Telah lima abad Fort Rotterdam berdiri gagah menghadap Selat Makassar. Benteng ini memang telah menjadi saksi betapa bergejolaknya kehidupan di Selat Makassar di masa lampau. Bahkan tidak sekedar menjadi saksi, Fort Rotterdam adalah pelaku sejarah. Benteng inilah yang berusaha menjadi tameng untuk melindungi kejayaan Makassar dari gempuran bangsa Barat (Belanda) di abad XVII.
Fort Rotterdam bukan hanya melulu tentang masa lampau. Hingga saat ini di situs bersejarah yang anggun ini sering digelar event-event budaya. Salah satu yang akan digelar di akhir September ini adalah Gau Maraja yang diinisiasi oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Makassar.Â
Publik secara umum juga menjadikan kawasan benteng yang asri ini sebagai tempat favorit untuk melepas penat terutama menjelang senja.
Anak-anak muda kreatif terutama mahasiswa juga memanfaatkan pesona benteng ini untuk menggelar ajang kreativitas. Dulu saat mahasiswa, penulis terkadang mengantar teman ke sini untuk mengikuti perkampungan bahasa Inggris (London Village).
Napak Tilas Sejarah Fort Rotterdam
Fort Rotterdam menjadi tempat yang sangat akrab bagi penulis karena cukup sering membawa siswa menapaktilasi sejarah di benteng ini. Itulah sebabnya penulis bisa mendapatkan referensi yang cukup lengkap terkait sejarah benteng, misalnya buku berjudul Benteng Ujung Pandang: Fort Rotterdam yang diterbitkan oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Sulsel (1966).
Benteng yang kelak beberapa kali berganti nama ini mulai dibangun sejak masa Raja Gowa IX (Tumapa'risi Kallonna) dan diselesaikan oleh putranya, Raja Gowa X (Tunipallangga Ulaweng) tepatnya tahun 1545. Â
Maksud pendirian benteng ini adalah untuk mengawal atau melindungi benteng induk Somba Opu---ibukota Kerajaan Gowa. Saat Perang Makassar bergolak, benteng ini pernah menjadi pusat persiapan militer untuk menghadapi pasukan Belanda.Â
Bukti pertempuran dahsyat yang pernah dialami oleh benteng ini masih abadi di dinding Fort Rotterdam bagian depan. Terlihat jelas bekas-bekas peluru meriam yang ditembakkan oleh kapal-kapal perang Belanda dari Selat Makassar.
Saat pertama kali dibangun benteng ini dinamakan Ujung Pandang. Penamaan ini dikarenakan benteng ini terletak di sebuah "Tanjung" yang dalam bahasa Makassar disebut "Ujung".
Lalu penamaan Pandang karena di sekitar benteng ditumbuhi "Pandan" yang jika mengikut ke dialek Makassar akan disebut "Pandang". Ujung Pandang sekaligus pernah menjadi nama ibukota propinsi Sulawesi Selatan sebelum berganti menjadi Makassar.
Selain Ujung Pandang, benteng ini juga pernah bernama Benteng Pannyua (dialek Makassar untuk menyebut penyu). Penamaan ini disebabkan karena model benteng yang menyerupai seekor penyu yang merayap ke laut.Â
Model benteng seperti ini sesungguhnya mengandung falsafah bahwa orang Makassar dapat bertahan hidup di darat dan di laut sebagaimana seekor penyu. Fakta ini telah terbukti dalam sejarah bagaimana Kerajaan Gowa memegang hegemoni baik di darat dan laut terutama pada abad XVI-XVII.
Lalu bagaimana dengan penamaan Fort Rotterdam? Nama ini diberikan oleh Belanda setelah memenangkan Perang Makassar yang ditandai dengan Perjanjian Bongaya (1667).
Perubahan nama ini sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa Cornelis Speelman yang telah memimpin armada Belanda mengalahkan Kerajaan Gowa. Rotterdam adalah kota kelahiran Speelman.Â
Setelah dikuasai Belanda, benteng ini difungsikan sebagai markas komando pertahanan sekaligus pusat perdagangan, pemerintahan dan pemukiman pejabat-pejabat Belanda.
Kisah Tahanan Pangeran Diponegoro hingga Penembakan Para Pemuda
Pangeran Diponegoro adalah musuh Belanda yang dianggap paling merepotkan mereka di Jawa (Perang Jawa, 1825-1830). Diponegoro yang ditangkap melalui skenario licik kemudian dibuang ke Minahasa dan selanjutnya dipindahkan ke Fort Rotterdam sejak 1834 hingga beliau wafat pada 1855.Â
Penulis sendiri pernah diberi kesempatan oleh pengelola untuk memasuki bekas ruang tahanan beliau. Dalam ruang tahanan ini masih ada pembaringan, kursi dan meja yang beliau pakai selama dalam tahanan, juga Al-Quran tulisan tangan beliau.
Saat kekuasaan berpindah ke tangan Jepang sejak 1942, benteng ini dfungsikan sebagai Kantor Pusat Penelitian Pertanian dan Bahasa tepatnya di bastion Mandarsyah---Raja Ternate yang ikut membantu Belanda dalam Perang Makassar.
Lalu saat Belanda kembali datang pasca proklamasi kemerdekaan, benteng ini dijadikan sebagai pusat pertahanan untuk menumpas perlawanan laskar dan tentara republik di Sulawesi Selatan.Â
Itulah sebabnya benteng ini pernah menjadi maskar tentara KNIL di era revolusi fisik di Sulawesi Selatan. Makanya Fort Rotterdam menjadi saksi bisu penembakan KNIL terhadap para pemuda Makassar. Saat itu 2 Oktober 1945, serdadu KNIL tiba-tiba keluar dari markas mereka di Fort Rotterdam, lantas melakukan penembakan.
Upaya Pelestarian Fort Rotterdam Pasca Pengakuan Kedaulatan
Setelah pengakuan kedaulatan dan benteng kembali ke tangan pemerintah, benteng difungsikan sebagai pemukiman tentara dan sipil hingga 1969. Sejak 1970 benteng dikosongkan dan diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk memelihara dan melestarikannya.Â
Empat tahun setelahnya benteng ini menjelma menjadi pusat kebudayaan Sulawesi Selatan, sarana wisata budaya dan pendidikan. Di dalam kawasan benteng berdirilah Kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala yang membawahi tiga propinsi saat itu (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah).Â
Di dalam benteng didirikan pula Kantor Museum Negeri Propinsi Sulawesi Selatan yang bernama La Galigo. Museum ini merekam peradaban dari masa lampau, bukan hanya di Sulawesi Selatan tetapi juga di Indonesia secara umum. Jika kita menelusuri koleksi-koleksinya maka kita akan menemukan mata rantai peradaban masa lampau hingga ke masa kini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H