Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hagia Sophia di Hati Negeri Para Dewa dan Pemuja Sekulerisme

26 Juli 2020   13:07 Diperbarui: 26 Juli 2020   13:42 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Haghia Sophia atau Aya Sofia (Sumber Foto: Kompas.com)

Hagia Sophia dalam Lintasan Sejarah

Hagia Sophia awalnya adalah sebuah Katedral Ortodoks yang dibangun oleh Kaisar Romawi Timur atau Bizantium Justinianus pada 532 M yang berkuasa atas Istanbul atau Konstantinopel saat itu. Pembangunanya tidak lama setelah gereja kedua mengalami keruntuhan. Karena itulah Haghia Sophia juga disebut Gereja Kebijaksanaan Ketiga. Peresmiannya sendiri dilakukan lima tahun setelah pembangunannya dimulai yaitu pada 537 M. Pada 1204, Hagia Sophia dikonversi menjadi Katedral Katolik Roma oleh Tentara Salib Keempat, lalu dikembalikan lagi menjadi Katedral Kristen Ortodoks setelah pembangunan kembali Kekaisaran Bizantium pada 1261.

Hagia Sophia dibeli dan dikonversi menjadi masjid pada 1453 setelah penaklukkan Ottoman di Istanbul di bawah Sultan Mehmed II (Muhammad al-Fatih). Meski demikian, berbagai lambang Kristen seperti lonceng, gambar, dan mosaik yang menggambarkan Yesus, Maria, orang-orang suci Kristen dan malaikat tidak dihilangkan sama sekali melainkan hanya ditutup dengan kain hitam. Penguasa Ottoman kemudian menambahkan berbagai atribut keislaman seperti mihrab, mimbar, dan empat menara.

Hagia Sophia menjadi masjid hingga 1931 saat dinyatakan ditutup oleh Pemerintah Republik Turki di bawah kepemimpinan Mustafa Kemal Ataturk. Empat tahun kemudian, tepatnya 1935 Haghia Sophia kembali dibuka oleh pendiri republik Turki sekuler ini, tetapi dikonversi menjadi museum. Terkait hal ini, Erdogan menggambarkan konversi sebagai museum oleh para pemimpin pendiri republik sebagai kesalahan yang sudah diperbaiki.

Jika mau dirujuk mundur ke masa-masa sebelumnya, sesungguhnya sebelum 2020, telah ada wacana untuk mengembalikan Haghia Sophia sebagai tempat ibadah. Pada 2007, politikus Yunani saat itu, Chris Spirou telah mencanangkan sebuah gerakan internasional untuk memperjuangkan Haghia Sophia  kembali menjadi Gereja Ortodoks Yunani. Setelahnya pada 2013, Perdana Menteri Turki saat itu mengeluarkan seruan agar Haghia Sophia kembali difungsikan sebagai masjid. Lalu pada 2016, tepatnya selama bulan Ramadhan, pemerintah Turki memulihkan beberapa fungsi Haghia Sophia sebagai masjid. Ayat suci al-Quran dibacakan setiap harinya dan disiarkan secara langsung oleh stasiun televise religi Turki. Langkah ini telah menuai protes saat itu dari partai oposisi Yunani.

Menjawab protes itu, Presiden Turki, Erdogan membandingkan peristiwa yang terjadi tidak lama sebelumnya, yaitu serangan yang menargetkan Masjid Al-Aqsha di Yerussalem dan pihak lain hanya diam. Begitu pula jika Haghia Sophia menjadi masjid, seharusnya pihak lain cukup diam.

Protes dan Pesan dari Negeri Para Dewa

Bertepatan dengan pelaksanaan shalat Jumat pertama di Hagia Sohia sejak negara itu menjadi Republik (24/7/2020), lonceng gereja berbunyi di seluruh Yunani. Rakyat Negeri Para Dewa itu bersedih mengetahui ribuan umat Muslim shalat Jumat sampai tumpah ruah ke jalanan. Shalat itu menjadi yang pertama dalam Sembilan dekade di Hagia Sophia, sekaligus menandai momen menjadi masjid. Presiden Turki Tayyip Erdogan bersama menteri-menterinya ikut bergabung dengan kerumunan besar di Hagia Sophia, Istanbul.

Seakan mewakili rakyatnya, dalam sebuah pesan yang menandai peringatan ke-46 Yunani dari pemulihan demokrasi pada Jumat (24/7/2020) Perdana Menteri Yunani Kyriakos Mitsotakis menyebut Turki sebagai pembuat onar. Dia juga menilai konversi Hagia Sophia sebagai "penghinaan terhadap peradaban abad ke-21."

Selain protes yang berasal langsung dari Negeri Para Dewa, keberatan juga disuarakan dari New York. Keuskupan Agung Yunani Ortodoks di kota itu menyebut konversi Hagia Sophia sebagai "penyelewengan budaya dan spiritual dan pelanggaran terhadap semua standar kerukunan beragama dan saling menghormati." Ia juga meminta umatnya untuk satu hari "berkabung dan kesedihan yang nyata."

Uskup Agung Elphidoporos dari Amerika mengadakan pertemuan dengan Presiden AS Donald Trump dan Wakil Presiden Mike Pence di Washington pada Kamis (23/7/2020). Dia ingin membahas keprihatinan atas pembalikan itu, tetapi tidak ada pernyataan dari kedua pemimpin AS itu.  

Kekecewaan Pemuja Sekulerisme

Konversi Hagia Sophia menjadi masjid bukan hanya mendapat protes dari "Negeri Para Dewa", di Turki sendiri kritik dilayangkan oleh beberapa pihak yang memuja sekulerisme Turki. Di antaranya ada Orhan Pamuk, novelis Turki peraih Nobel Sastra. Ia menganggap pembukaan Hagia Sophia menjadi masjid sama dengan kepada seluruh dunia, Turki tidak lagi sekuler. Penulis novel "My Name is Red itu menyatakan bahwa selain dirinya, ada jutaan rakyat Turki yang sekuler yang juga kecewa. Ia menambahkan fungsi Hagia Sophia sebagai musem telah membanggakan rakyat Turki yang sekuler.

Perlu kita ketahui bahwa Turki modern mengadopsi sekulerisme ala Prancis yang keras terhadap ritual dan simbol agama di ruang publik. Jika Orhan Pamuk adalah cerminan secara individu, maka secara kelembagaan mereka diwakili oleh partai oposisi saat ini yaitu Partai Rakyat Republik (CHP). Melalui salah seorang tokohnya, yang sekaligus menjabat wali kota Istanbul, mengatakan bahwa konversi itu hanya bermotif politik.

Menjawab Protes

Sekitar sebulan sebelum penetapan konversi Hagia Sophia mejadi masjid, telah ada persetujuan dari beberapa Uskup Katolik di Turki dan tokoh-tokoh Katolik Roma yang menyatakan dukungan secara tidak langsung terhadap keputusan pemerintah Turki atas status Haghia Sophia. Menurut mereka, Permerintah Turki memiliki kedaulatan untuk menentukan eksistensi dan status Hagia Sophia. Sedangkan Patriarki Armenia mendukung keputusan pemerintah disertai dengan harapan agar selain dialih-fungsikan sebagai masjid, pada bagian tertentu di Hagia Sophia diberikan ruangan untuk tempat beribadah umat Kristen. Hal tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan pesan perdamaian, toleransi, dan hubungan yang lebih erat antara Islam dan Kristen.

Barulah kemudian, pada 10 Juli 2020, Pengadilan tinggi Turki membatalkan keputusan 1943 yang mengubah status Hagia Sophia menjadi museum. Seiring dengan keputusan tersebut, pada tanggal yang sama Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengeluarkan dekrit yang berisi "Hagia Sophia kembali ke fungsinya semula sebagai tempat ibadah umat Islam. Ibadah pertama bisa dilakukan mulai 24 Juli mendatang." Meskipun telah beralih-fungsi sebagai masjid, Haghia Sophia tetap terbuka untuk umum yang ingin berkunjung.

Pernyataan tidak keberatan dari otoritas Katolik Turki dan Roma seakan memberi pesan bahwa sesungguhnya yang paling keberatan dengan konversi ini bukanlah penganut Kristen secara umum, melainkan hanya sedikit dari mereka dari penganut Ortodoks di Negeri Para Dewa yang merasa memiliki keterikatan sejarah dan reliji dengan Hagia Sophia. Apakah sebuah kebetulan jika Mustafa Kemal Ataturk yang mengkonversi Hagia Sophia menjadi museum juga kelahiran Yunani?

Lalu pihak kedua yang juga keberatan dengan keputusan konversi ini adalah kaum sekuler Turki. Tentu ini mudah kita pahami sebab sekulerisme Turki mengadopsi sekulerisme ala Prancis yang keras terhadap simbol-simbol agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun