Taman Prasejarah atau Taman Purbakala Leang-Leang (Bantimurung-Maros-Sulawesi Selatan), bukan tempat yang asing bagi penulis.Â
Taman yang dahulu bernama Preshistory Park ini menjadi tempat favorit penulis bersama teman-teman sejak kecil hingga remaja. Menghabiskan waktu, jika ingin menikmati sejuknya hawa pegunungan.Â
Lokasi taman ini memang berada di Desa tempat penulis dan keluarga besar berdiam. Itulah sebabnya di sela-sela kunjungan keluarga, penulis terkadang menyempatkan merefresh memori di taman yang makin anggun dan asri ini.Â
Tempat ini juga menjadi kawasan favorit untuk kegiatan studi wisata mewariskan jejak peradaban kepada generasi muda atau sekedar mengabadikan momen-momen indah bersama orang-orang terdekat.
Jika berdasarkan catatan sejarah maka tempat ini diduga telah didiami oleh manusia sekitar 5.000-15.000 tahun yang lalu. Mereka adalah ras Mongoloid yang dipercaya sebagai pendukung kebudayaan Mesolithik di Sulawesi Selatan.Â
Zaman ini dicirikan dengan aktivitas berburu dan meramu dengan peralatan yang masih sederhana seperti tombak, dan mata panah yang terbuat dari batu. Ras Mongoloid ini menjadi pendukung kebudayaan Toala yang masih memilih gua-gua kapur sebagai tempat tinggal.
Gua-gua yang mereka diami letaknya dekat air (sungai, laut, danau)—karena itulah lokasi taman ini dibelah oleh aliran sungai.Â
Bahkan keberadaan cangkang-cangkang binatang laut di mulut gua di kawasan taman ini memberi petunjuk jika taman ini pernah berada tidak jauh dari bibir pantai.
Adapun mata pencaharian pokok masyarakat saat itu adalah berburu binatang (darat dan laut) dan mengumpulkan bahan makanan dari hutan.Â
Alat-alat kerja untuk keperluan hidup sehari-hari dibuat dari batu jenis kwarsa dan chalsedon yang dipecahkan dan dibentuk untuk ujung panah, ujung tombak, pisau dan lain-lain. Semua jenis alat dari batu ini disebut alat serpih bilah (flakes).Â
Khusus untuk ujung panah yang bergigi, karena demikian banyaknya ditemukan di daerah Maros, beberapa ahli purbakala menyebutnya Lancipan Maros (Maros Point).Â
Di samping alat-alat yang dibuat dari bahan batu mereka juga membuat alat-alat yang dibuat dari tulang, kerang dan kayu (terutama bambu).Â
Maros Point adalah salah satu tipe alat serpih yang berbentuk segitiga dan memiliki gerigi pada masing-masing sudutnya. Panjangnya berkisar antara 5-7 cm.
Sejarawan Sulsel, Hadimulyono dalam bukunya Sejarah Kuno Sulawesi Selatan menjelaskan bahwa dari  hasil penelitian para ahli dari Belanda, Australia, Inggris, dan Indonesia terhadap sisa-sisa kebudayaan yang ditemukan di dalam penggalian kepurbakalaan gua-gua di daerah Sulawesi Selatan dapat disimpulkan bahwa kebudayaan Toala berkembang antara 5.000-1.000 tahun SM.Â
Kesimpulan ini didapatkan berdasarkan hasil analisa Carbon-14 (C-14), salah satu metode penentuan umur absolut yang sekarang berlaku di seluruh dunia.
Rock Art Paiting di Leang (Gua) PettaE dan Petta Kere
Selain hasil-hasil kebudayaan berupa alat-alat kerja sehari-hari, para penghuni gua juga telah mengenal seni lukis yang digambarkan di dinding-dinding gua (rock art paiting) atau disebut juga lukisan gua (rock paiting).Â
Di antara gua-gua tempat penemuan gambar-gambar cap tangan (hand stencils) adalah Leang (Gua) PettaE dan Petta Kere yang berada dalam kawasan yang selesai dibangun tahun 1979, yang dulunya disebut Prehistory Park.Â
Lukisan gua ini ditemukan pertama kali pada penelitian Ny. C.H.M. Heeren Palm dalam suatu ekskavasi yang dilakukan pada tanggal 26 Pebruari 1950.
Hingga kini, rock art paiting di dinding Leang PettaE dan Petta Kere masih dapat disaksikan berupa cap telapak tangan dan lukisan binatang. Berdasarkan analisis D.A. Hooijer seorang ahli zoology, binatang dalam lukisan itu ialah babi rusa (Elaphurus Lavidianus).Â
Apa Makna Hand Stencils di Dinding-Dinding Gua Itu?
Di antara interpretasi terhadap lukisan cap tangan yang berwarna merah adalah mengandung simbol kekuatan pelindung dan pencegah roh jahat. Adapun hand stencils yang jari-jarinya tidak lengkap mungkin sebagai tanda berkabung.Â
Menurut Roder dan Galis yang pernah menyelidiki lukisan-lukisan gua Prasejarah di Irian Jaya berpendapat bahwa lukisan berwarna merah tersebut bertalian dengan upacara penghormatan terhadap nenek moyang.Â
Juga upacara kesuburan, inisiasi dan mungkin juga untuk keperluan ilmu dukun untuk meminta hujan atau memperingati suatu kejadian penting.
Hand Stencils Tertua di Dunia
Penelitian terbaru untuk mengungkap kehidupan masyarakat zaman praaksara dilakukan antara tahun 2013-2014. oleh Dr. Maxime Aubert, peneliti asal Griffith University di Quensland, Australia.Â
Ia mengumumkan hasil temuan timnya yang sudah bekerja dua tahun terakhir. Tim peneliti yang juga melibatkan dosen jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin, Iwan Sumantri berhasil menemukan lukisan tangan di beberapa gua.Â
Menurut dia, usia lukisan di gua yang baru ditemukan pada akhir Oktober 2014 ini adalah 39.900 tahun dan merupakan lukisan stensil tangan tertua di dunia.Â
Ada pula lukisan babi yang berumur paling tidak 35.400 tahun dan merupakan salah satu lukisan figur tertua di dunia. Hal ini dibenarkan pula oleh Dr. Anthony Dosseto, Direktur Laboratorium Isotope Geochronology, Universitas Wollongong.Â
Melalui teknologi nuklir yang dipadukan dengan teknologi dating (penanggalan), diketahui lukisan di gua Leang-Leang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros ini hampir mencapai usia 40.000 tahun.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI