Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Sebuah Siasat pada Suatu Kesempatan Berdurasi Sembilan Jam

11 Mei 2019   11:30 Diperbarui: 11 Mei 2019   12:28 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Empat setengah bulan hanyalah sekejap. Balikpapan serasa sebuah mimpi belaka ketika saya sudah berada di Kupang, NTT lagi pada 8 Mei 2019 sekitar pkl. 21.00 WITA.

Aduhai, Gaes! Mirip sebagian lirik lagu keroncong "Tinggi Gunung Seribu Janji" ciptaan Ismail Marzuki pada 1946, dan dipopulerkan lagi oleh Bob Tutupoly pada akhir 1960-an. S'ribu tahun tak lama / Hanya sekejap saja / Kita 'kan berjumpa pula.

Sebelum Berangkat
Saya mundurkan waktunya sejenak, Gaes. Mohon sabar, ya?

Kalau ingatan tidak keliru, sekitar 1 Mei saya ditelepon oleh kawan saya, Elcid Li. Pembicaraan via seluler itu berkaitan dengan kesiapan saya untuk kembali ke Kupang, khususnya hari/tanggal, karena tiket akan dipesan.

Semula 7 Mei. Baiklah. Saya sepakati saja, bahkan mau 9, 10 ataupun 11 saya siap berangkat. Toh, masa liburan di rumah sendiri (Balikpapan) sudah terlalu lama sejak saya pulang pada 18 Desember 2018. Toh, koper saya masih berada di Kupang sebagai "jaminan" bahwa saya pasti kembali pada saatnya.

Namun pada 3 Mei saya ditelepon lagi. Katanya, harga tiket masih mahal. Ya, soal mahalnya tiket penerbangan juga saya ketahui melalui berita-berita mutakhir, bahkan pejabat pemerintahan terkait saja tidak sanggup berbuat apa-apa.  

"Berangkatnya 8 Mei," katanya. "Segera kirim salinan KTP-mu."

Sip! Saya segera melakukan apa yang harus saya lakukan. Saatnya menyelesaikan apa yang harus saya selesaikan. Masa liburan tidak perlu diperpanjang lagi karena sudah terlalu panjang. Masak, sih, waktu berlibur sampai empat setengah bulan, Gaes?

Empat setengah bulan memang tidak terasa. Sekejap saja. Ya, itu bisa terjadi karena saya mengisi waktu luang dengan kegiatan yang menyenangkan. Menanam batang mawar, bertumbuh, dan berbunga pada bulan kedua. Ini merupakan pengalaman pertama seumur hidup saya.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Di samping itu, bertaman mini di sudut rumah dengan menata tanaman paria/periak/pare, dan labu. Sebuah pohon pepaya terpaksa saya tebang karena terlalu besar (diameternya sampai 30 cm).

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Selain itu, menyiapkan dan menerbitkan buku perdana karya Alfiansyah berupa novel. Mendampingi Alfiansyah dalam acara gelar wicara (talk show) tentang buku novelnya, yaitu Setiap Malam adalah Sepi, di sebuah stasiun televisi lokal. 

Menyiapkan naskah calon buku-buku saya sendiri, termasuk dengan ilustrasinya. Mengunjungi Budayawan Zulhamdani yang sedang menderita sakit yang komplikatif. Membersihkan beberapa bagian kebun, khususnya sekitar rumah mungil keluarga kami.

Mengunjungi Budayawan Balikpapan, Zulhamdani A. S. (Dok. Alfiansyah)
Mengunjungi Budayawan Balikpapan, Zulhamdani A. S. (Dok. Alfiansyah)
Mengunjungi Budayawan Balikpapan, Zulhamdani A. S. (Dok. Alfiansyah)
Mengunjungi Budayawan Balikpapan, Zulhamdani A. S. (Dok. Alfiansyah)

Ya, rumah permanen berukuran 40 meter pesergi yang sudah berpintu teralis sejak awal Januari itu dikerumuni semak belukar karena jarang saya datangi. Sebagian kisah mengenai kegiatan membersihkan kebun memang pernah saya tuliskan dengan judul "Berkeringat" (1 Mei 2015).

Pada 28 April lalu saya pun berkeringat lagi secara beruntun di kebun seluas hampir 2.000 meter persegi itu. Pada saat bersamaan saya harus mengamati cuaca yang masih saja terjadi hujan sehingga tidaklah mudah dan cepat untuk memusnahkan (membakar) hasil tebasan saya.

Membersihkan Kebun, 29/4/2019 (Dok.Pribadi)
Membersihkan Kebun, 29/4/2019 (Dok.Pribadi)

Membersihkan Kebun, 7/5/2019 (Dok. Pribadi)
Membersihkan Kebun, 7/5/2019 (Dok. Pribadi)

Saya memang seorang diri saja dalam pembersihan sebagian lahan kebun. Setiap hari saya pergi ke sana. Dampaknya adalah badan selalu lelah, tidur sebelum tengah malam, dan bangun selalu pagi dengan pikiran segar.

Kondisi fisik itu saya maksudkan pula sebagai persiapan sebelum menunaikan pekerjaan yang "mangkrak" di Kupang. Pekerjaan di Kupang benar-benar bakal menguras tenaga karena saya harus berada di lokasi, baik sebagai arsitek, supervisor pembangunan, logistik, dan entah apa lagi. Di samping itu posisi lokasi yang tidak terlalu dekat dengan "penginapan" saya.

Wajar saja ketika tiket sudah siap untuk penerbangan pada 8 Mei pkl. 09.20 WITA, dan sekitar pkl. 06.30 WITA saya tidak repot bangun, dan bersiap pergi ke bandara Sepinggan. Penanda waktu dalam sistem syaraf saya sudah terkondisi dengan baik.  

Oh iya, jangan sampai terlewatkan. Masa liburan itu pun berdekatan dengan perhelatan akbar nasional bernama Pemilu 2019. Sebagai warga negara Indonesia, saya ingin sekali terlibat langsung dalam pencoblosan. Sayangnya, keinginan itu "terpaksa" batal karena nama saya tidak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), bahkan sejak 2014.

Apa? Sejak 2014?

Ah, sudahlah, jika keberadaan saya tidak dianggap oleh KPU, khususnya KPUD Kota Balikpapan.  Toh, dalam Pasal 531 Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 sudah tertulis aturannya, yaitu "Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan dan atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan ketentraman pelaksanaan pemungutan suara atau menggagalkan pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00."

"Setiap orang yang dengan sengaja... menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih..." begitu, Gaes. Namun "siapakah yang menghalangi" alias "meng-Golput-kan" saya? Anggap saja "setan gundul" -- pinjam istilah Andi Arief (6/5/2019).

Bukan Lion Air Lagi
Seperti biasa, tiket penerbangan untuk pergi-pulang saya ditanggung oleh kawan. Saya menyerahkan kapan (hari/jam) keberangkatan sepenuhnya padanya. Mau pagi, siang, sore, atau pukul berapa pun, saya terima, Gaes. Lha wong ongkos tiket ditanggung, kok malah banyak permintaan, sih?

Pasca-"Cinta Kita Berakhir dalam Bagasi, Lion Air" (9 Januari 2019), saya tidak lagi menggunakan jasa penerbangan Lion Air. Hal ini pun sesuai dengan keinginan kawan saya, meskipun sebelum-sebelumnya saya berani "mempermainkan" nyawa sendiri.

"Pokoknya, jangan Lion, 'kan?"

Begitu pertanyaan sekaligus penegasan kawan saya ketika tiket keberangkatan akan dipesannya. Lalu dipesankannya tiket maskapai penerbangan Citilink dan Garuda Indonesia Airways, dan dikirimkanlah hasilnya melalui internet. Beres, 'kan, Gaes?

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Citilink dan Garuda 
Jujur saja, Gaes, baru kali ini saya menggunakan maskapai penerbangan Citilink. Kalau Lion Air, Sriwijaya Air, Adam Air, Bali Air, Batavia Air, Jatayu, Mandala, Bouraq, Sempati, Merpati, dan Garuda, sudah pernah saya rasakan. 

Ya, meskipun saya orang kampung pelosok Pulau Bangka, kampungan, dan berekonomi lemah begini, sejak Kelas 1 SD saya sudah merasakan nikmatnya naik pesawat terbang. Waktu itu saya dan keluarga mudik ke rumah mbah di Jawa pada liburan akhir Desember.

Keberangkatan dari Pangkalpinang ke Kemayoran (sebelum Cengkareng/Soekarno-Hatta) Jakarta kami menggunakan maskapai Garuda Airways dengan pesawat buatan Fokker Belanda--mungkin F-28, dan masih bergaris merah pada deretan jendelanya. 

Dan ketika pulang, kami menggunakan maskapai penerbangan Sempati yang berbaling-baling satu di kedua sayapnya.

Terakhir, pada 2014, sewaktu saya mendampingi bapaknya kawan saya ke Pulau Sumba dengan pesawat milik Garuda yang menggunakan baling-baling di kedua sayapnya. Saya sempat heran, kok berbaling-baling. Pasalnya, sejak Kelas 1 SD, dalam pikiran saya adalah semua pesawat Garuda bermesin jet.

Transit di Bandara Juanda, Surabaya
Penerbangan Balikpapan-Kupang memang masih harus melakukan transit. Saya tidak pernah bosan untuk kembali ke bandara intersional di Jawa Timur itu sebagai tempat transit sebelum sampai ke bandara El Tari.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Dari Balikpapan ke Surabaya saya menggunakan maskapai penerbangan Citilink QG431 pada pkl. 09.20 WITA. Tiba di Surabaya pada pkl. 09.55 WIB. Hanya 35 menit, ya? Ah, itu cuma persoalan wilayah waktu (WITA dan WIB) yang berbeda 1 jam, Gaes.

Apakah setelah tiba di bandara Juanda saya langsung melanjutkan penerbangan dengan Garuda? Oh, tentu saja tidak secepat itu, Gaes.

Waktu Tunggu Selama Sembilan Jam
Dalam tiket elektronik saya, penerbangan dengan maskapai Garuda GA448 berlaku pada pkl. 18.20 WIB. Hal ini berarti bahwa saya berada di bandara Juanda selama sekitar sembilan jam.

Apa? Sembilan jam seorang diri berada di bandara?

Santai saja, Gaes. Sebelum berangkat pun istri saya sempat mengingatkan bahwa waktu tunggu di Surabaya adalah sembilan jam. "Santai saja. Yang penting, bawa bekal. Makanan di bandara mahal-mahal," sahut saya.

Kenyataan (realitas) hidup sepatutnya perlu untuk disadari dan disyukuri. Saya menyadari bahwasannya saya tidak memiliki uang untuk membeli tiket alias ongkos penerbangan. Saya pun bersyukur bahwasannya ongkos perjalanan ditanggung sepenuhnya oleh kawan saya.

Bagaimana, Gaes? Mudah saja, 'kan? Paling mudah lagi adalah saya membawa bekal berupa nasi goreng yang dibuatkan oleh istri saya (kami tidak berpuasa)!

Menyiasati Kesempatan
Mengenai "waktu tunggu" semacam itu juga pernah saya singgung dalam artikel "Cinta Kita Berakhir dalam Bagasi, Lion Air". Dan, jangankan orang lain, lha wong istri saya saja masih heran, kok saya suka menikmati waktu tunggu yang lama asalkan perhitungan keuangan saya sudah termasuk ekonomis alias irit.

Sebenarnya, kalau saya mau lebih mudah "menyita" waktu, caranya adalah dengan membuat status di media sosial agar beberapa kawan di Surabaya bisa mengajak saya keluar sebentar untuk menikmati sebagian Kota Surabaya atau singgah ke rumah mereka. Hanya saja, saya tidak suka merepotkan orang lain. Cukup saya sendiri yang melakukan kerepotan untuk diri saya sendiri dalam waktu yang lumayan panjang itu.

Oh, maaf, Gaes, alangkah tidak elok saya sebutkan sebagai "kerepotan". Yang elok, ya, "menyiasati kesempatan" dengan belajar pada realitas. Maklum sajalah, saya memang suka belajar pada realitas di sekitar saya asalkan tidak memboroskan keuangan saya. Aduhai!

Terminal Kedatangan dan Terminal Keberangkatan
Kedatangan saya di bandara ini, biasanya, tidak dilanjutkan dengan berpindah terminal. Maksud saya, penerbangan Balikpapan-Surabaya dan Surabaya-Kupang atau bolak-balik selalu menggunakan maskapai penerbangan yang sama sehingga antara terminal kedatangan dan keberangkatan tetaplah berada di lokasi yang sama.

Terminal yang selalu didaratkan oleh penerbangan yang saya gunakan adalah Terminal 1 atau, kali ini, 1A. Di situ pula saya bisa mencari tempat untuk minum kopi dengan harga "terjangkau" (Rp5.000 per gelas plastik) yang dijual oleh seorang ibu. Tentu saja tempatnya bukan di antara lapak-lapak bernama "kafe" atau "kedai kopi" yang tersedia di dalam bangunan terminal.

Karena suasana Ramadan, saya tidak berhasil menemukan ibu itu. Lidah saya sudah "mengidam" kopi, dan kopi "kelas bawah" yang sesuai dengan kemampuan kantong saya. Saya tidak mau "memaksakan" kantong saya untuk mengikuti "kehendak" lidah dengan cara duduk di salah satu kafe atau kedai kopi yang menyajikan kopi "kelas menengah-atas".

Saya sempat kebingungan, Gaes, meski tidak ada gerutuan atau kekecewaan mengenai "nasib" saya kali ini. Saya memeriksa tiket lagi. Dalam tiket penerbangan ke Kupang tercantum "Terminal 2". Kemudian, sekitar pkl. 10.30 WIB, saya menanyakan perihal "Terminal 2" pada seorang petugas di sekitar situ.

Mobil Khusus ke Terminal 2
Terminal 2 berada di luar Terminal 1, Gaes. Jarak keduanya pun relatif jauh. Saya harus menggunakan angkutan khusus ke Terminal 2.

"Naik mobil itu untuk ke Terminal 2," ujar petugas tadi sambil menunjuk ke sebuah mobil dengan rupa tertentu. "Gratis kok."

Ya! "Gratis kok" itu yang sangat cepat sampai di benak saya, dan sangat menyenangkan, Gaes. Saya pikir, memang sudah semestinya begitu karena bagian dari pelayanan (service) pihak pengelola bandara. Meski "sudah semestinya", toh, frasa "gratis kok" tetaplah sangat menyenangkan bagi saya, selain sebuah pengalaman baru.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Tentu saja "sebuah pengalaman baru" karena tidak setiap minggu atau bulan saya pergi ke bandara Juanda. Jangankan Juanda, bandara Sepinggan saja jarang sekali saya kunjungi, apalagi tidak seluas Juanda.

Perjalanan ke Terminal 2
Dalam mobil khusus bernama "Shuttle Bus" yang bagus dan berisi tiga penumpang saja walaupun tersedia untuk sepuluh penumpang itu, saya menikmati "sebuah pengalaman baru". Maklumlah, Gaes, orang udik macam saya ini memang menyukai hal-hal baru, terlebih "gratis kok".

Pengalaman baru mengenai transportasi darat lingkup bandara. Juga pengalaman baru mengenai lingkungan fisik yang tertata serta kehidupan alamnya di sepanjang perjalanan, misalnya jalan, parit, rawa, pepohonan, burung, biawak, dan lain-lain.

Tidak ketinggalan  pemandangan beberapa petak persawahan yang melambungkan pikiran saya pada kenangan ketika tinggal hampir satu tahun di rumah mbah saya yang masih berdinding anyaman bambu (gedhek) dan dikelilingi area persawahan yang luas. Di kampung halaman (Sungailiat) dan tempat tinggal sekarang (Balikpapan) tidak terdapat area persawahan.

Juga, dulu, di dekat indekos saya atau kanan-kiri Jalan Babarsari awal era 1990-an terdapat persawahan. Ah, terlalu romantis-melankolis saya ini!

Perjalanan dengan waktu lebih lima menit dan pemandangan yang aduhai itu berakhir di Terminal 2. Suhu lebih teduh daripada Terminal 1, dan terlihat beberapa pesawat sedang parkir, termasuk yang berlogo "Air Asia".

Smoking Area
Di Terminal 1 saya pernah menikmati kopi "kelas bawah" yang dijual oleh seorang ibu-ibu secara "rahasia", yaitu di "area merokok" (Smoking Area) yang berada di area perhentian mobil pengantar, termasuk Damri. 

Namun, karena bulan puasa, saya tidak bisa menikmati kopi itu lagi. Hanya asap kendaraan yang sedang menunggu penumpang-lah yang begitu terasa!

Sementara di Terminal 2, suasana berbeda. "Area Merokok" berada di teras bangunan dengan logo sebuah produsen rokok Indonesia. Tidak ada campuran dengan asap kendaraan seperti di Terminal 1. Di situ pun terdapat sebuah televisi berlayar flat.

Saya duduk di sekitar tempat itu dengan sebuah harapan yang berkaitan dengan kopi "kelas bawah" sambil menikmati suasana baru dalam kurun waktu sekian jam. Kalau sewaktu-waktu lapar mengetuk perut, saya bisa segera masuk ke ruang khusus itu untuk makan dari bekal saya. Toh, belumlah pkl. 11.00 WIB, apalagi urusan check in atau boarding time.

Menurut saya, tempat paling memungkinkan untuk makan pada masa awal bulan puasa ini, ya, di dalam ruang khusus itu. Meski berdinding kaca, penambahan semacam stiker sebagai penghalang pandangan bisa memberi keleluasaan tersendiri sehingga tidak perlu khawatir dituduh "makan secara demonstratif" -- pinjam cuplikan imbauan Wali Kota Malang, Sutiaji dalam Surat Pengumuman Nomor 4 Tahun 2019 tentang Menyambut dan Menghormati Bulan Suci Ramadhan 1440 H/2019 M (30 April 2019)

Berkomunikasi secara Langsung dengan Beberapa Orang
Gaes, kalau sudah berada di sebuah tempat umum dengan waktu tunggu yang memadai, naluri udik saya bisa mendadak muncul. Apa lagi kalau bukan berkomunikasi secara verbal alias ngobrol dengan orang di dekat saya?

Saya tidak pernah sungkan mengajak orang di dekat saya untuk ngobrol, Gaes. Prinsip saya, masih sesama orang Indonesia, dan doyan nasi, ya, tidaklah sulit untuk berkomunikasi. Selama tidak direcoki oleh gawai (gadget), komunikasi secara dua arah pasti lancar dan aduhai.

Lantas mulailah saya mengajak orang di dekat saya untuk ngobrol. Apakah dia sopir taksi yang sedang menunggu calon penumpang; apakah dia profesional muda yang sedang transit juga; apakah dia pengusaha yang baru pulang dari suatu kepentingan apa di luar negeri; apakah dia tentara dengan pangkat cukup bagus; apakah dia petugas kebersihan bandara; apakah dia... 

Saya hanya mengikuti naluri udik saya di "daerah baru" untuk bersosialisasi, Gaes. Tentu saja semua itu dilandasi oleh kesadaran sebagai manusia, dan kebersyukuran atas kesempatan berdekatan dengan sesama manusia. Sederhana, 'kan, Gaes? 

Dan, ketika satu-dua orang menanyakan perihal tujuan penerbangan saya, saya tidak malu mengatakan bahwa tiket saya dibayar oleh kawan saya di Kupang untuk membantunya dalam perbaikan sebuah bangunan rumah tinggal. Senyampang penampilan saya memang kampungan, Gaes!

Selain itu, saya sempat kaget ketika ditelepon oleh ibu saya dari Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka. Saya kira ada kabar yang bagaimana. Ternyata ibu hanya hendak membicarakan perihal rencana Presiden Jokowi yang akan memindahkan Ibu Kota ke luar Jawa.

"Mudah-mudahan Kalimantan Timur," ujar ibu. "Kalau Ibu Kota Indonesia di sana, enak bisa dekat, ya?"

"Mending Kalimantan Tengah, Bu," kata saya. "Soalnya, sudah sejak 1957 direncanakan Presiden Soekarno. Ada sejarahnya."

Dalam benak saya, ya, alangkah baiknya di Kalteng saja. Kalau di Kaltim, meskipun dekat tetapi, toh, tidak mungkin saya terlibat dalam proyek besar-nasional itu. Kalaupun kelak istana negara berada di Kaltim, toh, saya tidak akan pernah diundang presiden dalam acara makan-makan. Lha wong saya bukan siapa-siapa, Gaes.

Warung Kalangan Sopir Taksi
Tanpa menyeruput secangkir kopi, kok, rasanya ada yang kurang, ya, Gaes? Bayangkan saja, sejak masih di rumah, saya belum menyeruput secangkir kopi hitam.

"Mas, kalau mau minum kopi murah, di sana ada warung kopi," kata seorang sopir taksi bernama Aji yang berasal dari Banyuwangi. Dia juga mengarahkan tangannya ke tempat parkir taksi yang berdekatan dengan tempat parkir motor.

"Di mana?" tanya saya sambil mengikuti arah yang ditunjuknya.

"Mas lihat ada taksi-taksi biru sedang parkir, 'kan?"

"Iya."

"Di dekat itu ada warung tongkrongan sopir taksi, Mas. Harganya harga sopir, Mas. Murah-meriah. Ada gorengan juga."

"Wuaduh, terima kasih banget, Mas."

Seketika di benak saya muncul secangkir kopi yang masih mengepulkan asapnya. Betapa bahagianya saya dipertemukan dengan orang baik semacam Mas Aji ini.

Apakah saya langsung beranjak? Oh, tidak, Gaes.

Saya bisa mendadak bahagia, tetapi secangkir kopi tidaklah seistimewa ketika masih ngobrol dengan orang lain. Saya memilih untuk tetap ngobrol dengan Mas Aji. 

Bahkan Mas Aji juga menyarankan saya untuk beristirahat dengan mencari bangku kosong di sekitar kami karena, mungkin, mata saya masih menampilkan rona merah dan waktu masih cukup untuk sekadar bermimpi indah.

Obrolan kami berakhir ketika dia beranjak untuk menyambut calon penumpang yang baru keluar dari pintu kedatangan. Bagi saya, inilah kesempatan saya ikut beranjak, dan menuju warung kalangan sopir taksi.

Saya pun pergi ke sana. Tidak terlalu sulit untuk menemukannya itu satu-satunya warung di situ. Saya melihat beberapa orang sedang nongkrong. Namun, sayangnya, ternyata tutup, Gaes! Mungkin karena sekarang bulan puasa.

Kamera Hampir Hilang dan Orang Jujur
Sekembali dari warung "tongkrongan para sopir taksi", saya kebingungan. Mondar-mandir di ruang tunggu bagian luar Terminal 2 hingga saya putuskan untuk duduk lagi sambil menonton televisi. Toh, waktu untuk check in masih tersisa sekitar dua jam.

"Mas," tegur seorang petugas kebersihan bandara  (berpakaian "dinas" berupa kaus oblong merah dengan hitam pada bagian lengan) seraya menyodorkan sebuah benda, "ini punya Mas. Tadi terjatuh di sana."  

Oh, kamera andalan saya dalam bungkusnya!

"Ya, terima kasih, Mas," balas saya sambil menerima kamera saya.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Gaes, kamera itu merupakan salah satu alat kerja saya, apalagi saya bekerja secara mandiri. Dan, bagi saya, kamera itu sangat mahal harganya, yaitu Rp800.000,00 pada 2011. 

Ternyata, masih ada orang jujur di dunia ini, Gaes! Oh, alangkah bersyukurnya saya!

Membuat Sketsa
Memang, selama sekian jam itu tidaklah saya biarkan berlalu dalam obrolan, baik secara langsung dengan orang-orang di sekitar maupun melalui telepon dengan istri, kawan, bahkan ibu saya. Saya masih menyempatkan diri untuk membuat sesuatu. Apa itu?

Saya membuat sketsa, Gaes. Sketsa yang sesuka-suka saya karena tujuan saya hanyalah berlatih sekadarnya. Dan, memang, sejak dari Balikpapan saya sudah menyiapkan sebuah buku khusus.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Nah, demikianlah kisah nyata saya dalam upaya menyiasati kesempatan selama menunggu penerbangan berikutnya, Gaes. Semoga kesadaran dan kebersyukuran senantiasa sudi menyambangi saya dan Gaes semua.

*******
Kupang, 9-10 Mei 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun