"Abang kontraktor, ya? Abang pemborong, ya?"
"Bukan. Saya..."
"Mengapa tidak membuka usaha kontraktor bangunan saja, Bang?"
Saya sering dikira bekerja sebagai kontraktor atau pemborong pembangunan. Tentu saja orang-orang yang mengira itu bukanlah rekan-rekan di IRGSC, karena rekan-rekan sudah mengetahui bahwa keberadaan saya di ibu kota NTT selalu berkaitan dengan pembangunan atau perbaikan bangunan yang dipesan oleh Elcid.
Ketiadaberdayaan Diri
Meski karier saya pernah sampai pada tingkat strategis di sebuah badan usaha jasa konstruksi swasta, saya merasa diri saya tidak memiliki nyali, naluri (insting), jiwa atau talenta seorang pengusaha di bidang itu. Dengan selalu mempertimbangkan ini-itu hingga berujung pada keraguan, bahkan kekhawatiran untuk berspekulasi atau mengambil langkah revolusioner. Ciyeee, revolusioner!
Dalam pertimbangan saya, membuka usaha jasa konstruksi bukanlah sekadar pekerjaan mewujudkan sebuah bangunan alias benda mati, melainkan pula kemampuan untuk mengelola sumber dana-anggaran, sumber daya manusia (SDM), waktu, dan hubungan dengan banyak pihak, baik terkait maupun terprospek.
Soal sumber dana-anggaran, terus terang, saya tidak memiliki modal, khususnya finansial. Saya tidak berani meminjam uang melalui bank dengan jaminan ini-itu, karena saya selalu khawatir pada sebuah kegagalan, terutama kegagalan besar. Kalau gagal, saya bisa dikejar penagih utang, 'kan?
Saya merasa tidak nyaman apabila saban hari ditagih utang. Kalau "terpaksa" harus menggantikan nomor ponsel, oh, bagaimana dengan komunikasi dengan keluarga atau kawan lama saya?
Saya tercipta bukan karena tipuan. Maksud saya, saya bukanlah diciptakan untuk menjadi penipu. Maka, daripada "bermasalah" dalam hal keuangan dengan pihak lain, saya memilih untuk tidak berdaya secara finansial (modal).
Soal waktu, tentu saja, bukanlah jam maupun kalender. Waktu yang saya maksud berkaitan dengan masa pekerjaan dalam kesepakatan. Cepat-lambat suatu pencapaian hasil (progress) tergantung dari kapasitas pekerja, ketersediaan bahan bangunan, dan keuangan saya.
Dan seterusnya hingga saya tidak berani berspekulasi. Saya tidak berani "mencuri" melalui spesifikasi material dan harganya. Saya tidak berani "menggantung" upah pekerja hanya gara-gara pihak pemberi pekerjaan, semisal pengembang (developer), mengalami masalah finansial sehingga tagihan (invoice) saya molor sekian minggu. Saya tidak berani "menyogok" oknum terkait.
Ah, pokoknya tidak berdaya gitu deh.
Menghidupi Orang Lain
Saya belajar mengenai "menghidupi" para pekerja bangunan ketika bekerja di sebuah kontraktor pembangunan di Jakarta. Kontraktor itu--sebut saja "Apa Sih"--yang dimiliki sekaligus dipimpin oleh "Orang Muda" sering mendapat pekerjaan dari perusahaan pengembang (developer) swasta berkelas elite.