Saat kekuasaan berpindah ke tangan Jepang sejak 1942, benteng ini dfungsikan sebagai Kantor Pusat Penelitian Pertanian dan Bahasa tepatnya di bastion Mandarsyah---Raja Ternate yang ikut membantu Belanda dalam Perang Makassar.
Lalu saat Belanda kembali datang pasca proklamasi kemerdekaan, benteng ini dijadikan sebagai pusat pertahanan untuk menumpas perlawanan laskar dan tentara republik di Sulawesi Selatan.Â
Itulah sebabnya benteng ini pernah menjadi maskar tentara KNIL di era revolusi fisik di Sulawesi Selatan. Makanya Fort Rotterdam menjadi saksi bisu penembakan KNIL terhadap para pemuda Makassar. Saat itu 2 Oktober 1945, serdadu KNIL tiba-tiba keluar dari markas mereka di Fort Rotterdam, lantas melakukan penembakan.
Upaya Pelestarian Fort Rotterdam Pasca Pengakuan Kedaulatan
Setelah pengakuan kedaulatan dan benteng kembali ke tangan pemerintah, benteng difungsikan sebagai pemukiman tentara dan sipil hingga 1969. Sejak 1970 benteng dikosongkan dan diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk memelihara dan melestarikannya.Â
Empat tahun setelahnya benteng ini menjelma menjadi pusat kebudayaan Sulawesi Selatan, sarana wisata budaya dan pendidikan. Di dalam kawasan benteng berdirilah Kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala yang membawahi tiga propinsi saat itu (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah).Â
Di dalam benteng didirikan pula Kantor Museum Negeri Propinsi Sulawesi Selatan yang bernama La Galigo. Museum ini merekam peradaban dari masa lampau, bukan hanya di Sulawesi Selatan tetapi juga di Indonesia secara umum. Jika kita menelusuri koleksi-koleksinya maka kita akan menemukan mata rantai peradaban masa lampau hingga ke masa kini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H