Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hagia Sophia di Hati Negeri Para Dewa dan Pemuja Sekulerisme

26 Juli 2020   13:07 Diperbarui: 26 Juli 2020   13:42 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Haghia Sophia atau Aya Sofia (Sumber Foto: Kompas.com)

Kekecewaan Pemuja Sekulerisme

Konversi Hagia Sophia menjadi masjid bukan hanya mendapat protes dari "Negeri Para Dewa", di Turki sendiri kritik dilayangkan oleh beberapa pihak yang memuja sekulerisme Turki. Di antaranya ada Orhan Pamuk, novelis Turki peraih Nobel Sastra. Ia menganggap pembukaan Hagia Sophia menjadi masjid sama dengan kepada seluruh dunia, Turki tidak lagi sekuler. Penulis novel "My Name is Red itu menyatakan bahwa selain dirinya, ada jutaan rakyat Turki yang sekuler yang juga kecewa. Ia menambahkan fungsi Hagia Sophia sebagai musem telah membanggakan rakyat Turki yang sekuler.

Perlu kita ketahui bahwa Turki modern mengadopsi sekulerisme ala Prancis yang keras terhadap ritual dan simbol agama di ruang publik. Jika Orhan Pamuk adalah cerminan secara individu, maka secara kelembagaan mereka diwakili oleh partai oposisi saat ini yaitu Partai Rakyat Republik (CHP). Melalui salah seorang tokohnya, yang sekaligus menjabat wali kota Istanbul, mengatakan bahwa konversi itu hanya bermotif politik.

Menjawab Protes

Sekitar sebulan sebelum penetapan konversi Hagia Sophia mejadi masjid, telah ada persetujuan dari beberapa Uskup Katolik di Turki dan tokoh-tokoh Katolik Roma yang menyatakan dukungan secara tidak langsung terhadap keputusan pemerintah Turki atas status Haghia Sophia. Menurut mereka, Permerintah Turki memiliki kedaulatan untuk menentukan eksistensi dan status Hagia Sophia. Sedangkan Patriarki Armenia mendukung keputusan pemerintah disertai dengan harapan agar selain dialih-fungsikan sebagai masjid, pada bagian tertentu di Hagia Sophia diberikan ruangan untuk tempat beribadah umat Kristen. Hal tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan pesan perdamaian, toleransi, dan hubungan yang lebih erat antara Islam dan Kristen.

Barulah kemudian, pada 10 Juli 2020, Pengadilan tinggi Turki membatalkan keputusan 1943 yang mengubah status Hagia Sophia menjadi museum. Seiring dengan keputusan tersebut, pada tanggal yang sama Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengeluarkan dekrit yang berisi "Hagia Sophia kembali ke fungsinya semula sebagai tempat ibadah umat Islam. Ibadah pertama bisa dilakukan mulai 24 Juli mendatang." Meskipun telah beralih-fungsi sebagai masjid, Haghia Sophia tetap terbuka untuk umum yang ingin berkunjung.

Pernyataan tidak keberatan dari otoritas Katolik Turki dan Roma seakan memberi pesan bahwa sesungguhnya yang paling keberatan dengan konversi ini bukanlah penganut Kristen secara umum, melainkan hanya sedikit dari mereka dari penganut Ortodoks di Negeri Para Dewa yang merasa memiliki keterikatan sejarah dan reliji dengan Hagia Sophia. Apakah sebuah kebetulan jika Mustafa Kemal Ataturk yang mengkonversi Hagia Sophia menjadi museum juga kelahiran Yunani?

Lalu pihak kedua yang juga keberatan dengan keputusan konversi ini adalah kaum sekuler Turki. Tentu ini mudah kita pahami sebab sekulerisme Turki mengadopsi sekulerisme ala Prancis yang keras terhadap simbol-simbol agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun