Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Puisi dan Doa dalam Pusaran Politik Praktis

24 Februari 2019   11:28 Diperbarui: 24 Februari 2019   13:57 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Selain "Doa" yang sangat relijius, individualis, dan seterusnya, "si Binatang Jalang" pun menciptakan puisi bernuansa politik. Salah satu puisi politiknya adalah "Persetujuan dengan Bung Karno" (1948).

Persetujuan dengan Bung Karno

Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang 
Atas apimu, digarami oleh lautmu 

Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

1948

Barangkali dua contoh puisi karya pelopor Angkatan Sastrawan 45 di atas bisa memberi gambaran mengenai puisi berisi doa dan puisi berpolitik praktis. Puisi tetaplah puisi, walaupun berisi doa, bahkan judulnya "Doa". Juga, meskipun dikenal dan dikenang sebagai seniman-penyair yang bohemian, Chairil memiliki perhatian terhadap perjuangan bangsa, dan tanpa kecenderungan untuk memihak kelompok politik tertentu.

"Penyair yang tidak pernah secara tersurat menyatakan keterlibatannya pada kegiatan politik pihak tertentu, yang pernah menulis larik-larik sajak yang menyatakan bahwa sejak Proklamasi ia 'melangkah ke depan berada rapat di sisi' Bung Karno dan merasa ia dan Bung Karno 'satu zat satu urat' itu, pada akhir paruh pertama tahun 1960-an menjadi taruhan pelbagai pihak dalam kegiatan politik praktis," tulis Sapardi Djoko Damono (hlm.103) dalam buku Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang (cet.XI, 2002).

Ya, sekitar Mei 1965 atau setelah 16 tahun wafat, terjadi pengganyangan atas puisi-puisi Chairil Anwar. Pengganyangan dilakukan oleh sebuah lembaga kebudayaan bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang merupakan organisasi milik sebuah partai, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Hanya Kritikus H. B. Jassin yang benar-benar bisa dan berani membela karya-karya Chairil dari pengganyangan sayap PKI.

"H.B. Jassin yang bertindak sebagai kritikus yang cermat berhasil menampilkan karya-karya Chairil Anwar," tulis Andre Harjana dalam buku Kritik Sastra, Sebuah Pengantar (hlm. 38, cet.III, 1991). Andre pun menuliskan, pengertian tentang sastra dan pengetahuannya tentang arah sejarah sastra Indonesia dibuat kabur oleh kritikus partai yang tidak menghiraukan prinsip-prinsip sastra dan mau membelokkan arah perkembangan sastra Indonesia.

Antara Chairil dan Neno dalam Pusaran Politik Praktis 
Kalau puisi sebagai doa, Chairil menciptakannya tidak perlu panjang tetapi maknanya sangat dalam. Demikian pula kalau puisi bertujuan untuk politik praktis, Chairil tidak bertele-tele, apalagi "menyeret" Tuhan untuk "berpihak" dalam pusaran politik praktis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun