Tulisan tertua yang mencantumkan nama Selayar berasal dari zaman Majapahit yaitu Negarakertagama. Hal ini membuktikan bahwa nama Selayar telah disandingkan dengan nama-nama yang lebih terkenal di jazirah Sulawesi saat itu seperti Makassar, Buton, dan Luwu yang juga disebutkan dalam kitab yang sama. Bahkan Kerajaan Gowa sebagai pemegang hegemoni di bagian Timur Nusantara juga beberapa kali berusaha merebut pulau ini, namun justru Sultan Baabullah dari Ternate yang berhasil menaklukkannya sewaktu berlangsung ekspedisi ke Gowa di paruh akhir abad ke-16.
Pulau Selayar dapat dijangkau dengan menggunakan kapal feri dari pelabuhan penyeberangan Bira, Bulukumba dan butuh waktu 1,5 hingga 2 jam untuk berlabuh di Pelabuhan Pamatata, Selayar. Setelah itu menempuh perjalanan darat sejauh 40 km menuju ibukota kabupaten, yakni Benteng.
Mengenal Kampung Tua Gantarang
Kampung ini bernama lengkap Gantarang Lalang Bata. Nama Gantarang berarti "Jalan yang Terang" sedangkan "Lalang Bata" secara harfiah dapat diartikan "di dalam bata/batu/pagar" sehingga Gantarang Lalang Bata dapat diartikan sebagai sebuah daerah atau kampung yang dipagari oleh benteng menuju jalan yang terang. Jika ditafsirkan, mungkin yang dimaksudkan jalan yang terang tersebut adalah agama Islam.
Kampung Tua Gantarang terletak di wilayah Desa Bontomarannu, Kecamatan Bontomanai, Kabupaten Kepulauan Selayar, berjarak sekira 17 km dari kota Benteng. Diperlukan kesabaran dan ekstra kehati-hatian untuk mencapai kampung ini. Lebih mudah jika menggunakan kendaraan roda dua, sebab masih terdapat jalan sempit yang cukup panjang dan tidak memungkinkan kendaraan roda empat berpapasan. Selain sempit, beberapa tikungan tajam justru terdapat di jalan menurun atau menanjak.
Sebagaimana umumnya perkampungan tua, kendaraan roda empat sulit mencapai Kampung Tua Gantarang, sehingga pengunjung yang datang dengan roda empat harus memarkirkan kendaraannya di area sekitar tempat wisata Puncak Tana Doang.Â
Setelah itu mereka berjalan kaki kira-kira 2 km. Jikapun menggunakan kendaraan roda dua tetap harus berhati-hati karena jalan yang rusak, menurun dan menanjak dengan beberapa tikungan tajam. Terlebih di sebelah kiri jalan adalah jurang dan pantai Laut Timur Selayar.
Di ujung jalan menuju Kampung Tua Gantarang, pengunjung dapat memarkirkan kendaraan roda dua di area parkiran milik warga. Setelah itu menapaki tangga kira-kira setinggi empat meter lalu menapaki jalan setapak yang masih mendaki di antara batu besar yang membentuk gerbang.Â
Masyarakat setempat menyebutnya Babang Tana Keke. "Babang" secara harfiah berarti "pintu". Kampung tua ini sendiri memiliki empat pintu yang masing-masing terletak di sisi Barat, Timur, Selatan dan sebuah pintu rahasia menuju Teluk Turungang. Memasuki gerbang, penulis sempat mengucapkan salam meskipun diantar oleh sahabat yang memang asli penduduk Selayar sekaligus seorang Kepala SMP di Kecamatan Bontomanai bernama Nur Salam.
Setelah berjalan sepuluhan langkah kami disambut oleh Imam Masjid Tua Gantarang yang sebelumnya sudah dikontak oleh Nur Salam. Imam Masjid bernama Sirajuddin ini yang akan memandu kami menjelajahi kampung.Â
Pemilihan Imam Masjid tentu pilihan tepat karena kedatangan kami sangat terkait dengan keberadaan Masjid Tua Gantarang yang menjadi saksi sebuah proses peng-Islaman sekaligus awal dari islamisasi di Kepulauan Selayar. Tanpa disangka, kami bertemu dengan empat mahasiswa UIN Alauddin yang sedang KKN di wilayah Kecamatan Gantarang. Ditemani oleh adik-adik mahasiswa ini, penjelajahan sejarah dan spiritual makin berkesan.
Adapun arah rumahnya condong Utara-Selatan. Ciri perkampungan tua terlihat dari keberadaan unsur budaya pendukung seperti benteng, masjid tua, lokasi ritual, pola tata ruang bangunan, kompleks makam, meriam dan sebagainya. Sebagai contoh, di samping masjid, masih di dalam pagar batu ada situs "Batu Karaeng" yang oleh Sirajuddin disebut sebagai batu pelantikan bagi para Karaeng yang akan memerintah di Gantarang.
Masjid Tua Awaluddin
Sesuai namanya, masjid ini merupakan salah satu masjid tertua di Sulawesi Selatan. Apalagi masjid ini disebut-sebut didirikan oleh Dato' ri Bandang atau atas permintaannya.Â
Dato ri Bandang adalah satu di antara Dato' Tallua yang menyebarkan Islam secara politik di kalangan raja-raja di Sulawesi Selatan pada abad ke-16. Sirajuddin menuturkan bahwa Dato' ri Bandang yang sebelumnya menyebarkan Islam di Buton kemudian singgah di pantai Timur Selayar.
Selanjutnya dikisahkan bahwa Dato' ri Bandang yang kala itu mendarat di Ngapalohe, bertemu dengan seorang nelayan bernama Pusok yang kemudian di-Islamkan dan dikhitan. Tetapi Pusok ini merasa takut jika dirinya masuk Islam sementara Karaengnya belum, karena itulah ia mengajak Dato' ri Bandang menemui karaengnya. Versi lain menyebut bahwa Dato' ri Bandang yang minta ditunjukkan tempat kediaman Karaeng Gantarang untuk diajak masuk Islam.
Rupanya ajakan Dato' ri Bandang diterima dengan tangan terbuka oleh Karaeng Gantarang yang bernama Pangali Patta Raja (1567-1612). Sebelum meninggalkan pulau tersebut Dato' ri Bandang membangun sebuah masjid. Ada juga versi yang menyebut bahwa masjid didirikan oleh Pangali Patta Raja atas permintaan Dato' ri Bandang.
Secara umum, arsitektur masjid sama dengan masjid-masjid tua di Indonesia yaitu berbentuk segiempat dan beratap tumpang. Masjid Awaluddin sendiri berukuran 9 x 9 m dengan atap dua tingkat.Â
Terdapat empat tiang kayu di setiap sisinya sehingga secara keseluruhan berjumlah 16 tiang. Sebuah formasi menarik diperlihatkan oleh kayu-kayu penyanggah atap. Kayu tengah yang jadi dasar formasi berasal dari pohon cabe yang oleh penduduk setempat disebut "lada".Â
Selain kayu dari pohon cabe itu, kayu yang juga masih asli sezaman dengan masjid adalah kayu yang dipergunakan pada gendang, hanya kulitnya saja yang sudah mengalami pergantian beberapa kali. Ada pula mimbar yang juga terbuat dari kayu.
Pesan dari Kitab dan Pedang Kuno
Hal menarik lainnya terkait Masjid Tua Awaluddin adalah keberadaan empat kitab berbahasa Arab yang dibaca saat khutbah. Sirajuddin menuturkan bahwa keempat kitab tersebut masing-masing dinamakan "Nurung. Sarrapa, Illaahu, dan Munjil."Â
Di antara pesan yang disampaikan dalam kitab itu adalah meskipun kita seorang raja atau penguasa tetapi melakukan kejahatan maka tetap masuk neraka. Sebaliknya, meskipun orang fakir tetapi mengerjakan kebaikan maka akan masuk surga. Pesan berikutnya adalah bahwa pertanggungjawaban di akhirat kelak bersifat sendiri-sendiri.
Hal selanjutnya yang tidak kalah menariknya adalah keberadaan pedang kuno bertuliskan angka 1736 yang menurut Sirajuddin adalah tahun pembuatan pedang itu. Pedang ini biasanya dipegang seperti tongkat saat khatib menyampaikan khutbah. Jika merunut pada daftar Karaeng Gantarang maka pedang ini berasal dari masa Caco Dg. Ma'ruppa (1730-1761).
Masih Misteri
Meninggalkan masjid tua, penulis masih diajak menjelajahi kampung tua. Terletak tidak jauh dari masjid ada tiga tempat yang bagi penulis masih merupakan misteri. Pertama, "Pakkojokang" berbentuk liang seperti mulut sumur. Konon dahulu fungsinya mirip dengan batu Hajar Aswad. Kedua, "Ta'ra Lisak Bangkeng" yang dipercaya merupakan bekas telapak kaki Dato' ri Bandang. Ketiga, "Kuburu'na Dato' ri Bandang" yang dipercaya sebagai makam Dato' ri Bandang.
Di antara ketiga tempat di atas tentu yang paling misterius adalah makam Dato' ri Bandang sebab sepanjang pengetahuan penulis sebagai Guru Sejarah, makam ulama ini terletak di Makassar, tepatnya di Tallo. Apalagi dalam sejarahnya, Dato' ri Bandang memang menjadikan Tallo sebagai pusat penyebaran Islam di wilayah kerajaan Gowa-Tallo.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI