Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pelajar STM Tidak Boleh Dipandang dengan Setengah Mata

2 Oktober 2019   04:55 Diperbarui: 2 Oktober 2019   05:04 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Assalamualaikum
STM datang
bawa pasukan

Saya terhenyak ketika menyaksikan viralnya sekelompok pelajar Sekolah Teknik Menengah (STM) di atas sebuah truk dari arah Pancoran menuju Slipi, tepatnya Gedung DPR RI, pada Rabu, 25/9 untuk berunjuk rasa soal RUU KPK, RKUHP, dan RUU lainnya, menyusul mahasiswa yang sudah mulai sejak beberapa hari sebelumnya (Senin, 23/9).

Mereka mengenakan pakaian putih abu-abu, dan cokelat muda (pramuka). Sementara sebagian orang, baik di kendaraan maupu di trotoar, seketika menoleh ke arah mereka karena mereka mengucapkan salam dengan nyanyian.

Keterhenyakan ini terlepas dari dugaan atau terkaan mengenai "siapa-siapa" yang "membekingi" mereka, bahkan masih menjadi pembincangan. Saya sendiri masih menggeleng-geleng alias tidak usai terhenyak (heran).

STM dan SMK
Sebutan "STM" memang berakhir pada 1997 melalui Keputusan Mendikbud RI nomor 036/O/1997 Tentang Perubahan Nomenklatur SMKTA menjadi SMK Serta Organisasi dan Tata Kerja SMK. "Sekolah Menengah Kejuruan", begitu.

Di samping STM menjadi SMK, juga sekolah kejuruan lainya, misalnya Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA), Sekolah Menengah Industri dan Kerajinan (SMIK), Sekolah Menengah Musik (SMM), Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR), dan lain-lain.

Dalam ingatan saya yang membatu ini, STM tetaplah STM. Soalnya, Ayah saya adalah mantan guru STM di Sungailiat, Bangka. Mengajar bidang Teknik Mesin di sana sejak 1950 sampai sebelum 1990.

Selain Ayah yang guru STM, sejak saya balita di rumah kami dulu selalu ada pelajar STM. Paman (adik bungsu Ibu), kakak-kakak angkat, kawan-kawan kakak angkat, dan lebih sepuluh tetangga kami juga berpendidikan STM.

STM ketika itu, baik 1950-an sampai 1970-an memang masih menjadi sekolah penting, karena lulusannya bisa langsung diterima di perusahaan timah, baik milik negara maupun swasta. Kakak-kakak angkat saya juga begitu.

Mantan gubernur Babel periode 2007-2012 (tidak selesai karena meninggal dunia) yang juga "lawan"-nya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, atau bupati Kab. Bangka selama dua periode, juga mantan murid Teknik Mesin STM Sungailiat. Ya, Eko Maulana Ali.

Sayangnya, kemudian STM Sungailiat yang masuk sore dan bersatu gedung dengan SMP Persiapan dulu itu akhirnya tutup. Penyebabnya, kekurangan murid. Penyebabnya lagi, tidak lagi dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan timah karena harga timah dunia anjlok.

Apakah dulu STM di Sungailiat juga sering tawuran?

Ah, saya sama sekali tidak pernah mendengar apalagi menyaksikannya. Jangankan STM, sekolah lainnya pun tidak pernah terlibat tawuran antarsekolah. Situasi selalu damai di sana.

Pelajar STM Memang Pemberani
Sebelum pindah ke Bangka (1950), tentu saja, Ayah bersekolah di STM lalu melanjutkan ke Sekolah Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Atas (PGSLA) di Malang. Sekadar bersekolah alias menuntut ilmu, ya?

Ketika masih berstatus "Pelajar", Ayah sudah menjadi anggota Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) atau Tentara Pelajar, dan bergabung di Bataliyon 5000 Detasemen I wilayah Jawa Timur, bahkan dipercaya sebagai pemegang senapan mesin.

Tidak sekadar anggota, tetapi juga terlibat langsung dalam pertempuran sengit melawan Belanda pada 1947, serta melakukan misi khusus ke Surabaya pada 1948/1949. Kisah ini pernah saya tulis dalam artikel "Slamet Sudharto, Pahlawan Tidak Minta Dikenal" (Rabrik Humaniora, 10 November 2018).

Di Malang pun, tepatnya Jalan Raya Ijen, terdapat Monumen PahlawanTRIP yang diresmikan oleh Presiden Soekarno pada 1959. Di salah satu patungnya tertulis "Kupersembahkan Jiwa Ragaku Untuk Kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1945."

Dengan ingatan yang membatu mengenai STM dan latar keluarga, saya tidak pernah menyangsikan keberanian pelajar STM, bahkan sekalipun berubah nama menjadi SMK. Sejarah Republik tercinta sudah sejak awal membuktikan itu, 'kan?

Memang, kemunculan sekelompok pelajar dengan menyebut "STM" dan "bawa pasukan" sempat membuat saya terhenyak. Akan tetapi, mau-tidak mau, seketika ingatan saya mepompat ke masa silam lagi.

Ya, pelajar STM memang pemberani, termasuk dalam hal beradu fisik. Tidak usah repot ditanyakan soal RUU KPK atau RKUHP, lha wong zaman perjuangan dengan taruhan nyawa saja tidak seorang pun yang repot apalgi nekat bertanya, "Kalian paham apa itu Politik Etika (Ethische Politiek), kolonialisme-imperialisme, Agresi Militer, Taktik Perang, Strategi Bertempur, gerilya, dan seterusnya?"

*******
Kupang, 2 Oktober 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun