Saat sebagian besar masyarakat Indonesia masih “dihantui” oleh COVID-19 dan dampak ikutannya, sebagian mereka harus membagi perhatiannya. Mereka yang “melek” politik dan pemerintahan merasa terganggu dengan wacana Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Kalimat yang akrab di telinga adalah memeras Pancasila menjadi Tri Sila atau Eka Sila. Luapan kekecewaan terhadap rencana ini sudah sampai kepada unjuk rasa yang tentu saja kontraproduktif dengan protokol kesehatan untuk memutus mata rantai COVID-19. Sebut saja salah satunya aksi ribuan orang di depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta yang menyatakan penolakan terhadap RUU HIP. Walaupun sebenarnya jika kita mau mengamati isi RUU HIP yang telah tersebar melalui dunia maya, kita tidak menemukan satu pun pasal yang menyebutkan secara tekstual bahwa Pancasila digantikan dengan Trisila atau Ekasila.
Dikutip dari Kompas.com (25 Juni 2020) dituliskan bahwa banyak pihak menyoroti adanya konsep Trisila dan Ekasila dalam salah satu pasal pada RUU HIP. Kedua konsep tersebut termaktub dalam Bab II Pasal 7 yang berbunyi:
(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.
(2) Ciri pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.
(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
Lalu bagaimana tinjauan historis terhadap konsep Trisila dan Ekasila?
Membahas konsep dasar negara, kita harus mundur ke tahun 1932. Mengapa tidak mundur ke tanggal 1 Juni 1945, saat Bung Karno membacakan konsep dasar negara? Itu karena Pancasila sebagai dasar negara, menurut sejarawan Anhar Gonggong—mengutip salah satu sesi webinar Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI)—telah dituliskan oleh Bung Karno pada tahun 1932 dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi.
Jadi konsep Pancasila sebagai dasar negara bukan tiba-tiba lahir di benak Bung Karno saat diminta berpidato di sidang BPUPKI. Anggota BPUPKI juga tidak “ujub-ujub” menerima usulan Bung Karno. Itu karena selain konsep dasar negara dari Bung Karno adapula konsep dari dua pakar hukum yakni Mr. Muhammad Yamin dan Mr. Supomo. BPUPKI kemudian bersepakat untuk membentuk Panitia Sembilan yang setelah bersidang hampir sebulan barulah menemukan kesimpulan akhir tentang dasar negara Indonesia Merdeka.
Prof. Anhar menambahkan bahwa saat Bung Karno berpidato beliau berkata bahwa jika Anda tidak suka dengan nama Pancasila, saya bisa memerasnya menjadi Trisila atau Ekasila (Trisila isinya adalah sosio-nasionalisme, sosio-demokratis, dan ke-Tuhanan. Jika Ekasila berisi gotong-royong). Sejarawan Anhar Gonggong kemudian menekankan bahwa saat itu BPUPKI tidak pernah membahas Trisila atau Ekasila yang sempat dilontarkan oleh Bung Karno.
Dua konseptor dasar negara kita yang merupakan pakar hukum yaitu Mr. Muhammad Yamin dan Mr. Supomo juga menawarkan dasar negara yang terdiri dari lima dasar (hanya saja mereka tidak menamakan Pancasila).
Jadi adalah fakta sejarah bahwa Pancasila sebagai dasar negara tidak lahir secara tiba-tiba atau tidak sekadar respon Ir. Sukarno, Mr. Muhammad Yamin dan Mr. Supomo terhadap permintaan BPUPKI. Pancasila sebagai dasar negara adalah cerminan kepribadian bangsa Indonesia. Karena itulah rakyat Indonesia sangat akrab dengan kalimat, “Pancasila sebagai dasar negara merupakan hasil kesepakatan bersama para pendiri bangsa yang kemudian sering disebut sebagai sebuah “Perjanjian Luhur” bangsa Indonesia.
Penguatan ideologi Pancasila secara hukum ketatanegaraan bukan hanya melalui hasil sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 tetapi juga melalui Ketetapan MPR tahun 1960, 1978, 1998, dan 2002. Bahkan sebagai penguatan terhadap sejarah lahirnya Pancasila ini, Presiden Joko Widodo sendiri pada tanggal 1 Juni 2016 telah menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila sekaligus menetapkannya sebagai hari libur nasional yang berlaku mulai tahun 2017.
Jadi, jika kita menelisik kembali RUU HIP maka kita dapat menemukan benang merah bahwa sesungguhnya apa yang tertulis dalam Bab II Pasal 7 yang memuat konsep Trisila dan Ekasila adalah sebuah nostalgia sejarah terhadap rumusan alternatif Bung Karno yang dibacakan saat berpidato di hadapan Sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Hanya perlu diingat dan ditekankan bahwa BPUPKI tidak pernah membahas konsep Trisila dan Ekasila, karena Trisila dan Ekasila versi Bung Karno saat itu hanya merupakan alternatif jika BPUPKI tidak suka dengan Pancasila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H