Sore itu saya belajar sedikit dari bapaknya Alfian mengenai suatu daerah yang belum pernah saya kunjungi. Saya pun berencana untuk pergi ke sana untuk melihat suasananya, meski entah kapan. Kalau di sana Ocha sudah menetap, bahkan mengelola wilayah dengan status "kepala desa", lantas rencana saya terwujud, alangkah aduhainya! Â
Nusantara memang luas. Saya tetap ingin mengunjungi daerah-daerah di Nusantara. Saya ingin mencatatkan hal-hal yang belum pernah saya temui. Untuk sementara, ya, saya harus bersabar, dan berusaha menabung. Baiklah, saya simpan dulu rencana itu.
Pada senja yang menjelang magrib saya dan Alfian menyiapkan pancing di antara perahu-perahu nelayan yang sedang parkir. Permukaan air mulai pasang, dan arus mengarah ke sisi kanan sambil membawa benda-benda ringan.
Hanya saja ketika azan magrib berkumandang dari beberapa masjid di sekitar kampung nelayan itu, mereka segera menunaikan panggilan wajib sebagai kaum muslim. Tinggal saya sendirian memegang pancing di atas sebuah perahu yang sedang parkir. Cuma sebentar, sih.
Memang cuma sebentar. Mereka pun datang lagi melewati papan-papan ulin. Sebuah gitar hitam dibawa oleh Alfian sembari dimainkannya dengan instrumentalia saja. Entah lagu apa karena saya sedang berkonsentrasi pada gagang pancing.
Selepas petang hingga menjelang larutnya malam kami memancing di antara perahu-perahu nelayan. Beberapa kali kail kami tersangkut sehingga putus dan harus dipasang kail lainnya. Sementara tidak ada mulut seekor ikan pun yang tersangkut.
Tidak terasa waktu telah hanyut ke angka 11. Oh, malam berbulan-bintang akan sampai di puncaknya. Kami harus mengakhiri kegiatan santai di situ setelah berencana untuk menikmati tahun baru di rumah Nur-Nia. Saya perlu memikirkan rencana itu dengan sebaik-baiknya karena saya belum pernah berkunjung ke rumah Nur-Nia, dan, biasanya di rumah saya ada acara khusus tahun baru yang disiapkan oleh istri saya. Â
*******
Balikpapan, 28 Desember 2018