931 lalu merubahnya menjadi museum selama 65 tahun (1935-2020).

Sehubungan dengan kebijakan pembangunan ribuan masjid, Erdogan mengembalikan cinta generasi muda Turki kepada agamanya melalui pendidikan seperti sekolah-sekolah agama atau madrasah. Di antara sekolah yang kemudian diidolakan oleh generasi muda Turki adalah Sekolah Imam Hatip. Disebut demikian, karena sekolah ini memang terutama difokuskan menyiapkan generasi muda yang akan menjadi imam dan khatib di ribuan masjid yang telah dibangun atau direnovasi.

Masih sekaitan dengan upaya mengembalikan semangat keislaman generasi muda Turki, maka Erdogan mewajibkan pendidikan agama di sekolah-sekolah. Sehubungan dengan pendidikan agama ini, Erdogan menghapus aturan pembatasan usia belajar Al-Quran. Sebelumnya batasan minimal usia mempelajari Al-Quran adalah 12 tahun.

Adapun langkah berani berikutnya adalah terkait dengan kaum wanita secara khusus. Erdogan menghapuskan larangan pemakaian jilbab di area pelayanan publik seperti pendidikan dan perkantoran atau lembaga-lembaga negara. 

Erdogan tidak main-main dalam hal ini. Ia sadar bahwa untuk melawan aturan yang telah dilegalkan secara konstitusional ini maka harus ditempuh juga dengan cara konstitusional. Erdogan bukan hanya membawa masalah kebebasan berkerudung ini ke parlemen tetapi juga mengusulkan sebuah pemungutan suara secara nasional.

Demo menuntut hak kebebasan berjilbab di depan parlemen Turki tahun 2008 (kompas.com) 
Demo menuntut hak kebebasan berjilbab di depan parlemen Turki tahun 2008 (kompas.com) 

Langkah berani lainnya adalah pembatasan penjualan dan iklan alkohol setelah sebelumnya Turki Sekuler melegalkan alkohol. Menyangkut prilaku menyimpang lainnya, Erdogan terang-terangan menyatakan penolakannya terhadap LGBT sejak pertama ia menjadi presiden hingga saat kampanyenya menjelang Pemilu 2023. Ia menyatakan menolak LGBT sembari menyerang partai-partai pesaingnya mendukung LGBT. 

Erdogan mengatakan bahwa LGBT tidak boleh ada di Turki, karena negara ini menjunjung tinggi nilai-nilai patriotik dan bermoral. Kepedulian Erdogan juga terlihat di sektor keuangan dengan menggalakkan perbankan Islam atau bank syariah. Dalam hal ini, ia dengan lantang menyerang bahwa perbankan dengan sistem bunga sangat kejam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun