Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebuah Upaya Mengelola Sumber Daya Manusia (III-Tamat)

9 Agustus 2019   23:54 Diperbarui: 10 Agustus 2019   00:26 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Abang kontraktor, ya? Abang pemborong, ya?"
"Bukan. Saya..."
"Mengapa tidak membuka usaha kontraktor bangunan saja, Bang?"

Saya sering dikira bekerja sebagai kontraktor atau pemborong pembangunan. Tentu saja orang-orang yang mengira itu bukanlah rekan-rekan di IRGSC, karena rekan-rekan sudah mengetahui bahwa keberadaan saya di ibu kota NTT selalu berkaitan dengan pembangunan atau perbaikan bangunan yang dipesan oleh Elcid.

Ketiadaberdayaan Diri
Meski karier saya pernah sampai pada tingkat strategis di sebuah badan usaha jasa konstruksi swasta, saya merasa diri saya tidak memiliki nyali, naluri (insting), jiwa atau talenta seorang pengusaha di bidang itu. Dengan selalu mempertimbangkan ini-itu hingga berujung pada keraguan, bahkan kekhawatiran untuk berspekulasi atau mengambil langkah revolusioner. Ciyeee, revolusioner!

Dalam pertimbangan saya, membuka usaha jasa konstruksi bukanlah sekadar pekerjaan mewujudkan sebuah bangunan alias benda mati, melainkan pula kemampuan untuk mengelola sumber dana-anggaran, sumber daya manusia (SDM), waktu, dan hubungan dengan banyak pihak, baik terkait maupun terprospek.

Soal sumber dana-anggaran, terus terang, saya tidak memiliki modal, khususnya finansial. Saya tidak berani meminjam uang melalui bank dengan jaminan ini-itu, karena saya selalu khawatir pada sebuah kegagalan, terutama kegagalan besar. Kalau gagal, saya bisa dikejar penagih utang, 'kan?

Saya merasa tidak nyaman apabila saban hari ditagih utang. Kalau "terpaksa" harus menggantikan nomor ponsel, oh, bagaimana dengan komunikasi dengan keluarga atau kawan lama saya?

Saya tercipta bukan karena tipuan. Maksud saya, saya bukanlah diciptakan untuk menjadi penipu. Maka, daripada "bermasalah" dalam hal keuangan dengan pihak lain, saya memilih untuk tidak berdaya secara finansial (modal).

Soal waktu, tentu saja, bukanlah jam maupun kalender. Waktu yang saya maksud berkaitan dengan masa pekerjaan dalam kesepakatan. Cepat-lambat suatu pencapaian hasil (progress) tergantung dari kapasitas pekerja, ketersediaan bahan bangunan, dan keuangan saya.

Dan seterusnya hingga saya tidak berani berspekulasi. Saya tidak berani "mencuri" melalui spesifikasi material dan harganya. Saya tidak berani "menggantung" upah pekerja hanya gara-gara pihak pemberi pekerjaan, semisal pengembang (developer), mengalami masalah finansial sehingga tagihan (invoice) saya molor sekian minggu. Saya tidak berani "menyogok" oknum terkait.

Ah, pokoknya tidak berdaya gitu deh.

Menghidupi Orang Lain
Saya belajar mengenai "menghidupi" para pekerja bangunan ketika bekerja di sebuah kontraktor pembangunan di Jakarta. Kontraktor itu--sebut saja "Apa Sih"--yang dimiliki sekaligus dipimpin oleh "Orang Muda" sering mendapat pekerjaan dari perusahaan pengembang (developer) swasta berkelas elite.

"Orang Muda" memulai karier di pelaksanaan pembangunan ketika masih duduk di bangku kuliah Jurusan Teknik Sipil, dan ikut perusahaan jasa konstruksi milik pamannya. Dia sudah mengenal para kepala tukang atau mandor pada masa itu. Ada juga yang masih bekerja sebagai pembantu (helper).

Suatu waktu pamannya meninggal dunia. Tak pelak, perusahaan itu pun "goyah", bahkan akhirnya "tamat riwayat".

"Orang Muda" dan para pekerjanya sempat kebingungan menyangkut perihal kelanjutan usaha mereka. Lalu "Orang Muda" itu membuat perusahaan sendiri, dan mengajak para pekerjanya bergabung.     

Sekian tahun berlalu dengan usaha kecil-kecilan berupa renovasi sampai seorang pembantu (helper) bisa naik kelas ke jajaran kepala tukang, bahkan mandor. Loyalitas dengan jaminan mendapat projek (ujungnya: profit) menjadi komitmen penting dalam kerja sama, Mereka pun naik kelas bersama dengan projek-projek berkelas elite.

Meskipun status perusahaannya sudah "berkelas", si "Orang Muda" rajin mencari projek, bahkan tidak menolak jika ada pesanan pekerjaan berskala kecil, semisal renovasi. Alasannya cuma satu, yaitu untuk "menghidupi" sebagian pekerjanya, karena persaingan dan perebutan sumber daya manusia (SDM) sangat sengit di Ibu Kota.

Ya, dalam realitas dunia kerja bangunan, dinamika solidaritas, loyalitas, komitmen, kebersamaan, saling pengertian, dan seterusnya bisa terjalin dengan baik melalui simbiose mutualisme berujung profit (keuntungan finansial). Mereka sudah melakukan semua itu selama lebih lima tahun.

Tempat Tinggal Sementara untuk Para Pekerja
Selain mengupayakan adanya pekerjaan (projek), "Orang Muda" itu pun menyediakan tempat tinggal sementara beserta fasilitas hiburan bersama (televisi), karena para pekerja berasal dari luar Jakarta. Tempat tinggal sementara itu adalah sebuah ruang dalam lingkungan kantornya.

Para pekerja yang tinggal di situ ialah sopir (driver), pekerja harian (helper) yang mendampingi sopir, mandor, dan anak buah mandor (man power). Dengan mobil khusus projek, mereka pergi-pulang bersama-sama.

Suatu waktu "Orang Muda" mendapat pekerjaan (projek) di luar Jakarta. Mau-tidak mau ia harus menyiapkan tempat tinggal sementara di sana untuk para pekerja. Sekian rupiah telah disiapkan untuk menyewa beberapa kamar atau malah rumah.

Karena jumlah objek yang banyak, tentu saja, berbanding lurus dengan jumlah pekerja. Tempat tinggal sementara pun ditambah, yaitu di samping direksi keet lokasi. Ya, anggap saja barak, di samping direksi keet yang memang anggarannya tercantum dalam Billing of Quantities (BQ).

"Orang Muda" membelikan bahan-bahan untuk itu, agar para pekerjanya terfasilitasi dalam keseharian selama di lokasi projek. Kalau soal makan-minum, semua itu tanggung jawab para pekerjanya sendiri.

Semua sudah diperhitungkan (dikalkulasikan) oleh "Orang Muda", karena dunia kerja yang benar-benar murni pada keuntungan (profit), baik keuntungan dalam waktu dekat maupun prospeknya. Naluri spekulatifnya memang sudah terbentuk sejak terjun langsung dalam projek-projek yang dikerjakan oleh pamannya.

Ada Persamaan di Samping Perbedaan yang Jelas
Hal-hal di atas pun saya sampaikan pada ELcid. Dengan begitu, paling tidak, saya berharap bahwa Elcid bisa memahami sedikit mengenai kehidupan sebagian pelaku projek pembangunan.

"Sama dengan aku dengan IRGSC," katanya.

Kantor IRGSC juga semacam markas bagi banyak komunitas di Kupang. Saya sudah menyaksikan secara langsung bahwa kantor IRGSC terbuka selama 24 jam.

Kantor ini tidak melulu berurusan dengan penelitian, mengolah data, dan sekitarnya, melainkan diskusi, pembentukan loyalitas-solidaritas, dan seterusnya dalam taraf pembelajaran secara nyata. Tidak perlu heran jika kantor ini dipakai oleh banyak organisasi non-pemerintah dalam aneka kegiatan, misalnya diskusi, seminar, pelatihan (workshop), bedah buku, tawaran beasiswa luar negeri, dan lain-lain.

Di kantor ini juga tersedia dapur, beras, gula, garam, bumbu dapur, air minum, dan sekitarnya. Kalau soal tidur, sih, bebas-bebas saja, asalkan tidak manja dengan kasur busa, selimut, dan bantal-guling.  

Akan tetapi, ya, perbedaannya dengan dunia kerja pembangunan hanya pada orientasi. IRGSC tidak mendidik kaum muda dengan doktrin "orientasi profit" melalui projek-projek penelitian.  

Saya kira artikel sepele ini cukup sampai di sini. Terima kasih atas perhatian Sidang Pembaca.

*******
Kupang, 9 Agustus 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun