Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Seberapa Rendah Mutu Proyek Infrastruktur "Pelat Merah"?

10 Januari 2019   02:10 Diperbarui: 10 Januari 2019   15:49 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Pexels/PhotoMIX Ltd)

Tidak perlu "disesali" karena tidak satu pun "pemain" yang "menyesal". Toh, bisa mendapat proyek berikutnya. Pokoknya, semuanya bisa diatur, dan pasti hepi-hepi.

"Lepas"-nya sekian rupiah pun tidaklah dalam waktu satu kali, dan dalam bentuk uang utuh. Waktunya bisa berjarak atau bertahap. Terkadang terkait masa menjelang lelang, dan masa penagihan (termijn, invoice) berdasarkan volume pekerjaan yang telah disepakati.  Bentuknya, selain uang tunai, bisa juga berupa tiket suatu perjalanan, dll., yang sering diistilahkan sebagai "entertaint" (hiburan).

Semua "permainan" bisa diatur. Biasanya, transaksi" paling "sibuk" terjadi menjelang hari raya. Saya tidak heran jika mendapati berita terkait Operasi Tangkap Tikus, eh, Tangan (OTT) yang berhasil mengoranyekan sebagian oknum setiap menjelang hari raya.

Dampak dari "permainan" itu, jelas, seperti yang dilaporkan oleh BD. Rendahnya mutu dan tidak terencana dengan matang. Mungkin perlu sebagian saya uraikan lagi.

Tidak terencana dengan matang, bagi saya, bukanlah hal yang aneh. Namun ini pengalaman saya lho. Bisa jadi berbeda dengan pengalaman banyak orang ketika menggarap proyek sarana ber-"pelat merah".

Saya lanjutkan mengenai "tidak terencana dengan matang". Kalau jadwal dalam surat kontrak kerja (SK) tertera Januari-Juni, pelaksanaan pekerjaan bisa terjadi pada Februari, bahkan Maret. Belum lagi urusan pengesahan (approval) untuk beberapa hal dalam tahap perencanaan-perancangan, misalnya.

Molor dalam masa pekerjaan bisa berdampak pada kualitas pekerjaan karena waktu yang bisa menjadi "tersita" bahkan sempit (mepet). 

Kalau waktunya tidak tertib, khususnya dari pihak pemberi pekerjaan (dinas terkait) dalam urusan pengesahan, tidak ayal berdampak kurang optimal dalam pelaksanaan (perencanaan-perancangan). "Kerja diburu-buru," gerutu sebagian konsultan. 

Dampak berikutnya, sudah biasa, adalah dalam pelaksanaan pembangunan. Kalau berkaitan dengan gambar kerja (bestek), ya, sebagian gambar detailnya seringkali tidak sesuai dengan standard, semisal bagian yang tidak tergambar. 

Belum tentu pihak konsultan mau memberikan gambar susulan ataupun perubahan gambar (revisi) kepada kontraktor pelaksana. "Konsultan apaan ini," gerutu sebagian kontraktor pelaksana.

Di pihak pengawas pelaksanaan pembangunan, semisal saya dulu, persoalan waktu dan dampak kualitas produknya sangat "mengganggu". Total bobot pekerjaan (deviasi) minus (-) pada waktu tertentu, padahal memang waktu memulai pekerjaan yang melampaui batas kesepakatan (SK) gara-gara, ah, cari sendirilah alasannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun