Pada tahun selanjutnya, di mana posisi saya meningkat sebagai "kakak kelas" sekaligus aktif dalam kegiatan sekolah, saya sama sekali tidak bisa merasakan bahwa saya termasuk "senior" dan adik kelas adalah "junior". Semua berlalu begitu saja.
Pada tahun seterusnya saya kuliah dan aktif dalam kegiatan mahasiswa. Sama sekali tidak terbayang di benak saya bahwa saya adalah junior atau kemudian senior. "Kakak senior" dan "adik junior." Aduhai, apalah.
Di samping itu saya pun sering mudik ke kampung leluhur saya, bahkan suasana dusun sangat terasa, minimal belum berlistrik. "Pakde, Bude, Paklik, Bulik..." Biasa saja. Bergaul dengan kawan-kawan di sana merupakan keseharian saya yang alamiah hingga saya sering lupa pada kampung halaman saya.
Dalam dunia kerja, dengan jabatan ini-itu, saya hanya menjalankan sebuah tanggung jawab sebagaimana posisi saya dalam struktur organisasi perusahaan. Bergaul dengan kalangan elite perusahaan dan kalangan buruh bangunan merupakan hal yang alamiah (natural) bagi saya.
Selama bekerja saya pun berpindah-pindah daerah, bahkan sampai tulisan ini saya buat. Bergaul dan bekerja sama dengan beragam orang, baik lokal, interlokal, dan internasional.
Sisi profesionalisme membantu saya dalam polemik "harga diri", termasuk "harga diri almamater". Entahlah jika "harga diri" telah berubah menjadi "bonafid" bagi sebuah perusahaan, dan "reputasi" bagi beberapa personal di jajaran tertentu.
Paling Unggul
Saya sudah terbiasa mengalami hal yang bisa saja dianggap oleh sebagian orang sebagai suatu perbuatan yang "mengusik" harga diri jika berkaitan dengan SARA. Cukup dengan "mengusik", saya pikir, Pembaca bisa membayangkannya.
Di kampung halaman saya sekeluarga termasuk umat minoritas, meskipun keluarga besar-leluhur kami termasuk dalam umat mayoritas. Pergaulan kanak-kanak pada masa itu tidak terlepas dari "usikan" perihal agama.Â
Akan tetapi, entah mengapa, saya menganggap semua itu bukanlah sesuatu yang berharga hingga menjadi "harga diri".
Karena kemudian keluar dari kampung halaman, bahkan hingga kini berada jauh di seberang, saya bergaul dengan siapa pun dari latar SARA berbeda. Dasar sudah takdir, jodoh saya merupakan percampuran suku dan ras, bahkan negara.
Di lain kesempatan, polemik "antargolongan", semisal almamater, bukanlah hal yang langka. Saya pernah menyaksikan perkelahian antarpelajar dari sekolah yang berbeda hingga beberapa tembok tertera nama sebuah sekolah seakan "penanda" suatu wilayah "kekuasaan". Aduhai! Â