Lain ceritanya kalau jauh-jauh waktu rencana anggarannya dikatrol (mark up), semisal total Rp1 M menjadi Rp2,5 M. Akan tetapi, untuk suatu proyek, biasanya, instansi terkait telah memiliki buku panduan berisi harga-harga.Â
Akan tetapi lagi, apalah hebatnya buku panduan bagi oknum-oknum sesat sejak dalam jiwa, 'kan? Selalu ada celah bagi mereka untuk melakukan tindakan tercela hingga kecanduan. Buktinya, ya, korupsi proyek pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM) belum lama ini.
Kebalikannya dengan proyek-proyek "pelat kuning". Ketika saya terlibat dalam sebuah pembangunan milik "pelat kuning", baik perencanaan-perancangan maupun pelaksanaan pembangunan, tidak ada persoalan semacam di atas.Â
Semuanya terpantau dengan jelas, dan terukur, termasuk menggunakan aneka uji (tes), misalnya tes gelontor, tes tekan (air bersih), tes fungsi, dan seterusnya.Â
Biaya untuk jasa pelaksanaan pembangunannya pun jelas tertera dalam dokumen tender, semisal 10 persen dari total anggaran. Nilai dan mutu proyek (bangunan) tetap 100 persen, dan sangat bisa dipertanggungjawabkan.Â
Hepi-hepi-nya antara pihak pemberi kerja, pelaksana pekerjaan, dan pemilik bahan bangunan pun jelas-terukur. Saya juga hepi ketika sampai pada tahap serah-terima kunci.
Jadi, seperti kata Sri Mulyani, "wajar" terhadap  "bocoran" laporan BD tersebut, maka wajarlah kalau penilaian "bermutu rendah" dan "tidak terencana dengan matang", meskipun di luar infrastruktur.Â
Bahkan, dari pengalaman saya, kondisi semacam itu sudah bertahun-tahun sebelum era Jokowi ber-"pelat merah". Sama sekali tidak terlihat perbaikan ke arah yang positif-benar.
Dan, wajar pula jika akhirnya saya tidak pernah diajak lagi oleh siapa pun untuk menggarap proyek "pelat merah". Lha wong saya tidak sudi mengikuti "tradisi sesat" mereka apalagi saya malah wadul melalui tulisan. "Tradisi sesat" kok dilestarikan, to? Situ sehat? Aduhai!
*******
Balikpapan, 9 Januari 2019