Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Seberapa Rendah Mutu Proyek Infrastruktur "Pelat Merah"?

10 Januari 2019   02:10 Diperbarui: 10 Januari 2019   15:49 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Pexels/PhotoMIX Ltd)

Nah ini, berita tentang rendahnya mutu infrastruktur di Indonesia, dan tidak terencana dengan matang. Beritanya bersumber dari laporan Bank Dunia yang berjudul Infrastructure Sector Assessment Program (InfraSAP).

Soal beredarnya "bocoran" yang juga terkait nama "BD" tersebut, tentu saja, di luar hiruk-pikuk hoaks tentang 7 kontainer baru-baru ini. Pasalnya, laporan BD berkaitan dengan proyek "pelat merah" sekaligus tidak disanggah oleh Menteri Keuangan RI Sri Mulyani.

"Saya rasa masukan baik saja karena itu juga sudah dibahas dengan pemerintah. Menteri-menteri terkait waktu itu dari PU dari Perhubungan, BUMN, Bappenas. 

Kita juga membahas kita juga melihat skema KPBU instrumen yang digunakan," kata Sri Mulyani di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Jakarta, Senin (7/1/2019).

Memang, sih, saya tidak pernah terlibat dalam proyek-proyek infrastruktur (prasarana), semisal jalan raya, karena bidang dan tempat saya bekerja dulu hanya berkaitan dengan sarana (struktur atau bangunan). Biasanya, yang berkaitan dengan infrastruktur ialah Teknik Sipil Jurusan Transportasi, dan Hidrologi.

Ilustrasi (Dokpri)
Ilustrasi (Dokpri)
Yang mendadak tersangkut dalam pikiran saya adalah penilaian (bermutu rendah), dan instansi-instansi yang disebutkan oleh Sri Mulyani. Seketika membuka ingatan saya mengenai proyek sarana (bangunan) ber-"pelat merah".

Begini. Saya pernah terlibat dalam segelintir proyek sarana ber-"pelat merah", khususnya bangunan, bahkan ada yang belum sampai 3 tahun terakhir. Sebagian sudah saya tuliskan dalam artikel "Aroma Korupsi di Sekitar Meja Gambar" (4/11/2018).

Artikel kali ini masih berkaitan dengan sebagian pengalaman saya selama bertahun-tahun bahkan jauh sebelum era rezim Jokowi. 

Di sebagian daerah belum ada perubahan ke arah yang lebih baik, sejak prosesnya baru pada tahap menjelang pelelangan, baik proyek perencanaan maupun dalam pelaksanaan pembangunan.

"Permainan konspiratif" sering terjadi dalam pengaturan untuk pemenang lelang. Ya, tidak berbeda jauh dengan pengaturan skor (match fixing) dalam kehebohan sepakbola belum lama ini.

Tentu saja, "permainan konspiratif" tidak pernah terlepas dari kaitannya alias junjungannya : uang. Terserah apa saja istilah kerennya, semisal "commitment fee" (CF), tetap saja korupsi, dan masuk ranah pidana. Apakah CF memang diatur dalam sebuah aturan yang jelas-tegas-tertulis?

Biasanya, seingat saya, besarnya CF berkisar antara 30-40 persen dari total harga/anggaran suatu proyek, baik perencanaan maupun pelaksanaan. Kalau totalnya Rp1 M, ya, "lepaslah" Rp300-400 juta. 

Tidak perlu "disesali" karena tidak satu pun "pemain" yang "menyesal". Toh, bisa mendapat proyek berikutnya. Pokoknya, semuanya bisa diatur, dan pasti hepi-hepi.

"Lepas"-nya sekian rupiah pun tidaklah dalam waktu satu kali, dan dalam bentuk uang utuh. Waktunya bisa berjarak atau bertahap. Terkadang terkait masa menjelang lelang, dan masa penagihan (termijn, invoice) berdasarkan volume pekerjaan yang telah disepakati.  Bentuknya, selain uang tunai, bisa juga berupa tiket suatu perjalanan, dll., yang sering diistilahkan sebagai "entertaint" (hiburan).

Semua "permainan" bisa diatur. Biasanya, transaksi" paling "sibuk" terjadi menjelang hari raya. Saya tidak heran jika mendapati berita terkait Operasi Tangkap Tikus, eh, Tangan (OTT) yang berhasil mengoranyekan sebagian oknum setiap menjelang hari raya.

Dampak dari "permainan" itu, jelas, seperti yang dilaporkan oleh BD. Rendahnya mutu dan tidak terencana dengan matang. Mungkin perlu sebagian saya uraikan lagi.

Tidak terencana dengan matang, bagi saya, bukanlah hal yang aneh. Namun ini pengalaman saya lho. Bisa jadi berbeda dengan pengalaman banyak orang ketika menggarap proyek sarana ber-"pelat merah".

Saya lanjutkan mengenai "tidak terencana dengan matang". Kalau jadwal dalam surat kontrak kerja (SK) tertera Januari-Juni, pelaksanaan pekerjaan bisa terjadi pada Februari, bahkan Maret. Belum lagi urusan pengesahan (approval) untuk beberapa hal dalam tahap perencanaan-perancangan, misalnya.

Molor dalam masa pekerjaan bisa berdampak pada kualitas pekerjaan karena waktu yang bisa menjadi "tersita" bahkan sempit (mepet). 

Kalau waktunya tidak tertib, khususnya dari pihak pemberi pekerjaan (dinas terkait) dalam urusan pengesahan, tidak ayal berdampak kurang optimal dalam pelaksanaan (perencanaan-perancangan). "Kerja diburu-buru," gerutu sebagian konsultan. 

Dampak berikutnya, sudah biasa, adalah dalam pelaksanaan pembangunan. Kalau berkaitan dengan gambar kerja (bestek), ya, sebagian gambar detailnya seringkali tidak sesuai dengan standard, semisal bagian yang tidak tergambar. 

Belum tentu pihak konsultan mau memberikan gambar susulan ataupun perubahan gambar (revisi) kepada kontraktor pelaksana. "Konsultan apaan ini," gerutu sebagian kontraktor pelaksana.

Di pihak pengawas pelaksanaan pembangunan, semisal saya dulu, persoalan waktu dan dampak kualitas produknya sangat "mengganggu". Total bobot pekerjaan (deviasi) minus (-) pada waktu tertentu, padahal memang waktu memulai pekerjaan yang melampaui batas kesepakatan (SK) gara-gara, ah, cari sendirilah alasannya. 

Selain itu serta yang mungkin lupa saya tuliskan, persoalan koordinasi di lokasi (lapangan) sering tidak relevan. 

Ketika saya menjadi pengawas pada sebuah proyek "pelat merah", di lokasi tidak terdapat tenaga-tenaga lapangan, misalnya pelaksana (supervisor) dan manajer lokasi (site manager), padahal tertera dalam dokumen administrasi dan struktur organisasi. Kalaupun ada pelaksana, biasanya, tidak selalu berada di lokasi.

Ketiadaan dua tenaga itu pasti sangat mengganggu sistem koordinasi para personal di lokasi, apalagi dalam pelaksanaan pembangunan. 

Saya--sebagai pengawas ketika itu--harus berkoordinasi dengan mandor atau kepala tukang karena setiap hari saya harus berada di lokasi karena, ya, memang itu kewajiban seorang pengawas. Struktur organisasi macam apa ini?

Mandor hanya berhubungan langsung dengan pihak kontraktor, bukan dengan pengawas. Karena tidak ada pelaksana dan manajer lokasi, apalagi bos-nya kontraktor, mau-tidak mau pengawas berhubungan dengan mandor. Tidak jarang, pengawas berhubungan dengan bagian logistik-nya kontraktor pelaksana.

Sudah begitu, perihal sosialisasi mengenai struktur organisasi pun tidak ada, semisal dipasang pada bidang khusus di lokasi proyek, khususnya dari pihak personal lapangan di jajaran kontraktor. Saya mendapati petugas logistik kontraktor bisa "mengaku-aku" sebagai pelaksana (supervisor) bahkan manajer lokasi (site manager). 

Bagaimana pula seorang pengawas (mewakili konsultan dan pemerintah daerah setempat) mengatur petugas logistik kotraktor dalam pembangunan? Wah, kacau sekali deh, pokoknya!

Kekacauan hubungan tugas semacam itu selama bertahun-tahun saya alami, bahkan jauh sebelum era Jokowi.  Pihak kontraktor tidak bisa menyediakan tenaga secara lengkap, ya, apa lagi kalau bukan terkait gaji tenaga yang "disesatkan" ke pihak oknum-oknum dalam bentuk CF.

Lucunya lagi, sewaktu menjadi pengawas, saya malah "disuruh" oleh pihak konsultan untuk tidak perlu setiap hari berada di lokasi. Seminggu satu-dua kali, dan datangnya siang saja. Tidak perlu terlalu kaku, dan hepi-hepi sajalah.

"Suruhan" itu, tentu saja, lucu bahkan sangat ngawur. Seorang pengawas wajib berada di lokasi selama jam kerja. 

Seandainya terjadi masalah berhubungan dengan suatu pekerjaan, apalagi sampai terjadi kecelakaan kerja, orang yang paling pertama dimintai "keterangan"-nya adalah pengawas, bukannya mandor, kuli bangunan, bos-nya kontraktor, bos-nya konsultan, pimpinan proyek (pimpro), dan seterusnya.

Demi tugas negara (cieeee, tugas negara, Gaes!), saya menolak "suruhan" ngawur itu. Meski tidak melalui kata-kata, saya terapkan dengan datang ke lokasi proyek setiap hari, bahkan lembur (tanpa dibayar sekalipun) untuk pengecoran sampai tengah malam dan keadaan benar-benar bisa saya tinggalkan seusai jam kerja reguler.

Biasalah, karena pengalaman saya begitu sejak menjadi manajer lokasi dalam proyek milik "pelat kuning". 

Saya tidak mau "bermain-main" dalam setiap pekerjaan karena ada pertaruhan integritas yang sangat serius di situ, termasuk menunaikan "tugas negara" yang dananya murni berasal dari uang rakyat, bukannya "uang nenek lu!"--meminjam istilah "nenek"-nya Ahok.

Persoalan CF juga berdampak luas dan sangat serius. CF yang dimulai pada masa menjelang pelelangan, sudah tentu, "menyita" sebagian keuangan pihak pelaksana pekerjaan. Belum lagi pada masa pelaksanaan, dan akhir pelaksanaan (selesai), termasuk penagihan yang tidak segera dibayar (cair).

Dampak terhadap keuangan pihak kontraktor pelaksana tidak pernah dibayangkan oleh oknum-oknum terkait, minimal gerutuan oknum kontraktor pelaksana, "Mereka untung duluan, kami kerja bakti." 

Dampak itu pun pasti terjadi pada mutu bahan (material), mutu tenaga kerja (manpower), dan mutu produk (bangunan).

Bisa dibayangkan jika mutu produk "wajib" mencapai 100 persen tetapi anggaran tersita sebesar 30-40 persen. Apakah lantas mutunya 60-70 persen? Oh, jangan langsung menduga begitu.

Dari 60-70 persen, masih harus dikurangi oleh keuntungan bagi pihak kontraktor pelaksana. Paling tidak, sekitar 20 persen. Hitung-hitung totalnya, minimal 40 persen.

Jumlah 40 persen untuk ukuran mutu bangunan yang wajib berkualitas 100 persen, bagaimana hasilnya?

Dokpri
Dokpri
Hasilnya, jelas sekali, 'kan? Mangkrak, cepat bermasalah, kerusakan, ambruk, dan lain-lain. Yang paling pertama menjadi sorotan adalah pihak kontraktor pelaksananya. 

"Kontraktornya korupsi," tuding sebagian orang tanpa bisa berpikir bahwa semua itu tidak terlepas dari "kesesatan" semua pihak/oknum terkait dalam bentuk CF alias korupsi.

Lain ceritanya kalau jauh-jauh waktu rencana anggarannya dikatrol (mark up), semisal total Rp1 M menjadi Rp2,5 M. Akan tetapi, untuk suatu proyek, biasanya, instansi terkait telah memiliki buku panduan berisi harga-harga. 

Akan tetapi lagi, apalah hebatnya buku panduan bagi oknum-oknum sesat sejak dalam jiwa, 'kan? Selalu ada celah bagi mereka untuk melakukan tindakan tercela hingga kecanduan. Buktinya, ya, korupsi proyek pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM) belum lama ini.

Kebalikannya dengan proyek-proyek "pelat kuning". Ketika saya terlibat dalam sebuah pembangunan milik "pelat kuning", baik perencanaan-perancangan maupun pelaksanaan pembangunan, tidak ada persoalan semacam di atas. 

Semuanya terpantau dengan jelas, dan terukur, termasuk menggunakan aneka uji (tes), misalnya tes gelontor, tes tekan (air bersih), tes fungsi, dan seterusnya. 

Biaya untuk jasa pelaksanaan pembangunannya pun jelas tertera dalam dokumen tender, semisal 10 persen dari total anggaran. Nilai dan mutu proyek (bangunan) tetap 100 persen, dan sangat bisa dipertanggungjawabkan. 

Hepi-hepi-nya antara pihak pemberi kerja, pelaksana pekerjaan, dan pemilik bahan bangunan pun jelas-terukur. Saya juga hepi ketika sampai pada tahap serah-terima kunci.

Jadi, seperti kata Sri Mulyani, "wajar" terhadap  "bocoran" laporan BD tersebut, maka wajarlah kalau penilaian "bermutu rendah" dan "tidak terencana dengan matang", meskipun di luar infrastruktur. 

Bahkan, dari pengalaman saya, kondisi semacam itu sudah bertahun-tahun sebelum era Jokowi ber-"pelat merah". Sama sekali tidak terlihat perbaikan ke arah yang positif-benar.

Dan, wajar pula jika akhirnya saya tidak pernah diajak lagi oleh siapa pun untuk menggarap proyek "pelat merah". Lha wong saya tidak sudi mengikuti "tradisi sesat" mereka apalagi saya malah wadul melalui tulisan. "Tradisi sesat" kok dilestarikan, to? Situ sehat? Aduhai!

*******
Balikpapan, 9 Januari 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun