Khusus untuk ujung panah yang bergigi, karena demikian banyaknya ditemukan di daerah Maros, beberapa ahli purbakala menyebutnya Lancipan Maros (Maros Point).Â
Di samping alat-alat yang dibuat dari bahan batu mereka juga membuat alat-alat yang dibuat dari tulang, kerang dan kayu (terutama bambu).Â
Maros Point adalah salah satu tipe alat serpih yang berbentuk segitiga dan memiliki gerigi pada masing-masing sudutnya. Panjangnya berkisar antara 5-7 cm.
Sejarawan Sulsel, Hadimulyono dalam bukunya Sejarah Kuno Sulawesi Selatan menjelaskan bahwa dari  hasil penelitian para ahli dari Belanda, Australia, Inggris, dan Indonesia terhadap sisa-sisa kebudayaan yang ditemukan di dalam penggalian kepurbakalaan gua-gua di daerah Sulawesi Selatan dapat disimpulkan bahwa kebudayaan Toala berkembang antara 5.000-1.000 tahun SM.Â
Kesimpulan ini didapatkan berdasarkan hasil analisa Carbon-14 (C-14), salah satu metode penentuan umur absolut yang sekarang berlaku di seluruh dunia.
Rock Art Paiting di Leang (Gua) PettaE dan Petta Kere
Selain hasil-hasil kebudayaan berupa alat-alat kerja sehari-hari, para penghuni gua juga telah mengenal seni lukis yang digambarkan di dinding-dinding gua (rock art paiting) atau disebut juga lukisan gua (rock paiting).Â
Di antara gua-gua tempat penemuan gambar-gambar cap tangan (hand stencils) adalah Leang (Gua) PettaE dan Petta Kere yang berada dalam kawasan yang selesai dibangun tahun 1979, yang dulunya disebut Prehistory Park.Â
Lukisan gua ini ditemukan pertama kali pada penelitian Ny. C.H.M. Heeren Palm dalam suatu ekskavasi yang dilakukan pada tanggal 26 Pebruari 1950.
Hingga kini, rock art paiting di dinding Leang PettaE dan Petta Kere masih dapat disaksikan berupa cap telapak tangan dan lukisan binatang. Berdasarkan analisis D.A. Hooijer seorang ahli zoology, binatang dalam lukisan itu ialah babi rusa (Elaphurus Lavidianus).Â