Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Roh Kekerasan yang Merasuki Jiwa-jiwa selama Berabad-abad

17 Maret 2019   23:31 Diperbarui: 18 Maret 2019   16:59 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alam yang semula untuk dikelola agar menjadi pendampingan keberlangsungan hidup manusia, justru kemudian "dimanfaatkan" untuk menutupi "ketelanjangan" (rasa malu) manusia itu sendiri. Entah berapa lembar daun yang mereka petik, bahkan untuk waktu lebih dari satu hari, tetapi--tentu saja--ada getah yang keluar dari pangkal daun.

Setelah itu keduanya mengenakan pakaian berbahan kulit binatang yang diberikan oleh Yahwe (Kej. 3:21). Tidak disebutkan nama binatangnya. Yang jelas, bukan kecebong (berudu) ataupun kampret (kelelawar; codot).

Saya pun melamun mengenai pakaian dari kulit binatang itu. Apakah cuma satu stel ataukah sekian stel untuk bisa diganti pada hari lainnya selama keduanya hidup? Tidak disebutkan juga berapa jumlahnya.

Akan tetapi, menurut lamunan saya, keduanya menjadikan pakaian itu sebagai contoh untuk membuat pakaian berikutnya. Kalau awalnya binatang A, mungkin kemudian binatang B, C, D, dan seterusnya. Yang penting, bisa sesuai dengan badan, nyaman, dan berfungsi sebagaimana pakaian. Belum ada jasa penjahitan ataupun permak, apalagi istilah "tren busana". Beres, ya?

Saya merasa belum beres. Untuk menjadikan kulit binatang sebagai pakaian, tidaklah serta-merta seekor binatang menyerahkan kulitnya semacam ular. Artinya, ada pertumpahan darah binatang. Bisa saja binatang untuk korban (kurban) persembahan.

Apakah sudah ada "korban" begitu?

Sebentar. Mengenai darah binatang ini, jelas, merupakan hal kedua setelah getah pangkal daun pohon ara. Artinya, ada "kekerasan" terhadap alam. Itu menurut lamunan saya lho.  

Kekerasan atas Nama Agama
Nah, berikutnya "korban". Kisah dua anak Adam-Hawa, yaitu Kain dan Habel, merupakan kisah yang terkait dengan kata "korban" atau persembahan kepada Tuhan.

Apa, sih, inti persoalannya?

Intinya adalah persembahan kepada Yahwe. Pada Kej. 4:3-4, Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada Yahwe sebagai korban persembahan. Habel mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing-dombanya, yakni lemak-lemaknya.

Berapa kali kakak-adik ini melakukan persembahan kepada Yahwe? Apakah cukup satu kali? Tentu saja lebih dari satu kali, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun