Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Puisi dan Doa dalam Pusaran Politik Praktis

24 Februari 2019   11:28 Diperbarui: 24 Februari 2019   13:57 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebenarnya, di samping "memerdekakan" penyair dari "penjajahan" puisi lama yang beraturan ketat, misalnya jumlah baris dalam bait dan rima, penyair yang tidak tamat SMP (dulu MULO) ini justru mengajarkan tentang puisi yang berisi doa atau berpolitik praktis. Puisi "Doa" diciptakan "si Binatang Jalang" ketika berusia 21 tahun, dan puisi "Persetujuan dengan Bung Karno" ketika berusia 26 tahun.

Bagaimana dengan puisi "Munajat" yang diciptakan oleh Neno ketika berusia hampir 55 tahun, berpendidikan tinggi dengan gelar sarjana bidang Sastra Prancis, bukan behomian, dan lain-lain? Apakah Neno tidak pernah membaca buku kumpulan puisi Chairil, "Aku Ini binatang Jalang"?

Meskipun melalui pembacaan di panggung Munajat 212 Neno sudah menyatakan "puisi 'Munajat' ini" alias sebuah puisi, tidaklah mustahil sebagian pembaca atau pemirsa aksi panggungnya masih saja menyangka bahkan meyakininya sebagai sebuah doa. Contoh melalui dua puisi Chairil pun belum tentu bisa dipahami oleh sebagian orang, apalagi bukan pengamat sastra yang serius, sebagai pembeda antara puisi berisi doa dan puisi berpolitik praktis (pamflet).

Lantas, karena situasi politik tengah panas dan ekstrem, puisi pun bisa diterjunkan ke panggung politik, terlebih oleh dua sarjana bidang Sastra meski berbeda "negara" (Prancis dan Rusia). Beberapa pengamat dan praktisi sastra pun urun pendapat.

"Masalah hari ini situasi yang jadi semakin banyak dan noise, kita butuh ruang untuk berkontemplatif untuk jalan yang lebih sejuk. Seharusnya dunia puisi menjadi jalan keluar dari yang penuh ujaran kebencian dan caci maki," kata Agus Noor kepada Detik.Com, Kamis (7/2/2019).

Di samping penemu "Selingkuh Itu Indah", ada Maman Suherman. "Unsur seninya hilang, bukan lagi seperti puisi tapi lebih kayak parodi atau karya pamflet. Atau saya menyebutnya pernyataan sarkas yang 'puitis' atau 'dipuitiskan'," ujar penulis sekaligus pegiat literasi kepada Detik.Com.

Ya, begitulah. Sudah muncul kerancuan antara puisi dan doa gara-gara terjerumus dalam kebisingan politik praktis, ada juga orang yang "menculik" unsur seni pada sebuah puisi. Kepentingan politik praktis yang sesaat ternyata bisa "membelokkan" alias "menyesatkan" puisi dari arah semestinya.  

*******
Balikpapan, 23/02/2019 

Baca juga :
Apakah Neno Warisman sedang "Mengancam" Tuhan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun