Kearifan lokal, modernisasi dan pluralisasi adalah tiga hal yang penulis simpulkan saat menjelajahi beberapa bagian dari propinsi di ujung Tenggara pulau Sulawesi. Sebagaimana banyak propinsi di Indonesia, Sulawesi Tenggara juga masih mempertahankan nama-nama tempat yang bercirikan kearifan lokal.Â
Mulai dari nama ibukota, kabupaten, kecamatan, desa hingga perguruan tinggi. Sedikit contoh tempat yang penulis kunjungi atau lewati dalam perjalanan, misalnya Kendari, Kolaka, Konawe, Unaaha, Mandonga, Bajo, Andonuhu, Tapulaga, Morosi, Laosu, Lalongga Buno, Kopiala, dan Lalembau. Perguruan tinggi terbesarnyanya pun sebagaimana banyak perguruan tinggi di Indonesia juga menggunakan nama pahlawan setempat yaitu Haluuleo.
Mengenai pluralisasi, penduduk asli daerah ini tidak perlu diragukan lagi dalam menjaganya sebab mereka sudah sangat lama hidup berdampingan dengan banyak suku, baik yang berasal dari dalam propinsi sendiri seperti Buton dan Muna ataupun dari luar propinsi seperti Bugis, Makassar dan Jawa. Bahkan ada yang berasal dari luar negeri terutama etnis Tionghoa.
Masjid dan Villa-villa Terapung
Aroma kearifan lokal dalam penamaan tempat mungkin bagi sebagian kita bukan hal yang istimewa karena ini pun berlaku di berbagai daerah di Indonesia. Asumsi ini tentu tidak salah. Tetapi saat mengunjungi masjid terbesar di kota Kendari, mungkin asumsi kita bisa berubah. Jika ingin menjangkau masjid ini harus melalui jalan yang membelah Teluk Kendari. Tidak ada bangunan di kiri kanan jalan. Jadi jalan dibangun hanya untuk mengunjungi sebuah bangunan yakni masjid terapung.
Masjid yang bernama Masjid Jami Al Alam ini mengadopsi kearifan lokal yaitu pemukiman suku nelayan di Sulawesi Tenggara yang sudah terkenal di Indonesia yaitu Suku Bajo. Jika banyak suku nelayan membangun perumahan mereka di daratan sekitar pesisir pantai, suku Bajo membangun perumahan di atas permukaan laut. Mereka membuat rumah-rumah panggung dengan tiang-tiang kayu untuk menopangnya. Meski kini pemerintah telah mereklamasi pantai untuk menjadi pemukiman suku Bajo di Kendari, tetapi sebagian mereka masih mempertahankan tradisi bahari mereka yaitu menggantungkan hidup dari hasil laut.
Selain masjid, pemerintah dan rakyat Kendari juga mengadopsi kearifan lokal ini dalam bentuk villa-villa terapung. Penulis dan keluarga sempat mengunjungi dan merasakan sensasi villa di atas laut, tepatnya Tapulaga Village. Villa ini letaknya agak menjorok keluar hingga untuk mencapainya harus menyusuri jembatan kayu di antara villa-villa kecil di sekitarnya.Â
Selain kagum dengan arsitektur tradisional, penulis dan keluarga yang berkunjung ke kawasan villa ini dibuat kagum dengan kebersihan di area villa. Padahal ini adalah tempat wisata yang juga berdekatan dengan pelabuhan penyeberangan ke pulau lain di Sulawesi Tenggara. dan berdekatan pula dengan Desa Wisata Bajo Bokori. Hal terakhir yang disebutkan juga menjadi inspirasi bagaimana pemerintah Sulawesi Tenggara merawat kearifan lokalnya.
Kesan modernisasi yang penulis tangkap di Sulawesi Tenggara bermula saat mengunjungi keponakan yang bekerja di sebuah pusat olah raga dan kebugaran. Di dalam area yang cukup luas ada beberapa bangunan yang di antaranya berlantai dua. Kesan modernisasi berlanjut saat menyusuri jalan tol Mandonga dan Jembatan Teluk Kendari, jembatan yang konstruksinya sangat mirip dengan jembatan Suramadu. Jadi di dalam kota Kendari kearifan lokal dan modernisasi telah berdiri berdampingan.
Menyusul kota Kendari, tempat berikutnya yang menjadi tujuan utama penulis adalah Morosi---nama kecamatan yang semakin terkenal karena keberadaan perusahaan tambang nikel di wilayahnya. Kawasan pabrik hingga pemukiman penduduk di sekitar perusahaan tambang ini sesungguhnya dibangun di atas bekas empang atau tambak milik masyarakat. Empang atau tambak-tambak ini dahulunya merupakan hutan atau semak belukar yang dibuka terutama oleh para pendatang dari Sulawesi Selatan. Bulukumba menjadi asal utama para petani empang ini.
Kisah kesabaran dan penderitaan para pendatang saat membuka hutan atau semak menjadi empang bukanlah kisah baru, karena banyak di antara mereka merupakan keluarga penulis. Seorang sepupu mengisahkan bagaimana mereka harus makan dalam kelambu, sebab jika tidak mereka akan dikerubungi oleh nyamuk-nyamuk hutan yang besar. Belum lagi terkadang mereka harus berbagi makanan dengan buaya yang menghuni sungai atau rawa dekat empang yang mereka buka.
Para petani empang ini telah berdomisili dan menjadi penduduk di desa-desa di sekitar kawasan pabrik. Banyak pula di antara mereka yang anak atau keluarganya bekerja di perusahaan tambang Morosi. Jadi kehadiran perusahaan tambang di Morosi ini bukan hanya menjadi corong modernisasi tetapi juga membuka lebar pintu pluralisasi yang memang telah lama terbuka sejak kehadiran para pendatang di wilayah ini.
Pluralisasi bukan hanya terjadi secara sosial saja di Morosi tetapi juga secara politik. Pada level pemerintahan terendah yakni tingkat desa, beberapa kali pemilihan kepala desa dimenangkan oleh pendatang. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa pluralisasi dan sosialisasi telah berjalan beriringan dengan saudaranya yakni modernisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H