Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Barang Tuhan Bagi Rata

28 Desember 2018   23:30 Diperbarui: 30 Desember 2018   04:41 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keluarga saya sering membeli kudapan tahu sumedang di sebuah rumah makan dekat kawasan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Suharto, Kab. Kutai Kartanegara. Setiap pulang dari Samarinda, pasti keluarga saya singgah ke rumah makan itu.

Awal Juli 2018 rumah makan di Kilometer 50 Jalan Poros Balikpapan-Samarinda  itu tutup. Ya, tentu saja, cukup mengecewakan bagi kami yang telanjur ketagihan tahu sumedang. Masak, sih, kami harus pergi ke Sumedang, Jabar, hanya untuk membeli tahunya?

Ternyata penutupan rumah makan itu terkait dengan izin lokasi di kawasan hutan seluas 67.766 hektare ini. Begitu kabar yang saya terima dibarengi kasak-kusuk seputar kegiatan penambangan liar di balik rimbun pepohonan di kanan-kiri jalannya. Ya, rimbun pepohonan hanyalah tipuan mata (kamuflase) pada lalu lintas darat. Tentu saja tidak begitu jika dilihat dari udara, bukan?

Pemandangan Berupa Batu Bara
Pada awal tinggal di Balikpapan (2009), salah satu pemandangan yang sering menyapa saya adalah batu bara. Kalau sewaktu tinggal di Bangka, tepatnya Kampung Sri Pemandang Atas Sungailiat, pemandangan berupa pasir timah merupakan hal yang sejak kecil saya temukan di sekitar rumah orang tua saya.

Pemandangan berupa batu bara di Balikpapan, pertama kali, saya lihat pada gundukan batu bara yang diangkut oleh kapal tongkang yang melintasi perairan di tepi Teluk Balikpapan. Sangat mudah saya jumpai ketika saya berada di kawasan yang lebih tinggi dan terlihat batas permukaan laut di cakrawala. Atau, sesekali nongkrong di lapak kopi terbuka kawasan Melawai.

Kedua kali, ketika saya berkunjung ke sebuah kawasan perumahan yang di sudut lainnya sedang dalam proses persiapan (land clearing). Bongkahan-bongkahan batu bara terpampang sangat jelas. Hitam di antara cokelat dan hijau.

Dari kawan-kawan di Balikpapan saya mendapat informasi bahwa Pemkot Balikpapan melarang usaha penambangan batu bara di wilayah Kota Balikpapan. Kebijakan yang sangat bijaksana, menurut saya, karena entah apa jadinya Kota Beruang Madu ini jika ada izin penambangan batu bara.

Akronim Batu Bara
Batu bara, kata sebagian orang Kalimantan Timur (Kaltim) yang saya kenal sejak 2009, merupakan akronim dari "barang tuhan bagi rata". Akronim ini saya ketahui dari seorang kawan yang juga sering menjadi "juru bicara" jika ada orang yang mau mencari informasi seputar usaha batu bara. Kawan saya ini orang biasa saja tetapi bisa-biasa "bermain" dalam pekatnya batu bara kelas pinggiran.

Mengenai perihal batu bara sekaligus kalangannya, bukanlah hal baru bagi saya, meski baru menjadi warga Kaltim pada 2009. Sekitar 2007 saya mengetahui "seseorang" yang dikenal sebagai pengusaha oleh orang di sekitar indekos saya di Gang Jablay dekat Kompleks Penerangan, Jelambar, Jakarta Barat. "Seseorang" itu memiliki "pasangan indehoy" di sebelah indekos saya, dan sangat mudah memberi sejumlah uang kepada orang-orang di sekitar indekos saya.

Selain kedua orang (kawan, dan "seseorang") tadi, saya pun pernah bekerja di sebuah perusahaan kontraktor bidang bangunan. Bos saya memiliki usaha lain bersama adik kandungnya, yaitu penambangan batu bara. Saya tidak mengetahui seberapa besar bidang usahanya karena saya bekerja di perusahaan kontraktornya hanya 1 tahun.

Peran Orang Bangka dalam Kegiatan Penambangan di Kalimantan
Pada suatu kesempatan saya berkunjung ke tempat seorang kawan asal Bangka yang tinggal dan di Samarinda. Biasalah, orang Bangka berkunjung ke rumah orang Bangka di perantauan, 'kan?

Kawan asal Bangka ini memiliki usaha di bidang penyewaan alat berat, dan toko khusus menjual suku cadang (spare part) alat berat. Ketika harga batu bara mengalami keanjlokan yang sangat signifikan pada 2015, kawan saya menjual sebagian alat beratnya, dan sebagian lainnya dibawa pulang ke Bangka.

Berikutnya, saudara saya (asal Bangka) yang tinggal di Samarinda juga pernah menghubungi saya, apakah saya mempunya relasi ke sebuah perusahaan penambangan batu bara. Katanya, seorang kawannya sedang menganggur, dan keahliannya adalah mengoperasionalkan alat berat.

Meski kepada saudara dengan kawannya yang profesional, saya tidak tidak bisa menjawab atau memberi "harapan". Yang terbayang di benak saya adalah lubang-lubang tambang yang tanpa pernah dilanjutkan dengan upaya perbaikan secara benar-berguna.

Pada waktu lainnya saya berkunjung ke Banjarmasin, Kalsel. Di Kota Pasar Apung itu saya menginap di sebuah hotel kelas melati yang memiliki ruang makan-minum pagi sekaligus tempat main bola sodok (bilyar). Pada malam hari saya nongkrong di situ untuk minum kopi gratis sekaligus melihat orang-orang bermain bola sodok.

Yang sangat mengagetkan saya, sekelompok orang yang bermain bola dosok itu menggunakan bahasa Bangka dengan aksen yang khas dan nada yang sangat jelas. Tak pelak saya mendekati mereka untuk berkenalan.

Sekelompok orang Bangka itu memang biasa menginap di situ. Mereka adalah para pebisnis alat berat di Kalsel, yang salah satunya berperan dalam penambangan batu bara.

Dari ketiga realitas tadi saya baru mengetahui bahwa beberapa usaha penambangan batu bara di Kalimantan terkait dengan usaha segelintir orang Bangka, yaitu di bidang alat berat. Dan, bagi saya, usaha alat berat, baik pengadaan maupun suku cadang alat berat, bukanlah hal asing bagi sebagian orang Bangka.

Orang Bangka tidaklah asing dengan geliat penggalian menggunakan alat berat. Aktivitas penambangan timah, yang kemudian memunculkan istilah "tambang inkonvensional" (TI), merupakan hal yang biasa sejak 2000-an. Salah seorang mantan bos saya di Bangka juga pengusaha di bidang alat berat.

Oleh karenanya, pengembangan wilayah usaha (ekspansi) bisnis alat berat dari Bangka ke Kalimantan kemudian bukanlah hal yang mengagetkan lagi. Dampak lingkungannya berupa lubang-lubang tambang pun bukanlah pemandangan yang luar biasa jika dilihat dari udara melalui penerbangan biasa ke Bandara Depati Amir, Pangkalpinang.

Birokrat Andil dalam Geliat Penambangan Batu Bara
Pada September 2013 beberapa kawan melakukan penelitian di beberapa wilayah Kaltim. Penelitiannya bersifat menyeluruh, dari isu lingkungan, antropologi, sosiologi, dan seterusnya.

Kebetulan saya pun bertemu dengan mereka. Dari obrolan sambil menyeruput kopi, saya mendapat infromasi bahwa penambangan batu bara di Kaltim tidak terlepas dari "usaha" milik segerombolan oknum birokrat, minimal jajaran komisaris atau kepemilikan saham perusahaan penambang. Oknum birokratnya pun bukan hanya setempat, melainkan juga dari pusat (Ibu Kota Negara).

Seingat saya, pada 2010 kawasan Hutan Pendidikan dan Penelitian Universitas Mulawarman di Bukit Suharto pernah menjadi sorotan nasional karena pengrusakan lingkungan dari agresivitas geliat penambangan liar. Kok, pada 2013 kawan-kawan memberi tahu saya mengenai perihal penambangan liar itu lagi?

Apakah "usaha" segerombolan oknum birokrat itu termasuk ilegal juga?

Saya tidak mengetahuinya secara pasti. Cuma kasak-kusuk, dan, tentunya, sulit untuk dibuktikan oleh kalangan luar semacam saya. Hanya saja yang membuat saya mengangguk-angguk, selain "barang tuhan bagi rata", batu bara merupakan "emas hitam" bagi sebagian orang Kaltim.  

Istilah "emas hitam" untuk batu bara di Kalimantan tidaklah berbeda dengan "emas putih" untuk timah di Bangka. Istilah "emas putih" di Bangka pernah mencuat pada 1970-an karena termasuk penyumbang devisa tertinggi di bawah minyak bumi. Dengan julukan "emas" alias sangat berharga, ya, saya bisa memahami, bagaimana oknum-oknum terkait bisa mengumbar keberingasan terhadap alam.

Persoalannya, sepakat atau tidak, selalu berhubungan secara langsung dengan birokrat terkait alias oknum. Kalau sudah menyangkut "oknum birokrat", ya, jelas-lah, Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif berada di dalamnya. Dan, kalau ketiganya sudah "bermain bersama", bagaimana bisa menghentikannya?

Ya, bagaimana menghentikannya karena sorotan serius pada 2010 atau 8 tahun lalu, kini justru kondisinya semakin parah hingga menjadi topik di Kompasiana.Com pada 18/12/2018. Kalau para perusak alam itu hanyalah pengusaha (investor) dan rakyat, persoalan bisa teratasi tanpa perlu melewati waktu bertahun-tahun, 'kan?

Sementara batu bara juga "menguntungkan" bagi sebagian orang. Sebagian orang muda di Kaltim bekerja di perusahaan-perusahaan batu bara. Segelintir kawan saya juga bekerja di sektor itu, baik sebagai teknisi maupun satpam. Di antara mereka ada pula yang bangga bekerja di sana karena gaji, dll. yang sangat menjamin kesejahteraannya sekeluarga. apakah mereka bangga menjadi bagian dalam pembuntungan kelestarian alam? Entahlah.

Kerakusan Segelintir Orang Merusak Alam
Kepentingan (baca: kerakusan) segelintir orang (baca: birokrat) cenderung merusak alam. Sebagai pengemban amanat rakyat, posisi strategis sering dimanfaatkan untuk memuaskan nafsu mereka saja.

Kerusakan alam lantaran eksploitasi sumber daya alam berlabel "antam" (aneka tambang) di Tahura Bukit Suharto serta daerah-daerah lainnya di Indonesia bukanlah tanpa keterlibatan oknum birokrat, baik setempat maupun pusat. Mereka yang sewajibnya mengelola lingkungan dengan wewenang, aturan atau regulasi dalam pengawasan, pengendalian, pelarangan, perbaikan, perawatan, dll., ternyata andil dalam pengerusakan.

Tidak jarang, kerusakan merupakan dampak dari kerakusan. Kerusakan-kerakusan pun seibarat dua sisi koin. Di mana ada kerusakan, di situ pasti ada kerakusan. Di mana ada kerakusan, di situ pasti terjadi kerusakan. Kerakusan harus dikendalikan melalui penegakan hukum yang tegas-lugas jika memang pemerintah setempat dan pusat beritikad secara serius untuk mengantisipasi terjadinya kerusakan alam yang semakin parah.

Lantas, bagaimana aksi-reaksi lembaga independen bernama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)?

Saya tidak mengetahuinya, dan tidak perlu repot dengan "sok tahu" mengenai keberadaan Walhi dan aksi-reaksinya terhadap kasus penambangan liar itu. Saya tidak berteman dengan orang-orang Walhi Kaltim sehingga saya tidak bisa mendapatkan informasi yang terkait dengan realitas aksi-reaksi yang memadai.

Jadi? Ya, jadilah tulisan sepele ini karena saya hanya mau menuliskan apa adanya.

*******

Balikpapan, 28 Desember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun