Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kendari-Morosi: Kearifan Lokal, Modernisasi, dan Pluralisasi

21 November 2022   04:53 Diperbarui: 21 November 2022   07:05 1284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jembatan Teluk Kendari (Dok. Pribadi)

Kearifan lokal, modernisasi dan pluralisasi adalah tiga hal yang penulis simpulkan saat menjelajahi beberapa bagian dari propinsi di ujung Tenggara pulau Sulawesi. Sebagaimana banyak propinsi di Indonesia, Sulawesi Tenggara juga masih mempertahankan nama-nama tempat yang bercirikan kearifan lokal. 

Mulai dari nama ibukota, kabupaten, kecamatan, desa hingga perguruan tinggi. Sedikit contoh tempat yang penulis kunjungi atau lewati dalam perjalanan, misalnya Kendari, Kolaka, Konawe, Unaaha, Mandonga, Bajo, Andonuhu, Tapulaga, Morosi, Laosu, Lalongga Buno, Kopiala, dan Lalembau. Perguruan tinggi terbesarnyanya pun sebagaimana banyak perguruan tinggi di Indonesia juga menggunakan nama pahlawan setempat yaitu Haluuleo.

Mengenai pluralisasi, penduduk asli daerah ini tidak perlu diragukan lagi dalam menjaganya sebab mereka sudah sangat lama hidup berdampingan dengan banyak suku, baik yang berasal dari dalam propinsi sendiri seperti Buton dan Muna ataupun dari luar propinsi seperti Bugis, Makassar dan Jawa. Bahkan ada yang berasal dari luar negeri terutama etnis Tionghoa.

Masjid dan Villa-villa Terapung

Aroma kearifan lokal dalam penamaan tempat mungkin bagi sebagian kita bukan hal yang istimewa karena ini pun berlaku di berbagai daerah di Indonesia. Asumsi ini tentu tidak salah. Tetapi saat mengunjungi masjid terbesar di kota Kendari, mungkin asumsi kita bisa berubah. Jika ingin menjangkau masjid ini harus melalui jalan yang membelah Teluk Kendari. Tidak ada bangunan di kiri kanan jalan. Jadi jalan dibangun hanya untuk mengunjungi sebuah bangunan yakni masjid terapung.

Pemandangan Masjid Jami Al Alam saat senja (Dok. Pribadi)
Pemandangan Masjid Jami Al Alam saat senja (Dok. Pribadi)

Masjid yang bernama Masjid Jami Al Alam ini mengadopsi kearifan lokal yaitu pemukiman suku nelayan di Sulawesi Tenggara yang sudah terkenal di Indonesia yaitu Suku Bajo. Jika banyak suku nelayan membangun perumahan mereka di daratan sekitar pesisir pantai, suku Bajo membangun perumahan di atas permukaan laut. Mereka membuat rumah-rumah panggung dengan tiang-tiang kayu untuk menopangnya. Meski kini pemerintah telah mereklamasi pantai untuk menjadi pemukiman suku Bajo di Kendari, tetapi sebagian mereka masih mempertahankan tradisi bahari mereka yaitu menggantungkan hidup dari hasil laut.

Selain masjid, pemerintah dan rakyat Kendari juga mengadopsi kearifan lokal ini dalam bentuk villa-villa terapung. Penulis dan keluarga sempat mengunjungi dan merasakan sensasi villa di atas laut, tepatnya Tapulaga Village. Villa ini letaknya agak menjorok keluar hingga untuk mencapainya harus menyusuri jembatan kayu di antara villa-villa kecil di sekitarnya. 

Selain kagum dengan arsitektur tradisional, penulis dan keluarga yang berkunjung ke kawasan villa ini dibuat kagum dengan kebersihan di area villa. Padahal ini adalah tempat wisata yang juga berdekatan dengan pelabuhan penyeberangan ke pulau lain di Sulawesi Tenggara. dan berdekatan pula dengan Desa Wisata Bajo Bokori. Hal terakhir yang disebutkan juga menjadi inspirasi bagaimana pemerintah Sulawesi Tenggara merawat kearifan lokalnya.

Deretan cilla kecil dan sedang di pinggir Teluk Kendari (Dok. Pribadi)
Deretan cilla kecil dan sedang di pinggir Teluk Kendari (Dok. Pribadi)
Modernisasi dan Pluralisasi

Kesan modernisasi yang penulis tangkap di Sulawesi Tenggara bermula saat mengunjungi keponakan yang bekerja di sebuah pusat olah raga dan kebugaran. Di dalam area yang cukup luas ada beberapa bangunan yang di antaranya berlantai dua. Kesan modernisasi berlanjut saat menyusuri jalan tol Mandonga dan Jembatan Teluk Kendari, jembatan yang konstruksinya sangat mirip dengan jembatan Suramadu. Jadi di dalam kota Kendari kearifan lokal dan modernisasi telah berdiri berdampingan.

Jembatan Teluk Kendari (Dok. Pribadi)
Jembatan Teluk Kendari (Dok. Pribadi)

Menyusul kota Kendari, tempat berikutnya yang menjadi tujuan utama penulis adalah Morosi---nama kecamatan yang semakin terkenal karena keberadaan perusahaan tambang nikel di wilayahnya. Kawasan pabrik hingga pemukiman penduduk di sekitar perusahaan tambang ini sesungguhnya dibangun di atas bekas empang atau tambak milik masyarakat. Empang atau tambak-tambak ini dahulunya merupakan hutan atau semak belukar yang dibuka terutama oleh para pendatang dari Sulawesi Selatan. Bulukumba menjadi asal utama para petani empang ini.

Kisah kesabaran dan penderitaan para pendatang saat membuka hutan atau semak menjadi empang bukanlah kisah baru, karena banyak di antara mereka merupakan keluarga penulis. Seorang sepupu mengisahkan bagaimana mereka harus makan dalam kelambu, sebab jika tidak mereka akan dikerubungi oleh nyamuk-nyamuk hutan yang besar. Belum lagi terkadang mereka harus berbagi makanan dengan buaya yang menghuni sungai atau rawa dekat empang yang mereka buka.

Penampakan empang petani di Desa Lalongga Buno. Di kejauhan tampak pembangkit listrik milik perusahaan tambang di Morosi (Dok. Pribadi)
Penampakan empang petani di Desa Lalongga Buno. Di kejauhan tampak pembangkit listrik milik perusahaan tambang di Morosi (Dok. Pribadi)

Para petani empang ini telah berdomisili dan menjadi penduduk di desa-desa di sekitar kawasan pabrik. Banyak pula di antara mereka yang anak atau keluarganya bekerja di perusahaan tambang Morosi. Jadi kehadiran perusahaan tambang di Morosi ini bukan hanya menjadi corong modernisasi tetapi juga membuka lebar pintu pluralisasi yang memang telah lama terbuka sejak kehadiran para pendatang di wilayah ini.

Pluralisasi bukan hanya terjadi secara sosial saja di Morosi tetapi juga secara politik. Pada level pemerintahan terendah yakni tingkat desa, beberapa kali pemilihan kepala desa dimenangkan oleh pendatang. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa pluralisasi dan sosialisasi telah berjalan beriringan dengan saudaranya yakni modernisasi.

Deretan rumah di salah satu ruas jalan menuju kawasan tambang Morosi. Sebagian rumah ini disewakan kepada para pekerja tambang (Dok. Pribadi)
Deretan rumah di salah satu ruas jalan menuju kawasan tambang Morosi. Sebagian rumah ini disewakan kepada para pekerja tambang (Dok. Pribadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun