Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gantarang: Sejarah dan Misteri Kampung Tua di Puncak Bukit Selayar

18 November 2022   05:34 Diperbarui: 18 November 2022   10:01 2102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nara Sumber dan Pengunjung Menyusuri Perkampungan Tua Gantarang (Dok. Pribadi)

Tulisan tertua yang mencantumkan nama Selayar berasal dari zaman Majapahit yaitu Negarakertagama. Hal ini membuktikan bahwa nama Selayar telah disandingkan dengan nama-nama yang lebih terkenal di jazirah Sulawesi saat itu seperti Makassar, Buton, dan Luwu yang juga disebutkan dalam kitab yang sama. Bahkan Kerajaan Gowa sebagai pemegang hegemoni di bagian Timur Nusantara juga beberapa kali berusaha merebut pulau ini, namun justru Sultan Baabullah dari Ternate yang berhasil menaklukkannya sewaktu berlangsung ekspedisi ke Gowa di paruh akhir abad ke-16.

Pulau Selayar dapat dijangkau dengan menggunakan kapal feri dari pelabuhan penyeberangan Bira, Bulukumba dan butuh waktu 1,5 hingga 2 jam untuk berlabuh di Pelabuhan Pamatata, Selayar. Setelah itu menempuh perjalanan darat sejauh 40 km menuju ibukota kabupaten, yakni Benteng.

Mengenal Kampung Tua Gantarang

Kampung ini bernama lengkap Gantarang Lalang Bata. Nama Gantarang berarti "Jalan yang Terang" sedangkan "Lalang Bata" secara harfiah dapat diartikan "di dalam bata/batu/pagar" sehingga Gantarang Lalang Bata dapat diartikan sebagai sebuah daerah atau kampung yang dipagari oleh benteng menuju jalan yang terang. Jika ditafsirkan, mungkin yang dimaksudkan jalan yang terang tersebut adalah agama Islam.

Kampung Tua Gantarang terletak di wilayah Desa Bontomarannu, Kecamatan Bontomanai, Kabupaten Kepulauan Selayar, berjarak sekira 17 km dari kota Benteng. Diperlukan kesabaran dan ekstra kehati-hatian untuk mencapai kampung ini. Lebih mudah jika menggunakan kendaraan roda dua, sebab masih terdapat jalan sempit yang cukup panjang dan tidak memungkinkan kendaraan roda empat berpapasan. Selain sempit, beberapa tikungan tajam justru terdapat di jalan menurun atau menanjak.

Sebagaimana umumnya perkampungan tua, kendaraan roda empat sulit mencapai Kampung Tua Gantarang, sehingga pengunjung yang datang dengan roda empat harus memarkirkan kendaraannya di area sekitar tempat wisata Puncak Tana Doang. 

Setelah itu mereka berjalan kaki kira-kira 2 km. Jikapun menggunakan kendaraan roda dua tetap harus berhati-hati karena jalan yang rusak, menurun dan menanjak dengan beberapa tikungan tajam. Terlebih di sebelah kiri jalan adalah jurang dan pantai Laut Timur Selayar.

Tempat parkir dan tangga menuju Kampung Tua Gantarang (Dok. Pribadi)
Tempat parkir dan tangga menuju Kampung Tua Gantarang (Dok. Pribadi)

Di ujung jalan menuju Kampung Tua Gantarang, pengunjung dapat memarkirkan kendaraan roda dua di area parkiran milik warga. Setelah itu menapaki tangga kira-kira setinggi empat meter lalu menapaki jalan setapak yang masih mendaki di antara batu besar yang membentuk gerbang. 

Masyarakat setempat menyebutnya Babang Tana Keke. "Babang" secara harfiah berarti "pintu". Kampung tua ini sendiri memiliki empat pintu yang masing-masing terletak di sisi Barat, Timur, Selatan dan sebuah pintu rahasia menuju Teluk Turungang. Memasuki gerbang, penulis sempat mengucapkan salam meskipun diantar oleh sahabat yang memang asli penduduk Selayar sekaligus seorang Kepala SMP di Kecamatan Bontomanai bernama Nur Salam.

Jalan setapak mendaki di antara dua dinding batu yang menjadi pintu gerbang menuju Kampung Tua Gantarang (Dok. Pribadi)
Jalan setapak mendaki di antara dua dinding batu yang menjadi pintu gerbang menuju Kampung Tua Gantarang (Dok. Pribadi)
Aura kampung tua mulai terasa saat melewati gerbang, sebab di sisi kiri jalan kampung adalah kompleks kuburan tua. Jalan kampung sendiri lebarnya kira-kira satu meter, hanya cukup untuk berpapasan dua orang. 

Setelah berjalan sepuluhan langkah kami disambut oleh Imam Masjid Tua Gantarang yang sebelumnya sudah dikontak oleh Nur Salam. Imam Masjid bernama Sirajuddin ini yang akan memandu kami menjelajahi kampung. 

Pemilihan Imam Masjid tentu pilihan tepat karena kedatangan kami sangat terkait dengan keberadaan Masjid Tua Gantarang yang menjadi saksi sebuah proses peng-Islaman sekaligus awal dari islamisasi di Kepulauan Selayar. Tanpa disangka, kami bertemu dengan empat mahasiswa UIN Alauddin yang sedang KKN di wilayah Kecamatan Gantarang. Ditemani oleh adik-adik mahasiswa ini, penjelajahan sejarah dan spiritual makin berkesan.

Penulis (berkopiah dan berbaju hitam) bersama dengan rombongan dan mahasiswa KKN dari UIN Alauddin (Dok. Pribadi)
Penulis (berkopiah dan berbaju hitam) bersama dengan rombongan dan mahasiswa KKN dari UIN Alauddin (Dok. Pribadi)
Kampung Tua Gantarang dibatasi oleh lembah di bagian Utara, Selatan dan Barat serta laut di sebelah Timur dan terletak di ketinggian 275 meter. Luas kampung yang dihuni oleh 39 rumah ini sekitar 4,6 hektar. 

Adapun arah rumahnya condong Utara-Selatan. Ciri perkampungan tua terlihat dari keberadaan unsur budaya pendukung seperti benteng, masjid tua, lokasi ritual, pola tata ruang bangunan, kompleks makam, meriam dan sebagainya. Sebagai contoh, di samping masjid, masih di dalam pagar batu ada situs "Batu Karaeng" yang oleh Sirajuddin disebut sebagai batu pelantikan bagi para Karaeng yang akan memerintah di Gantarang.

Batu Karaeng di dalam pagar batu sebagai tempat pelantikan Karaeng Gantarang (Dok. Pribadi)
Batu Karaeng di dalam pagar batu sebagai tempat pelantikan Karaeng Gantarang (Dok. Pribadi)

Masjid Tua Awaluddin

Sesuai namanya, masjid ini merupakan salah satu masjid tertua di Sulawesi Selatan. Apalagi masjid ini disebut-sebut didirikan oleh Dato' ri Bandang atau atas permintaannya. 

Dato ri Bandang adalah satu di antara Dato' Tallua yang menyebarkan Islam secara politik di kalangan raja-raja di Sulawesi Selatan pada abad ke-16. Sirajuddin menuturkan bahwa Dato' ri Bandang yang sebelumnya menyebarkan Islam di Buton kemudian singgah di pantai Timur Selayar.

Selanjutnya dikisahkan bahwa Dato' ri Bandang yang kala itu mendarat di Ngapalohe, bertemu dengan seorang nelayan bernama Pusok yang kemudian di-Islamkan dan dikhitan. Tetapi Pusok ini merasa takut jika dirinya masuk Islam sementara Karaengnya belum, karena itulah ia mengajak Dato' ri Bandang menemui karaengnya. Versi lain menyebut bahwa Dato' ri Bandang yang minta ditunjukkan tempat kediaman Karaeng Gantarang untuk diajak masuk Islam.

Rupanya ajakan Dato' ri Bandang diterima dengan tangan terbuka oleh Karaeng Gantarang yang bernama Pangali Patta Raja (1567-1612). Sebelum meninggalkan pulau tersebut Dato' ri Bandang membangun sebuah masjid. Ada juga versi yang menyebut bahwa masjid didirikan oleh Pangali Patta Raja atas permintaan Dato' ri Bandang.

Masjid Tua Gantarang Lalang Bata yang berada dalam pagar batu (Dok. Pribadi)
Masjid Tua Gantarang Lalang Bata yang berada dalam pagar batu (Dok. Pribadi)

Secara umum, arsitektur masjid sama dengan masjid-masjid tua di Indonesia yaitu berbentuk segiempat dan beratap tumpang. Masjid Awaluddin sendiri berukuran 9 x 9 m dengan atap dua tingkat. 

Terdapat empat tiang kayu di setiap sisinya sehingga secara keseluruhan berjumlah 16 tiang. Sebuah formasi menarik diperlihatkan oleh kayu-kayu penyanggah atap. Kayu tengah yang jadi dasar formasi berasal dari pohon cabe yang oleh penduduk setempat disebut "lada". 

Selain kayu dari pohon cabe itu, kayu yang juga masih asli sezaman dengan masjid adalah kayu yang dipergunakan pada gendang, hanya kulitnya saja yang sudah mengalami pergantian beberapa kali. Ada pula mimbar yang juga terbuat dari kayu.

Searah jarum jam: kayu cabe sebagai tiang utama penyangga atap, mimbar, gendang dan tiang-tiang masjid (Dok. Pribadi)
Searah jarum jam: kayu cabe sebagai tiang utama penyangga atap, mimbar, gendang dan tiang-tiang masjid (Dok. Pribadi)

Pesan dari Kitab dan Pedang Kuno

Hal menarik lainnya terkait Masjid Tua Awaluddin adalah keberadaan empat kitab berbahasa Arab yang dibaca saat khutbah. Sirajuddin menuturkan bahwa keempat kitab tersebut masing-masing dinamakan "Nurung. Sarrapa, Illaahu, dan Munjil." 

Di antara pesan yang disampaikan dalam kitab itu adalah meskipun kita seorang raja atau penguasa tetapi melakukan kejahatan maka tetap masuk neraka. Sebaliknya, meskipun orang fakir tetapi mengerjakan kebaikan maka akan masuk surga. Pesan berikutnya adalah bahwa pertanggungjawaban di akhirat kelak bersifat sendiri-sendiri.

Hal selanjutnya yang tidak kalah menariknya adalah keberadaan pedang kuno bertuliskan angka 1736 yang menurut Sirajuddin adalah tahun pembuatan pedang itu. Pedang ini biasanya dipegang seperti tongkat saat khatib menyampaikan khutbah. Jika merunut pada daftar Karaeng Gantarang maka pedang ini berasal dari masa Caco Dg. Ma'ruppa (1730-1761).

Nara sumber memperlihatkan angka pada pedang kuno bertuliskan 1736 (Dok. Pribadi)
Nara sumber memperlihatkan angka pada pedang kuno bertuliskan 1736 (Dok. Pribadi)

Masih Misteri

Meninggalkan masjid tua, penulis masih diajak menjelajahi kampung tua. Terletak tidak jauh dari masjid ada tiga tempat yang bagi penulis masih merupakan misteri. Pertama, "Pakkojokang" berbentuk liang seperti mulut sumur. Konon dahulu fungsinya mirip dengan batu Hajar Aswad. Kedua, "Ta'ra Lisak Bangkeng" yang dipercaya merupakan bekas telapak kaki Dato' ri Bandang. Ketiga, "Kuburu'na Dato' ri Bandang" yang dipercaya sebagai makam Dato' ri Bandang.

Di antara ketiga tempat di atas tentu yang paling misterius adalah makam Dato' ri Bandang sebab sepanjang pengetahuan penulis sebagai Guru Sejarah, makam ulama ini terletak di Makassar, tepatnya di Tallo. Apalagi dalam sejarahnya, Dato' ri Bandang memang menjadikan Tallo sebagai pusat penyebaran Islam di wilayah kerajaan Gowa-Tallo.

Searah jarum jam: Pakkojokang, Ta'ra Lisak Bangkeng dan Kuburu'na Dato' ri Bandang (Dok. Pribadi)
Searah jarum jam: Pakkojokang, Ta'ra Lisak Bangkeng dan Kuburu'na Dato' ri Bandang (Dok. Pribadi)
Meski demikian, sebuah kepercayaan atau keyakinan harus tetap dihargai sebab selain Dato' ri Bandang ada ulama setelahnya yang bahkan memiliki tiga makam yaitu di Gowa, di Banten dan di Cape Town (Afrika Selatan). Ulama yang dimaksud adalah Syekh Yusuf. Apalagi sebagaimana penuturan Sirajuddin, nara sumber sekaligus imam Masjid Awaluddin Gantarang Lalang Bata bahwa Dato' ri Bandang sempat datang kembali ke kampung tua ini untuk menyaksikan masjid yang pernah ia minta untuk didirikan oleh Karaeng Gantarang Pangali Patta Raja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun