Demi tugas negara (cieeee, tugas negara, Gaes!), saya menolak "suruhan" ngawur itu. Meski tidak melalui kata-kata, saya terapkan dengan datang ke lokasi proyek setiap hari, bahkan lembur (tanpa dibayar sekalipun) untuk pengecoran sampai tengah malam dan keadaan benar-benar bisa saya tinggalkan seusai jam kerja reguler.
Biasalah, karena pengalaman saya begitu sejak menjadi manajer lokasi dalam proyek milik "pelat kuning".Â
Saya tidak mau "bermain-main" dalam setiap pekerjaan karena ada pertaruhan integritas yang sangat serius di situ, termasuk menunaikan "tugas negara" yang dananya murni berasal dari uang rakyat, bukannya "uang nenek lu!"--meminjam istilah "nenek"-nya Ahok.
Persoalan CF juga berdampak luas dan sangat serius. CF yang dimulai pada masa menjelang pelelangan, sudah tentu, "menyita" sebagian keuangan pihak pelaksana pekerjaan. Belum lagi pada masa pelaksanaan, dan akhir pelaksanaan (selesai), termasuk penagihan yang tidak segera dibayar (cair).
Dampak terhadap keuangan pihak kontraktor pelaksana tidak pernah dibayangkan oleh oknum-oknum terkait, minimal gerutuan oknum kontraktor pelaksana, "Mereka untung duluan, kami kerja bakti."Â
Dampak itu pun pasti terjadi pada mutu bahan (material), mutu tenaga kerja (manpower), dan mutu produk (bangunan).
Bisa dibayangkan jika mutu produk "wajib" mencapai 100 persen tetapi anggaran tersita sebesar 30-40 persen. Apakah lantas mutunya 60-70 persen? Oh, jangan langsung menduga begitu.
Dari 60-70 persen, masih harus dikurangi oleh keuntungan bagi pihak kontraktor pelaksana. Paling tidak, sekitar 20 persen. Hitung-hitung totalnya, minimal 40 persen.
Jumlah 40 persen untuk ukuran mutu bangunan yang wajib berkualitas 100 persen, bagaimana hasilnya?
"Kontraktornya korupsi," tuding sebagian orang tanpa bisa berpikir bahwa semua itu tidak terlepas dari "kesesatan" semua pihak/oknum terkait dalam bentuk CF alias korupsi.