Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mudik Selera di Kampung Sri Pemandang Atas dan Sekitarnya

21 Januari 2020   22:04 Diperbarui: 21 Januari 2020   23:01 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meskipun sejak empat tahun terakhir rutin mudik, saya belum menuliskan perihal "mudik selera" di kampung halaman saya sendiri. Padahal tempat melabuhkan lidah saya tidaklah perlu dijangkau dengan kendaraan bermotor dan waktu yang lama, apalagi zaman saya belum keluar dari Bangka.

Pembentuk Selera Asal
Sepakat atau tidak, menurut saya, selera atau cita rasa terbentuk sejak masa kanak-kanak. Pada masa kanak-kanak, selera asal dimulai dari dalam rumah, luar rumah (sekitar rumah), dan sekolah.

Suatu suasana di warung Yuk Nina (Dokpri)
Suatu suasana di warung Yuk Nina (Dokpri)
Suatu suasana di warung Kang Cecep (Dokpri)
Suatu suasana di warung Kang Cecep (Dokpri)
Pada zaman old alias belum keluar dari Bangka, terkadang ibu saya membeli jajanan khas di tempat lain, misalnya pantiauw, serabi kuah durian, dan lain-lain. Sadar-tidak sadar, selera atau cita rasa dengan stempel "enak" atau "tidak enak" bisa dimulai dari rumah, dan subyektivitas mula-mula.

Kemudian tempat menikmati jajanan khas Bangka memang dekat di sekitar rumah orangtua saya, Kampung Sri Pemandang Atas. Ketika masih SD, beberapa tetangga memproduksi (home industry) empek-empek, bakwan, rujak su'un (su'un = mi putih), lakso (laksa), kue jungkong, dan seterusnya.

Ada tetangga yang membuka warung jajanan, semisal Nek Jarmi. Warung berkonstruksi kayu sederhana tanpa dinding, dan beratap anyaman daun rumbia itu berada di depan rumahnya yang berjarak puluhan meter saja dari rumah orangtua saya. Menunya berupa empek-empek, bakwan, dan rujak su'un.

Ada juga yang menjualnya sampai melintasi kampung-kampung dengan berjalan kaki saja setelah pulang dari sekolah, semisal Rosidi (Sidi) bin Dullah. Rumahnya bersebelahan dengan Nek Jarmi atau  satu rumah dengan tetangga samping kanan rumah orangtua saya. Kalau terlewatkan atau kehabisan, saya bisa datang ke rumahnya untuk membeli empek-empek yang belum digoreng.

Rosidi (kanan) dan Junardi (kiri)
Rosidi (kanan) dan Junardi (kiri)
Ada pula tetangga yang hanya menunggu orang datang untuk membeli, semisal neneknya Junardi. Jaraknya sekitar enam rumah dari rumah orangtua saya. Saya bisa datang lalu bertanya "apakah ada jual empek-empek". Kalau jawabannya "ada", saya tinggal menunggu empek-empek digoreng sesuai dengan pesanan saya.

Para tetangga yang menjual, semisal empek-empek, pasti menyertakan cukanya (kuahnya). Cukanya "sederhana" dengan bahan bawang putih, cabai, kecap, gula, sedikit garam, sedikit cuka makanan, dan air panas.

Ketika memasuki masa pubertas-remaja, para tetangga itu sudah tidak berproduksi. Yang kemudian muncul sekitar awal 1980-an adalah warung Yuk Nina yang masih sangat sederhana dengan konstruksi kayu bulat, tanpa dinding, dan beratap anyaman daun rumbia.

Selain di sekitar rumah, saya pun jajan di lingkungan dekat sekolah (SD-SMP Maria Goretti) atau selama 9 tahun (masa sekolah). Di situ terdapat jajanan, misalnya engjan (enjan), bujan, bujan saga' (bujan ubi parut), dan lain-lain dengan kuah yang berbahan tauco. Waktu itu kuah tauco belum saya temukan di jajanan sekitar rumah orangtua saya.

SD Maria Goretti Sungailiat (Dokpri)
SD Maria Goretti Sungailiat (Dokpri)
SMP Maria Goretti Sungailiat (Dokpri)
SMP Maria Goretti Sungailiat (Dokpri)
Dulu sekolah saya berada dalam lingkungan etnis Tionghoa. Di lingkungan SD dan SMP, para penjaja jajanan beretnis Tionghoa, dan tauco merupakan cuka/kuah yang selalu mereka sajikan untuk menyempurnakan cita rasa jajanan. Jelas sekali bahwa hal ini turut berpengaruh dalam pembentukan selera asal saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun