Ya, jelas dong, relawan juga manusia. Imbuhannya saja "-wan". Bukan akronim dari "relasi hewan", 'kan?
Relawan, sukarelawan, atau kerennya "valounteer" (valountir), memang bukanlah istilah baru, apalagi hanya dalam rangka politik bernama Pilkada atau Pilpres. Ada relawan bencana, relawan lingkungan hidup, relawan kesehatan, relawan kemanusiaan, relawan literasi, dan lain sebagainya, yang saya tidak ketahui semuanya.
Saya sendiri tidak berani mengklaim, apakah saya sudah atau belum pernah menjadi relawan. Mungkin tidak perlu karena tidak resmi alias tanpa akta tertentu sebagai parameter legalitasnya.
Hanya saja seorang kawan saya, sebut saja namanya Demun, pernah menjadi relawan untuk suatu bencana  alam yang dahsyat di luar pulau. Sekilas saya kagum atas mendengar kabar dia berangkat ke daerah yang tengah dibantai bencana.
Sepulang Demun dari "tugas" selama lebih satu minggu, saya pun menjumpainya. Dari obrolan kami, Demun mengaku bahwa dia menjadi relawan karena bayaran sekian juta rupiah, dan tidak sudi mengangkat mayat-mayat yang bergelimpangan.
"Yang penting," akunya, "semua biaya ditanggung, dan dibayar berjuta-juta. Urusan mayat, biar mereka yang mau mengangkatnya."
Seorang kawan lainnya, sebut saja namanya Sarwan. Sarwan juga pernah menjadi relawan lingkungan hidup. Kata "pernah" berarti sekarang Sarwan sudah tidak lagi menjadi relawan. Lho, mengapa?
"Ternyata selama ini kepentingannya tidak sesuai dengan apa yang kubayangkan," aku Sarwan. "Kelompok yang kuikuti itu berkolaborasi dengan pihak luar negeri, dan permainan mereka tidak terlepas dari hal materialisme."
Kisah Sarwan mengingatkan saya pada kisah dalam novel Maria Tsabat karya Herlinatiens (2012). Herlinatiens ini jelas nama sebenarnya. Meski novel adalah fiksi, tetapi sebagian sumbernya pasti fakta. Dan fakta itu menyangkut kisah penulisnya sendiri ketika menjadi relawan, dan sedikit tentang bagaimana "relawan ditunggangi kepentingan".
"Mereka mengkorup kualitas program pada kelompok pendampingan. Memanipulasi data yang ada kepada lembaga donor, contoh sederhananya tentu jumlah dampingan yang mereka miliki dan jumlah relawan dalam turun ke lapangan untuk pendampingan," tulisnya (hal. 164).
Seorang lainnya lagi, sebut saja namanya Odang. Odang  "pernah" menjadi relawan sebuah tim sukses untuk sebuah kontestasi pilkada. Ia seorang relawan yang bekerja keras siang-malam, bahkan mengeluarkan dana sendiri. Alhasil, dukungannya menang.
Saya bertemu dengannya dalam sebuah acara. Saya tertarik untuk mendengar kisahnya lebih dalam karena saya kira Odang ikut mengambil "bagiannya". Ternyata Odang sama sekali tidak mendapat apa-apa, baik materi maupun suatu posisi penting. Bahkan, terlihat, ia sangat menyesali langkahnya sebagai relawan.
Jadi, ya, itulah. Relawan juga manusia. Setiap manusia memiliki niat-kehendak masing-masing untuk menjadi relawan, apalagi kelompoknya. Soal niat-kehendak yang semacam apa, terserah sajalah. Akan tetapi, dalam hal politik praktis-pragmatis, sudah pasti, selalu menuntut imbalan. Salah satunya adalah kursi menteri, jika terkait Pilpres. Salah dua-tiga-empat, silakan cari sendiri. Biasanya mudah mencari "salah", 'kan?
Jangankan relawan urusan duniawi begini, lha wong "relawan" agama saja masih menuntut "imbalan". Kalau "materi" menjadi tabu untuk diidentikkan secara sederhana dengan istilah "berkat" atau "rezeki", paling tidak, menuntut imbalan "surga", bahkan segala yang nikmat di "surga". Aduhai! Â Â Â
*******
Balikpapan, 13 Februari 2019 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H