Jujur saja, saya memang pernah menjadi jomlowan selama lebih 1 tahun. Risiko saya yang begini modelnya.
Saya tidak sedang "membela" atau "sok akrab" pada jomlowan-jomlowati. Saya hanya jujur pada diri saya sendiri. Soal obyek penderita olokan, tentu saja, saya mengalaminya, terutama ketika saya masih berstatus jomlo-perantau di sebuah indekos ibu kota selama 3 tahunan.
Bahkan, ada kawan yang mengusulkan saya membuat desain sebuah panti jomlo yang berfasilitas lengkap-moderen, dan saya sendiri menjadi penghuni pertamanya. Aduhai!
Lantas, apakah saya merasa tidak nyaman ketika diolok-olok oleh kawan-kawan di indekosan?
Terus terang, saya sama sekali tidak merasa terganggu atau pura-pura terganggu. Mungkin sebagian jomlowati menduga, karena saya laki-laki maka saya tidak peduli pada olok-olokan semacam itu. Mungkin, ya?
Mengolok-olok Sang Pencipta
Satu hal yang saya pernah tahu dari obrolan orang-orang sekitar saya di kampung halaman (Bangka-Belitung), bahwa lahir, rezeki, jodoh, dan mati merupakan kekuasaan Ilahi. Sepakat, nggak?
Dalam kaitan dengan jomlo, jodoh merupakan bagian yang menjadi wewenang Sang Pencipta Yang Maha Kuasa. Eh, wewenangnya penghulu dan petugas catatan sipil, ya?
Begini. Ada yang memilih hidup sebagai jomlo alias sendiri karena pilihan hidup untuk melayani keluarga dan sesama secara penuh-utuh, semisal biarawan-biarawati.
Ada orang yang memilih hidup sendiri demi keleluasaan menjaga dan mengabdi pada kedua orangtua  pada saat anggota keluarga pindah jauh entah di mana, dan tidak tega memisahkan orangtuanya ke panti jompo.
Apa pun pilihan seseorang hidup sendiri sebagai jomlo, tentu saja, harus dilihat lebih manusiawi. Tidaklah patut jika sekilas lantas menghakimi jomlowan-jomlowati dengan olok-olokan.
Selain itu, mengenai memilih menikah dini ataupun nanti, bagi saya, bukanlah karena niat, apalagi "akibat", tetapi semata-mata karena kehendak Sang Pencipta. Tidak ada kehendak yang lebih baik dari sebuah pernikahan, selain karena memang kehendak-Nya, 'kan?