Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sejam Bersama Arief Saenong: Panrita, Peneliti, dan Penulis Pinisi

16 September 2022   16:43 Diperbarui: 17 September 2022   09:11 1702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Muhammad Arief Saenong memegang miniatur Pinisi di kediamannya. Sumber: Dokumen pribadi 

Panrita Lopi adalah sebutan bagi para Punggawa, Ahli atau Kepala Tukang dalam pembuatan perahu. Di Sulawesi Selatan terdapat satu kabupaten yang dikenal menyandang julukan ini.

Kabupaten ini memang terkenal dengan banyak destinasi wisata pantai terutama Pantai Bira dengan pesona pasir putihnya. Kabupaten ini juga menjadi tempat komunitas adat Ammatoa melestarikan tradisinya. Kabupaten yang berjarak sekitar 150 km dari Makassar, ibukota Sulawesi Selatan ini bernama Bulukumba.

Butta Panrita Lopi secara harfiah berarti "Tanah para Punggawa/Ahli/Kepala Tukang Pembuat Perahu." Julukan ini tentu tidak berlebihan, karena berkesesuaian dengan fakta sejarah di masa lampau.

Hal ini telah diakui oleh sejarawan seperti Prof. Mattulada dan Usman Pelly yang menegaskan bahwa para Panrita Lopi di Ara dan Tanah Beru berperan besar dalam membangun armada laut Kerajaan Gowa dan Bone.

Peranan para Panrita Lopi juga dapat ditemukan pada novel sejarah Perang Makassar 1669: Prahara Benteng Somba Opu yang ditulis oleh S.M. Noor. Novel yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas pada tahun 2011 ini berkisah tentang seorang perwira muda dari kampung Bira bernama I Makkurani (Karaeng Makku) yang pernah ditugaskan mengawal kapal-kapal perang yang dipesan oleh panglima perang Gowa, Karaeng Bontomarannu.

Keahlian para Panrita Lopi masih terus diwariskan dari generasi ke generasi hingga masih dapat membuat perahu atau kapal Pinisi yang terbukti ketangguhannya. Bukti sejarah yang mendukung fakta ini di antaranya Pinisi Nusantara yang pernah berlayar hingga ke Vancouver Kanada (1986).

Akhir Desember setahun kemudian, perahu Pa'dewakang Hati Marege berlayar dari Pelabuhan Paotere Makassar dan tiba di Darwin Australia pada 15 Januari 1988. Perahu jenis Pa'dewakang ini dipesan oleh Peter G. Spillet, seorang sejarawan sekaligus Direktur Museum Darwin.

Bukti selanjutnya yang menegaskan bahwa para Panrita Lopi masih dapat membuat Pinisi yang terbukti ketangguhannya adalah saat Pinisi Ammana Gappa berlayar ke Madagaskar hanya berselang tiga tahun dari pelayaran Pa'dewakang Hati Marege.

Muhammad Arief Saenong memperlihatkan salah satu buku tentang Pinisi. Sumber: Dokumen pribadi
Muhammad Arief Saenong memperlihatkan salah satu buku tentang Pinisi. Sumber: Dokumen pribadi

Mengenal Arief Saenong: Panrita, Peneliti dan Penulis Pinisi

Para panrita lopi di Bulukumba hingga kini masih terus melanjutkan profesinya, bahkan mewariskannya kepada generasi-generasi muda. Mereka dapat ditemukan di Desa Ara dan Desa Tanah Lemo di Kecamatan Bonto Bahari.

Penulis sendiri sering berkunjung ke pusat pembuatan perahu atau kapal di Bonto Bahari ini karena letaknya tidak jauh dari tempat penulis berdomisili. Bahkan penulis terkadang naik ke geladak perahu/kapal Pinisi yang sedang dikerjakan. Beberapa di antaranya membuat penulis tercengang mengetahui harganya yang bisa menembus miliaran rupiah.

Di antara panrita atau punggawa yang pernah terlibat dalam pembuatan Pinisi ada yang memutuskan untuk menuliskannya dalam sebuah karya berbasis riset atau penelitian. Ia menulis naskah berbasis riset pertamanya berjudul "Pinisi Perahu Khas Sulawesi Selatan" diterbitkan pada tahun 2001 oleh Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah Purbakala dan Permuseuman Sulawesi Selatan.

Enam tahun berselang, ia menulis buku berjudul PINISI Paduan Teknologi & Budaya. Diterbitkan pertama kali oleh Dinas Perindustrian Pariwisata Seni Budaya Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan (2007).

Buku ini kemudian dipublikasi secara nasional oleh Penerbit Ombak yang memang berkonsentrasi menerbitkan buku-buku berkonten sejarah dan budaya. Penulis buku referensi terlengkap tentang pinisi ini adalah Muhammad Arief Saenong. Penulis sudah lama mengenal sosoknya tetapi baru berkesempatan berdiskusi lama saat mengunjungi kediaman beliau pada awal 2022 silam.

Kunjungan penulis sehubungan dengan permintaan seorang sahabat di Balai Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Keagamaan Makassar agar menemui beliau.

Selain meminta nomor kontaknya juga membicarakan rencana mengundang beliau menjadi nara sumber. Saat tiba di rumahnya, seorang putrinya mengatakan beliau sedang kurang sehat belakangan ini. Meski demikian, Panrita Pinisi yang usianya telah genap 80 tahun ini bersedia menerima penulis.

Muhammad Arief Saenong menjadi nara sumber dalam sebuah seminar. Sumber: Dokumen pribadi
Muhammad Arief Saenong menjadi nara sumber dalam sebuah seminar. Sumber: Dokumen pribadi

Prestasi Menasional

Beliau bernama lengkap Muhammad Arief Saenong. Lahir pada 14 Juni 1942 di Ara, Kabupaten Bulukumba. Pada tahun 1963 ia dipercaya menjadi Guru di sebuah Sekolah Dasar di Tanah Beru (sekarang wilayah Kecamatan Bonto Bahari). 

Kepada penulis, ia berkisah pernah meninggalkan profesinya sebagai guru demi kecintaannya pada Pinisi. Tetapi karena panggilan jiwanya sebagai pendidik kembali menggugah jiwanya untuk kembali mengabdi. 1970, ia diangkat menjadi Guru di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Bulukumba pada. Dinas Pendidikan mengapresiasi pengabdian beliau dengan mengangkatnya menjadi Penilik (sekarang pengawas) pada 1991.

Kecintaan dan pengetahuan yang mendalam tentang Pinisi dibuktikan saat ia dipercaya oleh Pustekkom Depdikbud menjadi nara sumber pada pembuatan film dokumenter  tentang Pinisi pada tahun 1992. Ia sekaligus memandu pengambilan gambar untuk film berjudul "Adat Cara Pembuatan Perahu Pinisi" tersebut.

Berselang enam tahun kemudian, ia dipercaya oleh Dinas Pariwisata Kab. Bulukumba untuk menyusun naskah "Sendra Tari Panrita Lopi" yang sempat dipentaskan di TMII Jakarta (24 April 1998).

Buah Tangan Panrita Lopi dalam Operasi Pembebasan Irian Barat

Fakta sejarah ini diungkap oleh. Bapak Arief Saenong sebagaimana juga telah beliau singgung dalam bukunya pada bab Pendahuluan. Beliau bercerita pernah diminta oleh Panglima Operasi Mandala untuk membuat 20 perahu kecil (sejenis sekoci) berukuran 9x2x0,90 meter untuk menunjang operasi Pembebasan Irian Barat. Proyek pembuatan perahu ini melibatkan 20 tukang perahu dan dikoordinir langsung oleh Andi Padulungi (Kepala Distrik/Karaeng Ara). Fakta sejarah ini semakin diperkuat dengan penamaan pantai Ara menjadi pantai Mandala Ria.

Meski kurang sehat, beliau tetap antusias mengisahkan bahwa suatu saat beliau ditemui oleh seorang perwira Operasi Mandala. Perwira ini ditugaskan oleh panglimanya, Mayjend Soeharto agar mencari pembuat perahu yang tidak dapat terdeteksi oleh radar musuh (Belanda).

Perahu ini akan difungsikan sebagai perahu pendarat pasukan. Perahu itu dapat mengangkut 20 prajurit dalam sekali pendaratan. Satu regu TNI ditugaskan mengawasi sekaligus membantu proyek pembuatan perahu dan melaporkan perkembangannya kepada panglima Operasi Mandala. Setelah diselesaikan dalam tempo 19 hari, perahu kemudian diangkut dengan KRI Rajawali ke Irian Barat.

Menolak Penulisan Phinisi

Hal ini dilakukan oleh Bapak Arief Saenong saat diundang menjadi nara sumber dalam sebuah seminar nasional. Ia berkisah bahwa saat itu ada seorang nara sumber yang menulis Pinisi dengan kata Phinisi. 

Beliau yang selama ini telah melakukan riset dan menulis beberapa karya tentang Pinisi spontan menyatakan ketidaksetujuannya. Apalagi saat nara sumber tersebut menjelaskan bahwa penulisan Phinisi adalah agar perahu ini dapat lebih dikenal secara internasional.

Ia menyatakan keberatannya dengan menjelaskan bahwa Pinisi bukan berasal dari bahasa Inggris, tetapi berasal dari bahasa Bugis "panisi" artinya "sisip". Di antara proses pembuatan Pinisi adalah "mappanisi" artinya menyisip atau menyumbat persambungan papan, dinding, dan lantai perahu dengan bahan tertentu agar tidak kemasukan air. 

Beliau bahkan memperagakan proses mappanisi ini dengan media miniatur Pinisi yang ada di ruang tamunya. Ia kemudian menegaskan di forum itu agar tidak melacurkan bahasa daerah apalagi menghilangkan nilai kearifan lokal demi memuaskan publik internasional.

Meski beliau menegaskan bahwa penamaan Pinisi dari kata "panisi" atau "mappanisi" tetapi beliau tetap menerima pendapat yang mengatakan bahwa penamaan Pinisi berasal dari kata "Venecia" sebuah kota pelabuhan di Italia sebagaimana dituliskan oleh Usman Pelly (1975). Buktinya, Bapak Arief Saenong menuliskan pendapat ini dalam bukunya.

Meski beliau masih sangat antusias berkisah tentang sejarah dan cara pembuatan Pinisi, penulis merasa sudah sangat lama menyita waktunya. Apalagi beliau masih kurang sehat dan masih harus rawat jalan hingga ke kota Makassar. 

Penulis cukup terperangah saat diminta mengisi buku tamu. Buku album yang lumayan tebal itu telah penuh dengan sejumlah nama dan tanda tangan. Bukan hanya nama sejumlah wartawan media lokal dan nasional, tetapi tertera pula nama sejumlah perwira terutama TNI AL. 

Penulis sempat bingung saat beliau bertanya tentang profesi. Setelah terdiam beberapa saat, saya menjawab bahwa saya Guru Sejarah. Kelihatannya beliau tidak puas, hingga bertanya kembali tentang media tempat saya menulis. Akhirnya Saya putuskan untuk menjawab bahwa Saya menulis di blog milik Kompas. Beliau terlihat bangga mendengar Saya menyebut nama Kompas.

Bapak Arief Saenong mohon maafkan Saya, karena tidak langsung menuliskan hasil bincang-bincang kita dulu. Saya menunggu momen yang tepat. Pekan ini adalah saat yang tepat karena bertepatan dengan Festival Pinisi yang digelar di Butta Panrita Lopi, Bulukumba Propinsi Sulawesi Selatan.

Semoga di momen ini Kami dapat mengenang sosok dan jasa besarmu dalam membesarkan Pinisi dan melestarikan tradisi kemaritiman di Indonesia.

Kolase Sentra Pembuatan Pinisi di Desa Tanah Lemo, Kec. Bonto Bahari, Bulukumba. Sumber: Dokumen Pribadi
Kolase Sentra Pembuatan Pinisi di Desa Tanah Lemo, Kec. Bonto Bahari, Bulukumba. Sumber: Dokumen Pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun