Meskipun sebagian orang menganggap bahwa manusia menjadi siapa disebabkan pula oleh apa dan siapa, saya keluar dari anggapan mereka. Saya menganggap setiap manusia adalah manusia saja.
Pada suatu kesempatan saya pernah diajak atasan saya untuk menjamu oknum petinggi daerah. Dengan mata-kepala saya sendiri saya menyaksikan suatu perbuatan yang kontradiktif antara petinggi daerah dan pemuja nafsu pada sosok si oknum. Seketika runtuhlah kesan "kasta" saya terhadap pejabat dan penikmat syahwat.Â
Cukuplah pada batas "manusia". Manusia dengan segala sisi kemanusiaannya, baik kelebihan maupun kekurangannya.
Saya tidak perlu rumit lagi dengan menduga-duga atau mencurigai siapa-siapa melalui aneka anggapan dalam prasangka-penyeragaman-diskriminasi sekaligus pembenarannya secara apalah. Apa adanya, beres.
Meskipun anggapan saya tergolong keliru, ya, tidak apa-apalah. Toh, saya hanya manusia biasa dan bukan siapa-siapa, sehingga kekeliruan tidak pernah luput dari anggapan saya.
Oleh karena itulah saya tidak selesai memahami tentang pertengkaran atau persengketaan terkait dengan SARA, terlebih dalam lingkup berbangsa-bernegara pasca-Proklamasi 17 Agustus 1945.Â
Mungkin karena saya tidak memiliki harga diri maka saya pun kehilangan pemahaman mengenai harga diri saya sendiri, apalagi berpakaian SARA.
Ya, saya tidak bisa lagi menjadikan "harga diri" sebagai tameng untuk melindungi gengsi, tinggi hati, keangkuhan, kecongkakan, kepongahan, kesombongan hidup saya. Saya sudah bukan siapa-siapa. Saya sudah kosong, maka seringkali nyaring bunyinya. Ahai!
*******
Kupang, 5 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H