Dalam benak saya, ya, alangkah baiknya di Kalteng saja. Kalau di Kaltim, meskipun dekat tetapi, toh, tidak mungkin saya terlibat dalam proyek besar-nasional itu. Kalaupun kelak istana negara berada di Kaltim, toh, saya tidak akan pernah diundang presiden dalam acara makan-makan. Lha wong saya bukan siapa-siapa, Gaes.
Warung Kalangan Sopir Taksi
Tanpa menyeruput secangkir kopi, kok, rasanya ada yang kurang, ya, Gaes? Bayangkan saja, sejak masih di rumah, saya belum menyeruput secangkir kopi hitam.
"Mas, kalau mau minum kopi murah, di sana ada warung kopi," kata seorang sopir taksi bernama Aji yang berasal dari Banyuwangi. Dia juga mengarahkan tangannya ke tempat parkir taksi yang berdekatan dengan tempat parkir motor.
"Di mana?" tanya saya sambil mengikuti arah yang ditunjuknya.
"Mas lihat ada taksi-taksi biru sedang parkir, 'kan?"
"Iya."
"Di dekat itu ada warung tongkrongan sopir taksi, Mas. Harganya harga sopir, Mas. Murah-meriah. Ada gorengan juga."
"Wuaduh, terima kasih banget, Mas."
Seketika di benak saya muncul secangkir kopi yang masih mengepulkan asapnya. Betapa bahagianya saya dipertemukan dengan orang baik semacam Mas Aji ini.
Apakah saya langsung beranjak? Oh, tidak, Gaes.
Saya bisa mendadak bahagia, tetapi secangkir kopi tidaklah seistimewa ketika masih ngobrol dengan orang lain. Saya memilih untuk tetap ngobrol dengan Mas Aji.Â