Pada pkl. 16.30, Sabtu, 8 Februari 2020 mendung mengapung di atas Bukit Rebo, Sungailiat. Hujan ataupun gerimis tipis-tipis adalah keniscayaan untuk malam hari, jika kepekatan menjadi tolok ukur.
Akan tetapi, cuaca tidak perlu dibaca atau diukur dengan tolok-tolokan atau apalah oleh para pengunjung Puri Tri Agung, Jalan Nirwana Pantai Tikus. Sore itu perayaan Cap Go Meh 2571 akan lebih aduhai dinikmati dengan teduh, dan angin pantai yang terus-menerus mengibarkan bendera merah-putih dan umbul-umbul. Â
Perayaan Cap Go Meh akan dimulai pada pkl. 17.00, dan terbuka untuk umum, baik anak-anak maupun kakek-nenek. Sebagian pengunjung memanfaatkan waktu, cuaca, dan suasana dengan berfoto-foto, apalagi bagi mereka yang memang baru satu-dua kali berkunjung.Â
Atau sebaliknya. Anak tangga menuju pelataran puri bisa menjadi tempat alternatif untuk berfoto dengan latar patung Budha dan Puri Tri Agung yang berarsitektur sangat aduhai. Latar Bukit Betung yang hijau dan lansekap sekitar yang banyak tumbuhan hijau semakin menguatkan tampilan pagoda.
Bagi para pengunjung yang tidak mengikuti sembahyang, di pelataran telah menunggu kursi-kursi plastik untuk memangku. Ada yang berada di samping panggung atau sebelah kanan ketika masuk ke pelataran. Ada juga di sebelah kiri.
Para pengunjung bisa melihat dari jarak beberapa meter saja. Sambil menikmati kuliner gratis sejak pkl. 17.30, tentu saja pembauran pemain dan pengunjung tampak aduhai sekali.
Pada pkl. 19.38 ada Kata Sambutan dari Ketua Panitia Cap Go Meh Then Yohanes. Disusul oleh Kata Sambutan dari pemkab. Bangka melalui Wakil Bupati Syafuddin, S.I.P. Kemudian mereka berfoto bersama, termasuk dengan tamu undangan, sembari mengucap tekad yang bulat di atas panggung.
Kalau mau merepotkan diri dengan sabar dan berhitung, kemungkinan jumlahnya lebih dari 1.000 orang pada malam perayaan Cap Go Meh yang bertema "Pemberdayaan Ekonomi Pariwisata di Provinsi Babel" itu. Tentu saja makanan-minuman gratis membetahkan para pengunjung, selain alam (cuaca) yang mendukung sepenuhnya.
Ruang Pandang, Sri Pemandang Atas, 9 Februari 2020
* Catatan :
Perayaan Cap Go Meh ini merupakan penutup dalam serangkaian mudik saya sejak 29 Desember 2019. Acara yang dimulai pada pkl. 17.00 WIB itu tidak terlambat saya hadiri.
Sebenarnya mudik saya hanya  untuk menutup 2019 dan membuka 2020 alias bertahun baru Masehi. Saya tidak memerhatikan kalender Januari 2020 selain berencana pulang bersama istri ke Balikpapan pada 4 Januari 2020.
Pada 2 Januari saya dan istri bertamasya ke Pantai Tongaci, Jalan Laut. Memasuki perkampungan orang Tionghoa itu saya melihat lampion berjejeran di sepanjang jalan dan berakhir di ujung jalan aspal kampung.
Saya diberi tahu oleh istri saya bahwasannya 25 Januari adalah Imlek 2571. Seketika saya berubah rencana. Saya mau mengalami kembali suasana Imlek, bahkan lebih dari sekadar berkunjung ke rumah kawan-kawan, karena biasanya Imlek di Sungailiat dirayakan dengan "suatu acara istimewa" seperti halnya daerah-daerah lain yang dihuni oleh banyak orang Tionghoa semisal Singkawang, Kalbar.
Terlebih ketika kami singgah di sebuah warung makan untuk mengisi perut sekaligus istri saya menggarap tugas laporan pekerjaan, saya pun mengenal orang warung yang juga satu angkatan di SMP Maria Goretti meski berbeda ruangan. Belum lagi di Jalan Laut terdapat lebih dari 10 orang yang pernah menjadi kawan seangkatan dengan saya di SD-SMP.
Meski lahir dan pubertas di Sungailiat, saya belum pernah mengalami "suatu acara istimewa" itu. Meski sejak balita, SD hingga tamat SMP (1987) mayoritas kawan sekolah dan beberapa guru beretnis Tionghoa sekaligus merayakan Imlek (padahal zaman rezim ORBA lho!), saya tidak berpikiran mengenai "suatu yang istimewa". Serta, meski pada 2008 mudik dan sempat mengunjungi rumah kawan-kawan untuk ber-Imlek, saya pun melewatkan "suatu acara istimewa" itu.
Kelihatannya istri saya memang memahami siapa saya dalam hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa kebudayaan, apalagi sebagian hal yang berkaitan dengan Tionghoa di Sungailiat terkadang menjadi bagian obrolan kami di Balikpapan. Belum lagi saya memang memiliki waktu bebas alias tidak terikat dalam suatu kontrak pekerjaan.
Di samping kesukaan mengalami suatu peristiwa budaya, saya juga sering merekamnya dalam bentuk foto dan tulisan. Kali ini adalah Imlek yang sebenarnya merupakan hari raya leluhur istri saya, selain masa lalu saya yang memang biasa bergaul dengan banyak orang Tionghoa di Sungailiat.
Saya pun mendapat izin dari istri jika saya mau menambah waktu mudik. Bahkan, istri saya menambahkan bahwa setelah itu ada perayaan Cap Go Meh. Hal ini berarti masa mudik saya bisa jauh lebih panjang daripada tahun-tahun sebelumnya.
Baiklah. Masa mudik saya cukup sampai Cap Go Meh, dan artikel ini harus segera rampung, foto-foto terpilih sebagai pelengkap, dan tayang sebagai catatan penutup mudik, meskipun daya ponsel saya rontok sebelum akhir acara. Setelah itu, "cabut" alias "go home".
Aduhai nian deh!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H